2 - 6 x 5

27.6K 2.7K 196
                                    

"Bukannya itu cowok yang sering kamu ceritain ke Mami ya, Flo? Dia udah ada pacar?"

Pertanyaan dari Fiona sontak membuat Florine menegakkan tubuhnya. Florine sangat hafal sekali siapa pemuda itu karena jaket yang lelaki itu pakai sudah ia lihat tadi.

"Kata kamu dia gak punya pacar?" heran Fiona bertanya kembali sambil menatap Florine yang masih menatap kedua orang berbeda gender itu.

Tangan Florine meremat dressnya. Hatinya merasa sakit saat melihat lelaki yang dicintainya menarik kedua tangan gadis dibelakangnya untuk memeluknya.

"Ma-mami salah liat. Itu bukan Ian kok. Soalnya Ian tadi naik mobil. Lagian aku udah kenal lama sama Ian," jawab Florine sedikit gugup.

Fiona menganggukkan kepalanya. "Oh, syukur deh. Soalnya Mami gak mau anak Mami jadi perusak hubungan orang lain. Gak baik itu."

"Iya, Flo gak bakalan begitu, Ma," ucap Florine menahan buliran air mata kala melihat jelas bahwa perempuan itu adalah Cassia ketika gadis yang memakai helm itu menolehkan kepala ke kiri meskipun Casia tidak tahu jika ia berada tepat di sampingnya karena faktor kaca film.

Di sisi lain, Cassia tersenyum tipis saat melihat mobil yang sangat dikenalinya berada di sebelah kirinya. Ia tahu karena mobil itu merupakan mobil yang sering menjemput Florine saat di sekolah.

"Tadi katanya gak mau peluk gue," sindir Killian saat Cassia semakin memeluk erat dirinya.

Cassia mendengus. "Suka-suka gue lah!"

"Untung pacar," gemas Killian seraya menggenggam erat tangan Cassia.

"Nyenyenye," ledek Cassia membuat Killian ingin menarik hidung pacarnya itu. Sayang sekali lampu lalu lintas sudah bewarna hijau.

"Keliling kota, Al. Biar gue gak kesesat waktu jalan-jalan nanti," ucapnya sedikit berteriak karena mereka naik motor.

"Mau jalan sama siapa lo?" sinisnya mendapati bahwa kekasihnya akan pergi bersama orang lain.

"Gretta atau sama Papa. Dasar cemburuan!" kesal Cassia mencubit pelan perut Killian.

"Itu tandanya gue cinta sama lo."

***

"Meli kemana ya? Kita udah sampai di sini, tapi kok gak ketemu?"

Fiona mengeluh karena ia lelah sudah mengelilingi Mall, tapi tak kunjung bertemu dengan sang putri dan juga suaminya. Padahal Fiona sudah diberitahu oleh Harris bahwa mereka berdua sedang belanja pakaian.

"Maaf ya, Ma. Emang lebih baik aku ngekost aja," ucap Florine memegang tali tasnya sedikit erat.

"Hush! Gak usah ngawur kamu!" kesal Fiona menatap Florine yang tertunduk.

"Ini demi kebaikan kamu, Flo. Mami gak mau kamu jauh dari Mami. Nanti diluar sana kalau kamu pengen apa-apa terus gak keturutan gimana, hm? Apalagi kebutuhan kamu itu banyak sama kayak Meli," jelas Fiona memandang Florine dengan tangan kanan yang mengusap bahu gadis itu.

Florine mendongakkan kepala. Wajahnya menggambarkan bahwa ia terharu, tapi kembali menjadi sendu. "Ta-tapi aku tetep gak enak."

"Flo, Mami capek kamu selalu bahas ini. Bisa gak kamu nerima aja? Mau gimanapun Mami harus tanggung jawab karena kamu udah jadi anak Mami semenjak bayi!" marah Fiona merasa lelah karena Florine terus mengungkit masalah yang sama.

Badan gadis berambut pirang itu tersentak sedikit. Apakah ia sudah keterlaluan kepada Fiona sampai wanita itu marah kepadanya? Padahal selama ini Fiona tak pernah marah, apalagi untuk masalah seperti tadi.

"Maaf, Mami udah bentak kamu tadi," sesal Fiona menarik kedua tangan Florine. "Mumpung udah di sini, gimana kalau kita belanja berdua?"

Seketika moodnya menjadi membaik, kepalanya mengangguk. "Ayo, Ma! Flo kangen banget bisa jalan-jalan berdua sama Mami!"

Fiona terkekeh ketika Florine meggandeng lengannya untuk berjalan mengelilingi Mall luas ini. "Kita belanja sepuasnya!"

Gretta melihat itu semua dari atas. Ia berada di sebuah kafe dengan view lantai bawah karena duduk di samping jendela. Bisa ia lihat bahwa sang Ibu tampak akrab dengan perempuan yang dianggapnya benalu.

"Lihat apa kamu?" tanya Harris seraya meletakkan beberapa kue di atas meja.

Gretta tak bergeming, mata indahnya masih tetap mengikuti kemana kedua orang itu singgah. Harris ikut melihat apa yang dilihat anak sematawayangnya itu.

"Maafin Papi karena waktu itu gagal buat cegah Mami kamu untuk adopsi bayi itu," ungkap Harris memandang Gretta sendu.

"Gapapa."

Harris menghela napas. "Kamu gak bosen selama beberapa tahun ini cuma liburan bareng Papi terus? Gimana kalau kita liburan bareng sama Mami?"

"Aku ikut asalkan benalu itu gak ikut," jawab Gretta menatap kue di meja karena kedua perempuan tadi sudah menghilang.

"Papi tau kamu masih sayang sama Mami," lirih Harris, diotaknya sudah menyiapkan berbagai rencana supaya mereka bertiga bisa liburan bersama.

"I do."

***

"Gak bisa! Aku mau Florine ikut. Kasian Flo sendirian di rumah."

"Dia gak sendirian di rumah. Masih ada beberapa pelayan!" jawab Harris menatap Fiona yang mukanya sudah memerah.

"Gak! Masa kita liburan seneng-seneng, tapi Flo cuma diem di sini? Aku gak mau, Florine harus ikut!" tegas Fiona menatap balik Harris yang mengusap wajahnya merasa sedikit frustasi.

Harris berdecak. "Anak kamu itu Florine atau Meli?"

"Dua-duanya anak aku!" teguh Fiona menatap suaminya.

"Kamu gak kangen kita libur bertiga? Kamu gak kangen lihat senyum sama ketawanya Meli? Kamu bahkan pilih kasih sama Meli gara-gara anak itu!" Harris tanpa sadar menaikkan nada bicaranya.

Fiona mendesah berat karena lagi-lagi pertengkarannya tak jauh dari masalah kehadiran Florine. "Sayang, tolong ngertiin kondisi aku."

"Aku udah ngertiin kamu semenjak kamu mulai adopsi anak itu! Anak itu kesalahan Kakak kamu, kenapa kamu yang tanggung jawab?! Balikin anak itu ke Kakak kamu! Aku gak mau lihat anak aku nangis lagi cuma gara-gara kamu pilih kasih," jelas Harris membuat Fiona seketika menegang.

"Me-meli nangis?" kagetnya menatap Harris yang sekarang mengusap wajahnya. Ia tak sengaja keceplosan karena emosi, bahkan itu merupakan janjinya kepada Gretta.

"Lupain semuanya. Kalau kamu gak mau ikut kita liburan gapapa. Urus aja anak itu, jangan peduli sama Meli lagi," putus Harris meninggalkan Fiona sendirian di ruang kerjanya.

Fiona mendadak blank. Pikirannya terus tertuju kalimat yang diucapkan oleh suaminya tadi. Sejak kapan Meli menangis? Bukankah Meli terakhir menangis saat terjatuh dari sepeda dan itu umurnya masih sebelas tahun? Lalu apa yang dimaksud dengan suaminya?

Seumur hidupnya, Fiona tak menyangka jika perbuatannya selama ini membuat anak gadisnya menangis hanya karena perihal kehadiran Florine. Apakah keputusannya benar-benar salah? Padahal Florine adalah bayi yang tak bersalah, lantas mengapa sekarang semua orang menyalahkan kehadiran gadis itu? Bahkan sang Kakak sudah tak mau menerima anak hasil dari perselingkuhannya itu. Fiona meneteskan air mata karena pertanyaan dalam otaknya seketika menjadi penuh.

"Maaf ... maaf."

Be Antagonist to ProtagonistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang