19. Perjodohan

52 7 0
                                    

Zion siang ini memutuskan untuk melanjutkan pekerjaannya dirumah, kepalanya terasa berat sekali hari ini. Belakangan ini banyak sekali hal yang memberatkan pikirannya, ia jadi merindukan Juna, biasanya Juna yang selalu menanyakan apa yang sedang Zion pikirkan dan apa yang Zion butuhkan.

Tangannya meraih kotak obat pereda sakit kepala, menelannya bersamaan dengan air mineral. Zion menghela napas berat, sejak sebulan yang lalu Zion cukup kesulitan untuk tidur dimalam hari, bahkan hari ini ia tidak bisa tidur semalam suntuk. Hal itu membuat tekanan darahnya tinggi disertai migrain yang terus menyiksanya sepanjang hari.

Sedari tadi ia sibuk menyempatkan diri untuk mengurus cabut berkas untuk kepindahan Jaeden dari akademi militer, lalu mengurus pendaftaran universitas kedokteran di German.

Ya, hari ini Zion menyerah pada Jaeden. Setelah kemarin menelpon Daniel dan meminta berbagai saran padanya, Zion memutuskan untuk mengikuti kemauan Jaeden yang ingin menjadi Dokter bedah. Akhirnya, ia mendaftarkan Jaeden di salah satu Universitas terbaik di German, satu Universitas yang sama dengan Juanda. Apapun itu, yang terpenting Jaeden tidak akan menjadi orang yang gagal, ia ingin adik-adiknya sukses seperti yang ia harapkan.

Zion merebahkan kepalanya diatas meja kerja, sedikit memejamkan matanya guna menetralkan rasa pening dikepalanya.

"Zion capek, Pa." Lirih Zion dengan suara yang terdengar lesu.

"Bener kata Bunda dulu, perempuan sanggup ngurus rumah, keluarga bahkan pekerjaan sekaligus, tapi laki-laki gak akan sanggup," ujar Zion di bubuhi tawa renyah diujung kalimatnya.

"Zion kangen Papa, kangen Nenek, kangen Juna juga. Kalian lagi apa disana? Ternyata urusan dunia seberat ini ya? Zion jadi bingung kenapa ada orang yang pengen panjang umur."

"Ngurus tiga adek aja ampun-ampunan rasanya. Gimana ngurus anak, ya Tuhan! Belom nikah aja udah kapok."

Jangan heran, disaat stres seperti ini, Zion sangat suka bicara melantur sendirian. Entahlah, kepalanya terasa lebih ringan saja ketika mengeluarkan apa yang ada dipikirannya saat ini.

"Sekarang tinggal mikirin Hana. Gimana caranya anak itu mau putus sama Asa. Jujur aja, gue gak rela dia pacaran sama adek dari orang yang udah bikin Juna sengsara. Jangan-jangan dia juga sama brengseknya kayak Kakaknya, semoga Hana bukan target kedua mereka."

Seketika muncul sebuah ide gila dikepalanya. Tangan Zion meraih ponsel pintar yang ia letakkan disamping laptopnya yang masih menyala. Zion mencari kontak Daniel untuk mengundangnya datang kerumah.

Telepon itu mulai tersambung dengan nomor Daniel, hingga terdengar suara Daniel diseberang sana.

"Siang Pak, ada apa ya?"

Zion berdekhem pelan setelah diam sejenak memikirkan kembali keputusannya.

"Tolong datang kerumah saya, ada yang ingin saya bicarakan."

"Oh, Baik pak, 15 menit saya akan sampai disana."

"Hm, terimakasih."

°•°•°•°•°•°

Zion akui, Daniel memang orang yang sangat tepat waktu. Buktinya ditelfon tadi Daniel mengatakan akan datang 15 menit lagi, dan benar saja dia datang tepat di detik 15 menit terakhir. Saat ini mereka berdua sudah duduk berhadapan diruang kerja Zion, ditemani secangkir kopi untuk Daniel dan sebotol cola untuk dirinya sendiri.

"Ada urusan apa memangnya? Apa saya harus keluar kota lagi?" tanya Daniel setelah menyesap kopi yang disediakan.

"Ah oke kita santai kali ini. Bukan soal bisnis, tapi... Soal adik kita," jawab Zion.

KALANTARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang