DCA - 3

1.2K 261 9
                                    

Aruna tidak tahu bagaimana kondisi keluarga orang lain diluaran sana, apakah akan sama seperti keluarganya yang terlihat heboh di setiap hari?

Lihat saja Ibunya yang sudah sibuk menyiapkan sarapan untuk mereka, dengan Bapak yang selalu semangat mengingatkan apa saja kegiatan anak - anaknya pada hari itu, sedangkan Kakaknya sudah terlihat rapi dengan dia yang diam - diam membisikan berapa uang yang ingin ia minta, ditambah adiknya yang terlihat masih mengantuk padahal sebentar lagi akan berangkat sekolah.

"Mbak, jangan minta uang terus sama Mas!" Tegur Ibunya, ketika melihat gelagat aneh anak pertama dan keduanya itu. Hal yang sudah sangat sering ia tegur, tetapi tidak pernah dituruti oleh kedua anaknya itu.

"Nggak papa Bu, Mas kan habis gajian, hitung - hitung sedekah." Jawab Arvin kalem, membuat Aruna yang sudah ingin mengiyakan tidak jadi, karena mendengar perkataan terakhir Kakaknya itu.

"Mbak kok sekarang jadi boros? Bukannya dua hari yang lalu baru minta uang sama Bapak." Tanya Ibunya lagi.

Aruna yang merasa dipojokan hanya bisa memanyunkan bibirnya, bagaimana tidak boros, sekarang ia punya tanggungan yang sangat malas dan kadang menyebalkan, tapi entah kenapa ia sangat menyayangi makhluk berbulu itu.

"Makanan si Moi udah habis Bu, kasihan kalau nggak dibeliin." Jelasnya terdengar ogah - ogahan.

"Kasih ikan asin aja Mbak!" Seruan adiknya, hanya dibalas dengan delikan tajam Aruna.

Enak saja, ia tidak rela kucing kesayangan itu harus turun kasta dari dry food favoritnya ke ikan asin, bagaimanapun juga kucing kesayangannya itu harus selalu makan enak, tidak peduli sang babu bahkan hampir sekarat karena harus menghemat pengeluarannya sendiri.

"Udah...udah ndak papa toh, Bapak malah senang lihat Mbak bisa sesayang itu sama kucingnya, bahkan rela terlihat kucel biar kucingnya bisa glowing." Ucap Bapaknya, yang membuat gelak tawa mereka terdengar, minus Aruna tentunya.

***

Aruna membuka pagar rumahnya, dengan wajah yang terlihat bingung. Ia dengan terang - terangan melihat rumah Kalandra yang terlihat ramai, tumben sekali pikirnya.

Walaupun masih penasaran, ia memilih untuk masuk ke dalam rumah. Nanti akan ia tanyakan rasa penasarannya ini kepada sang Ibu, semoga saja beliau mengetahui apa alasan rumah itu lebih ramai dari biasanya.

Ia mengucap salam dan masuk ke dalam rumah yang terlihat sangat sepi, kemana para penghuni rumah ini, biasanya jam segini mereka sudah berkeliaran di dalam rumah.

Dengan kening yang masih berkerut, ia memilih untuk menaiki anak tangga menuju kamarnya dilantai atas, sekalipun masih aneh dengan kondisi rumah mereka yang terasa sepi seperti ini, lebih baik ia mengerjakan skripsinya, agar cepat selesai.

Entah berapa lama Aruna larut dengan tugas skripsinya, ketika merasa perutnya berbunyi minta diisi. Ia memilih menyudahi kegiatannya dan beranjak menuju dapur, berharap sang Ibu sudah datang dan menjawab rasa penasarannya.

"Ibuuu!!!" Serunya heboh, ketika melihat sosok Ibunya berada  didapur, ia dengan segera menghampiri dan memeluk tubuh berisi istri dari Ayahnya itu.

"Apa toh Mbak, coba ndak usah heboh!!!" Ucap Ibunya kesal, tapi tak menolak dengan pelukan dari putri kesayangannya itu.

"Lapar Bu." Jawabnya, yang kini melepaskan pelukannya.  "Dari siapa Bu?" Tanyanya lagi, memperhatikan kegiatan Ibunya yang sedang memindahkan beberapa lauk dari rantang besar, sepertinya itu dari acara hajatan.

"Selametannya Bu Trisno." Jawab Ibunya, yang masih terlihat sibuk dengan kegiatannya.

"Bude Ranti?" Tanyanya memastikan. Bu Trisno atau Bude Ranti adalah Ibu kandung Kalandra, alias tetangga tampan dan mapannya itu.

"Makan ini aja Mbak, tadi sama Bu Trisno dilarang masak karena dirumahnya banyak makanan." Tawar Ibunya.

"Selametan apa Bu?" 

"Oh itu, buat acaranya Mas Kalandra."

"Mas Kalandra?" Beonya dengan tampang terkejut.

"Iya, Mas Kalandra kan bentar lagi mau nikah Mbak." Jelas Ibunya, tanpa peduli dengan wajah Aruna yang sudah pucat pasi mendengar perkataannya.

"Kapan Bu." Tanya Aruna, dengan suara yang hampir saja tercekat, ia bahkan merasa tubuhnya mulai bergetar dengan detak jantung yang berpacu dengan sangat cepat.

"Kurang dari sebulan lagi Mbak....oh iya mumpung Ibu ingat, Bu Trisno ada kasih baju seragaman buat kita, nanti Mbak cobain ya, kalau kegedean biar cepat dibenerin." 

Suara Sang Ibu yang masih saja berbicara, hampir saja tak didengar oleh Aruna, ia sudah sibuk dengan dunianya sendiri, dunia yang terasa runtuh.

***

Aruna menghapus air matanya yang terus saja berjatuhan, ia bahkan merasa sudah kesulitan untuk bernapas karena terlalu banyak menangis. 

Setelah dengan susah payah makan dengan menahan tangis disamping Ibunya, akhirnya kini ia bisa menumpahkan semua tangis yang terasa sangat menyakitkan. Meskipun tangisnya ini adalah rasa sakit yang ia rasakan sendiri akibat menyukai lelaki yang jelas - jelas tidak menyukainya, buktinya saja lelaki itu akan menikahi wanita pilihannya sendiri.

Kasihan sekali dirimu Aruna, baru pertama kali menyukai seorang lelaki bahkan belum juga dia mengetahui bagaimana perasaanmu, tetapi sudah membuatmu kecewa dengan menikahi wanita lain.

Ternyata benar apa yang dikatakan Ibunya beberapa waktu yang lalu.

Hati kita akan terasa sakit yang teramat sangat, kalau seandainya lelaki yang kita cintai itu mulai menyakiti kita entah itu karena sengaja ataupun tidak, sekalipun dia tidak tahu bagaimana perasaan kita kepadanya.

Aruna menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, mencoba menghentikan tangisnya yang semakin menjadi. Beginikah rasanya orang yang sedang patah hati, luar biasa sakit dan menyedihkan. Tapi ini tidak adil baginya, karena ia sama sekali belum merasakan jatuh cinta dan dicintai secara nyata.

Ia memilih untuk memejamkan matanya, walaupun rasa kantuk itu belum menghampiri, tetapi sekarang yang ia perlukan hanyalah tidur agar sejenak bisa melupakan rasa sakitnya kepada lelaki itu.

Bersambung.








Drama Cinta Aruna (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang