02. Kekosongan

143 15 1
                                    

Pagi-pagi sekali, Hana tengah sibuk menata rambutnya serta memoles wajahnya dengan make up. Hal ini sudah menjadi rutinitas harian Hana sebelum berangkat ke sekolah, ia rela bangun pagi untuk repot-repot merias diri.

Setelah selesai dengan urusannya, ia akan turun ke lantai dasar untuk pergi ke ruang makan.

"Jeee, sarapan udah jadi belom? Gue laper nih," rengek Hana dengan suara nyaring disepanjang ia berjalan menuju dapur.

Hana tiba-tiba membeku saat melihat Zion yang duduk di ruang makan tengah menikmati sarapan paginya. Lagi-lagi Hana lupa kalau Zion ada dirumah.

Hana tersenyum kikuk saat Kakak sulungnya itu menatap dirinya dengan tatapan tajam namun hanya bersikap santai. Sudah bisa Hana tebak, Zion marah saat ini. Jika sedang marah, Zion memang tenang perangainya, tapi lihat saja nanti.

"Pagi Bang Jiii.. " Sapa Hana.

Sedangkan yang di sapa hanya berdehem pelan, melanjutkan sarapannya yang tertunda.

"Bang Ji, ini teh nya ya." Jaeden meletakkan secangkir teh dimeja makan, seusai apa yang Zion minta.

"Hana, ini sarapannya, kamu suka ini kan?"

Jaeden meletakkan roti toast serta susu hangat dimeja Hana. Sama seperti biasanya, Jaeden hanya mendapatkan senyum tipis dari Hana tanpa adanya kata terimakasih.

Sarapan pagi dilalui dengan tenang, tanpa pembicaraan apapun, hingga mereka selesai sarapan pagi.

"Bang Ji, Hana pami-"

"Ikut Bang Ji dulu, ada yang mau Abang bicarain sama kamu Hana."

"O-okey.."

"Jaeden, tolong kamu rapihin meja makan ya, kalo udah selesai kamu ke mobil aja siap-siap berangkat sekolah."

"Iya Bang Ji."

"Hm, makasih ya Je," ucap Zion sebelum pergi meninggalkan ruang makan.

Setelah Zion dan Hana beranjak dari ruang makan, Jaeden segera merapikan meja makan yang berantakan.

Di sisi lain, Hana dan Zion kini hanya berdua di taman rumah. Hana nampak meremat ujung rok nya, gelisah dengan apa yang akan Zion katakan nantinya.

"Apa gini sikap kamu dirumah selama Abang ga ada dirumah?"

Hana bergeming, tenggorokannya terasa berat untuk menjawab pertanyaan menohok yang Zion lontarkan.

"Dikemanain didikan Abang selama ini? Kamu berani nyuruh Kakak kamu, bahkan tanpa bicara tolong dan sekedar ngucapin terimakasih. Abang juga denger kamu manggil Jaeden dengan nama lagi, baru kemarin Abang nasehatin kamu loh Hana."

"Ada masalah apa kamu sama Jaeden? Dari hari pertama Abang pulang ke rumah, ada sikap kamu yang berubah. Padahal dulu kamu sangat menghormati dan sayang sama Jaeden dan Juna, lebih dari kamu sayang sama Bang Ji."

"Itu dulu," lirih Hana.

"Dulu? Apa bedanya sama sekarang? Jaeden tetep Kakak kamu, gak ada yang berubah."

"Apasih Bang! Hal kecil kayak gini aja di gede-gedein!" Bentak Hana.

Suasana hening beberapa saat, hingga Zion menyadari wajah menunduk Hana yang penuh dengan make up.

"Terus ini apa? Kamu mau sekolah dengan make up setebel ini? Kamu mau sekolah apa mau konser?"

Masih bergeming, Hana masih tak berani menjawab apapun hingga habis kesabaran Zion.

"Denger ya Hana! Dirumah ini, sopan santun adalah hal utama. Itu berlaku sejak Papa masih ada dirumah ini!" Tegas Zion dengan penuh penekanan.

"Iya iya! Cuma Abang sama Kak Juna yang pernah tau didikan orang tua. Hana kan gak pernah!"

KALANTARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang