Sudah beberapa hari ini Asa sering mendapat surat ancaman didepan pintu rumahnya, ia sedikit takut sejujurnya, karena dirumah ini dirinya hanya tinggal sendirian, tidak ada keluarga dan saudara yang kebetulan tinggal jauh di negeri sakura.
Seperti hari ini, Asa menemukan surat dalam amplop hitam, didalamnya terdapat tulisan yang mengarah pada sebuah ancaman.
Aku beri kamu 2 pilihan, tunjukkan keberadaan Kakak mu, atau kamu yang mati ditanganku.
Asa meremat surat itu dengan raut wajah kesal. Hidupnya seperti sedang menjadi buronan sekarang gara-gara Kakak brengseknya itu.
"Kakak sialan! Dia yang bikin salah, kenapa gue yang jadi buronan. Bakayaro! " gerutu Asa sembari membanting pintu rumahnya seakan memberi alarm permusuhan bagi orang yang memberinya amplop hitam itu.
Namun belum sempat Asa mengunci pintu rumah, ia tersentak kaget ketika ada yang mendobrak pintu nya lalu mendekap wajahnya menggunakan kain yang sudah dibubuhi obat bius.
Saat itu pula, tubuh Asa lemas tak sadarkan diri, orang itu akhirnya menyeret tubuh ringan Asa untuk dibawa masuk kedalam mobil.
Mobil berplat nomor B itu melaju dengan cepat, membelah jalanan malam hari menuju markas yang sudah mereka sediakan.
Sampai di sebuah rumah kosong dengan pencahayaan yang minim. Asa di ikat di sebuah kursi kayu, orang itu melumuri Asa dengan darah, dibuat seolah-olah Asa telah babak belur dihajar seseorang.
"LEPAS! KALIAN MAU APA HAH?" pekik dari suara seorang gadis yang sejak tadi memberontak minta dilepaskan.
Gadis itu dibawa kehadapan tubuh Asa yang terduduk lemas dikursi dengan sekujur tubuh yang berlumur darah. Hingga sebuah lampu neon menyala, sedikit memberi pencahyaan agar gadis itu bisa melihat pemuda yang ada di hadapannya.
"ASAAA! ASA BANGUN! ASA KAMU KENAPA?"
"HEI BANGUN!"
Hana terlihat panik bukan kepalang, tangannya terus menepuk-nepuk pipi Asa agar cepat sadarkan diri. Namun nihil, obat bius yang disiapkan oleh orang-orang itu rupanya cukup tinggi.
"Kalo dibikin drama series bagus juga ya, woah hahah."
Hana menolehkan kepalanya kesamping kanan kiri, mencari keberadaan suara tersebut kesegala sisi ruangan. Matanya terbelalak kaget melihat Zion berasa disana, mengenakan setelan jas hitam dengan membawa timah panas digenggamannya.
Langkah kaki Zion perlahan mendekat, tangannya meraih surai hitam Hana yang dijambak oleh anak buahnya.
"Lepas!" titah Zion pada suruhannya.
Zion berlutut, mensejajarkan tinggi badan Hana yang tengah duduk bersimpuh dilantai. Jemarinya menyentuh pipi Hana laku mengusapnya pelan menggunakan ibu jarinya.
"Udah Abang kasih peringatan, jangan main-main sama Abang! Kalo aja kemarin kamu nurut, seperti dulu Jaeden mau putusin pacar gila nya itu depan Abang, orang didepan kamu ini bakal tetap hidup aman sekarang, Hana. "
Hana hanya bisa menangis dengan suara isikan yang tersenggal-senggal."Abang, maaf. Tolong lepasin Asaa!"
Hana kembali beralih menyentuh tubuh Asa yang tak bergerak sama sekali, ia masih berusaha menyadarkan Asa.
"Asa bangun!"
"Abaang, tolongin Asaa," ucap Asa memohon dengan suara tersendat.
Tangannya masih gemetar akibat melihat banyaknya darah ditubuh Asa, ia tidak tahu apa saja yang sudah Kakaknya lakukan pada kekasihnya.
Tiba-tiba tangan Zion menarik paksa lengan Hana, seakan menyuruhnya untuk berdiri.
"Hana! Liat Abang!" titah Zion agar Hana mau menatap fokus kearahnya.
"Denger, jangan pernah menangisi laki-laki! Kamu perempuan yang Abang jaga layaknya tuan Puteri sejak kecil, ga sepantasnya kamu selemah ini di depan lak-laki cuma karena dia."
"TAPI ASA GAK SALAH APA-APA!"
Zion menghela napasnya, berusaha menetralkan emosi agar tidak sampai menyakiti Hana, tujuannya disini hanya ingin menggertak Hana agar gadis itu mau menuruti keputusannya.
Perlahan ia menarik Hana ke dalam dekapannya, ia dapan merasakan pundak Hana yang bergetar akibat menangis tersedu-sedu, sesekali ia mengusap lembut punggung Hana.
"Nurut sama Abang. Ini demi kebaikan kamu Hana," bisik Zion tepat disamping telinga adiknya.
"Nggak! Gak mau!"
Mau tak mau Zion akhirnya mengambil taktik ini, rencana akhir yang sudah ia susun sebagai tahap akhir, jika kemungkinan Hana tetap menolak untuk melepaskan Asa.
"Kamu pilih Asa atau Abang?"
Pertanyaan itu membuat Hana menghentikan tangisannya, menyisakan napas yang tersendat-sendat.
Hana menunduk dalam, mana mungkin ia bisa memilih antara keduanya, Orang-orang yang sangat Hana sayangi dengan tulus.
"Kamu lihat pistol ini Hana?" Zion bertanya sembari mengangkat timah panas itu mengarah tepat ke jantung Asa, seakan menjadikan Asa sebagai target bidikannya.
Gadis itu menggeleng ribut, tanpa basa-basi ia berlutut memeluk kedua kaki Zion.
"Tolong jangan! Jang-an Bang, Asa gak salah."
"Nyawa dibayar nyawa. Kalo Abang gak dapetin Kakaknya yang udah membuat Juna sekarat, maka adiknya yang menggantikan dosa Kakaknya."
"Abang sadar! Jangan hidup dengan dendam. Jangan menghukum yang gak salah. Asa gak ada sangkut pautnya, hiks."
"Ada, dia adiknya. Darah yang mengalir ditubuh dia sama dengan Kakaknya. Abang cuma gak mau kamu jadi korban selanjutnya setelah Juna."
"Sekarang Abang hitung sampai tiga, keputusan ada ditangan kamu! Abang atau Asa? Kalau kamu pilih ikuti pilihan Abang, Asa akan tetap hidup."
"Satu..."
Hana menoleh ke arah keduanya dengan mata yang bergetar, jemarinya terus meremat kuat ujung bajunya hingga kusut.
"Dua..."
"Ti-"
"ABANG! HANA MAU NURUT SAMA BANG JI."
Sudut bibir Zion sedikit teringat miring, menampakkan senyum smirk yang menunjukkan sebuah kepuasan atas kemenangannya.
Zion mengusap pipi Hana guna menghapus air mata diwajah cantik adik bungsunya.
"Good girl, keputusan yang tepat."
"2 hari lagi pertunangan kamu sama Juanda. Kalo kamu mencoba kabur, kamu bakal liat sendiri jasad Asa didepan mata kamu nanti. Ngerti?"
"I-iya ngerti."
Setelah mendengar jawaban pasti dari Hana, Zion mengangguk. Lalu melepaskan tangan Hana yang tengah memeluk kedua kakinya.
"Disinilah bersama Asa semalaman. Hitung-hitung salam perpisahan, kalo dia sadar kasih aja minum yang ada di meja sana," tutur Zion menunjuk kearah meja dipojok ruangan. Disana sudah tersedia dua botol air mineral serta tisue diatas meja.
Zion melangkah keluar dari rumah kosong itu, ia melepas jas nya lalu menyerahkannya pada tangan kanannya.
Urusan hari unu sudah selesai, tinggal mengurus pertunangan yang tinggal tersisa waktu satu hari itu. Ia akan pergi kerumah Daniel untuk merencanakan hal ini bersama dengan Juanda sendiri, agar pemuda itu yang memutuskan dekorasi apapun yang ingin dia pilih.
Bagaimanapun ia akan menjadi adik ipar Daniel, setidaknya ia harus mengikuti prinsip Daniel yang membebaskan keputusan pada adik-adiknya.
Ada sedikit perasaan senang juga dihati Zion, ia akan semakin dekat dengan Daniel bukan hanya sebagai teman semasa kuliah atau sekedar rekan kerja, tetapi ia juga akan segera menjadi Adik dan Kakak, lalu Zion akan merasakan rasanya menjadi sekarang Adik yang memiliki tempat berkeluh kesah setelah dirinya lelah mengurus semua hal sendirian.
•
•
•
•
TO BE CONTINUE(Bab ini berhasil diselesaikan dengan 1050 kata)
KAMU SEDANG MEMBACA
KALANTARA
FanfictionMenunda sesuatu dengan alasan belum menemukan waktu yang tepat, terkadang membuahkan hasil yang baik. Namun, tak ada yang tau kapan waktu yang dinantikan itu telah habis masa nya, tergantikan sebuah angan yang hanya akan menjadi penyesalan. "Apa la...