06.

68 19 1
                                    




Semua akan kembali, kembali pada aslinya. Rahiga tak memungkiri bahwa kejadian itu akan nyata terjadi di hidupnya, termasuk pikirannya saat ini akan berkecamuk pada kejadian dulu. Tentu saja hanya Rahiga seorang yang memendam pikiran tersebut.

"Kenapa kau tidak terlihat sama sekali pada Pagelaran tadi malam, bahkan kau tidak pulang." Suara Ayah yang mengalihkan pikiran Rahiga saat ini.

Dilihatnya wajah Ayah yang selalu menunjukan sosok yang berwibawa itu hilang, Ayah adalah sosok yang keras bahkan untuk masalah biasa saja Ayah bisa saja mengurungnya untuk keluar rumah.

"Rahiga pergi kesana waktu Ayah belum sampai, sesudah itu Rahiga pergi." Rahiga menjawab dengan suara tak gentar, seperti sudah terlalu biasa Rahiga akan terpojok seperti ini dan itu di karena Rahiga yang tidak selalu melakukan perintah dari sang Ayah.

"Kemana? Ayah memintamu untuk tetap menyambut warga disana, bukan hanya datang lalu pergi! Apa kau lupa dengan Tata Krama-mu, Rahiga!" Bentak Ayah cukup keras, boleh ia tebak jika pekerja di rumah pasti bergelonjak kaget.

Rahiga tersenyum getir. Tata Krama? lantas selama ini ia hanya berlaku diluar ranah? apa selama ini ia hanya mendahulukan keinganannya saja? apa selama ini tindak lakunya salah? coba ia pahami sekali lagi bahwa Ayah mengaturnya karena dia anak semata wayang bukan sebagai alat kuasanya saja. "Rahiga apa hal sulit jika hanya menurut--" Terputus ucapan sang Ayah disaat Rahiga berani menyelah, "Tidak, tapi cukup dengan rasa egois Ayah, Rahiga ingin pergi." Rahiga sepertinya sudah di ambang tidak perlu takut lagi dengan dia yang akan dikurung atau sabetan Ayah yang cukup membekas. Semenit kemudian ia pergi begitu saja melewati sang Ayah, Ayah yang hanya melihat dengan tatapan kobaran api hanya mendiamkan diri.

Selepas Rahiga pergi, Ayah memanggil salah satu orang kepercayaan atau sebut saja orang yang bekerja dibawah kuasanya saat ini. "Katakan apa yang kau lihat selama memantau gerakan Rahiga."

Seseorang yang bekerja dibawah kuasa Ayah tidak yakin, tapi ia lihat dengan mata sendiri dan mendengar waktu keributan terjadi tempo lalu, "Den Rahiga sama seperti yang saya sampaikan pada anda sebelum-sebelumnya, Tuan." Dengan sebutan seperti itu apakah sudah jelas gimana besar kedudukan ayahnya di Surabaya ini?

Ayah hanya menaikan salah satu alisnya sebagai jawaban untuk melanjutkan percakapan sebelumnya, "Den Rahiga masih suka berjalan-jalan dan menyapa antusias rakyat, dan mengikuti pembelajaran semestinya. Tapi seminggu ini saya merasa aneh..." Ucapan pekerja ini membuat Ayah mengernyitkan dahinya. "Den Rahiga awalnya hanya berteman dengan mas Yada, kini mempunyai teman sebayanya lagi." Ayah yang mendengar Rahiga mempunyai teman sebaya lagi langsung dibuat bingung, Rahiga bahkan hampir tidak memiliki teman karena Rahiga tidak akan menganggap teman jika hanya melalui sapaan saja, Rahiga akan menganggap seseorang teman jika sudah bersamanya bermain saat kecil, contohnya Yada. 

"Siapa dia?" 

"Saya tidak yakin, Tuan. Tapi saya melihatnya seperti bukan rakyat yang Tuan kenal." Maksud dari yang ia tidak kenal sepertinya ini bukan teman pada biasanya.

"Cari tahu lagi, saya tidak yakin dengan tebakan saya." Sepertinya akan banyak hal terjadi kedepannya, ia akan menatanya lagi.


---


Sepeninggalan kakinya pada ruangan sang Ayah, Rahiga melangkahkan kakinya pada ruang kamarnya. Sepertinya dia tidak akan mengunjungi Aksara, bukan. Mengunjungi rumah temannya Yada maksudnya. Itu akan lebih aman jika dirinya membatasinya dulu, Ayah akan menggali lebih banyak tentang dirinya kedepannya apa lagi kejadian waktu tadi yang lebih muda berani menyelat perkataan sang Ayah. 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 28, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Toen-djoengan, 1950.  - a jaesahi storyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang