Zion hanya ingin ketiga adiknya saling menyayangi satu sama lain. Hidup tanpa kedua orang tua sejak kecil, seharusnya menjadikan mereka saling peduli dan menjaga. Namun, Zion salah besar, ia tak pernah menyangka kalau ikatan saudara diantara adik-adiknya akan serenggang ini sekarang.
"Abang cuma punya kalian, kita hidup dari kecil bareng-bareng, Bang Ji juga selalu ajarin kalian buat saling jaga. Tapi kenapa sekarang kayak gini?"
"Apa karena Juna?"
Jaeden dan Hana hanya diam mendengar setiap ocehan Zion, tidak tahu harus merespon apa.
"Juna itu Kakak kalian juga, memangnya kalian mau kalo sampe Juna ninggalin kita? Kalian sebagai saudara harusnya kasih support buat dia, sakit kayak gitu juga bukan kemauan Juna. Papa pasti sedih liat kita kayak gini!"
"Bang Ji punya tanggung jawab besar atas kalian bertiga, jadi tolong kalian nurut kalo Abang kasih tau."
Jaeden mengerutkan dahinya, disaat Zion mengutarakan kalimat terakhir yang barusan terucap.
"Bang Ji gak sadar kalo selama ini Abang juga egois?" ketus Jaeden.
"Abang yang harusnya instrospeksi diri!"
"Sttt―Jaeden, udah!" bisik Hana dari samping telinga Jaeden.
Zion terkekeh pelan saat melihat tingkah Jaeden.
"Pantes aja Hana berani bentak Bang Ji kalo di nasehatin, ajaran kamu ternyata?" sindir Zion.
"Ga usah sok paling bener! Kenyataannya Abang sendiri juga gak becus ngurus Juna."
Sebelah alis Zion terangkat, ia masih berusaha tenang dalam situasi panas seperti ini. Justru ini yang Zion nantikan sejak tadi, memancing emosi Jaeden, sebab Jaeden bukan tipikal orang yang mudah terpancing, dirinya cenderung memendam semuanya sendiri, jika sudah seperti ini akan lebih mudah membuat Jaeden membuka semuanya.
"Abang tau kamu iri sama Juna. Iyakan?"
Air wajah Jaeden perlahan meredup, pelupuk mata yang semula kering kini mulai berusaha menahan setitik bening air matanya. Lagi-lagi Zion hampir berhasil, memainkan sisi lembut didalam hati seorang Jaeden.
"Belajar dewasa. Kamu bukan anak kecil lagi yang haus kasih sayang," ujar Zion mengaju pada Jaeden.
"Itu tanggung jawab kamu, sebagai satu-satunya adik yang bisa Bang Ji adalkan. Seharusnya kamu bangga dengan itu!"
Mendengar hal itu, Jaeden kembali mengangkat kepalanya yang semula tertunduk dalam. Matanya menatap dalam bola mata Zion, dengan tatapan yang sulit diartikan oleh Zion sendiri.
"Aku capek!" ucap Jaeden, suaranya sedikit bergetar namun masih terdengar jelas di telinga Zion.
"Aku berhak untuk bebas!"
"Silahkan... Kalo kamu merasa udah gak butuh Abang lagi, silahkan cari jalan hidup kamu sendiri. Tapi inget! Abang gak akan kasih kamu uang sedikitpun. Cari uang sendiri, buat gapai impian kamu yang setinggi langit itu. Itupun kalo kamu sanggup. Semua keputusan ada ditanggan kamu, pilih nurut sama Abang, atau tinggalin rumah ini!"
Hana meneguk salivanya susah payah, tangannya reflek menggenggam jemari Jaeden disampingnya. Ia menoleh, menatap wajah Jaeden cukup lama. Hingga tanpa sadar setetes bening air matanya mengalir tanpa izin.
Dengan gerakan cepat ia mendekat kearah Zion lalu menautkan paksa kedua tangan Jaeden pada Zion, seperti meminta mereka berdua berjabat tangan.
"Kak! Kak Je, ayok minta maaf sama Bang Ji! Aku gak mau kehilangan salah satu dari kalian."
KAMU SEDANG MEMBACA
KALANTARA
FanfictionMenunda sesuatu dengan alasan belum menemukan waktu yang tepat, terkadang membuahkan hasil yang baik. Namun, tak ada yang tau kapan waktu yang dinantikan itu telah habis masa nya, tergantikan sebuah angan yang hanya akan menjadi penyesalan. "Apa la...