Prolog

246 44 10
                                    


Pameran Tunjungan, 2022.





Aksara tertawa pelan saat mengirim satu kolom pesan untuk temannya. Lalu di rasa sudah cukup puas mentertawakan temannya lewat handphone tersebut, lekas ia masukan lagi benda pipih tersebut ke dalam Sling Bag dan melanjutkan apa yang sempat terhenti itu.

Ia kini sedang berada di Pameran Tunjungan. Entah, apa yang membuatnya untuk berkunjung kemari.

Antara melihat-lihat bagaimana benda-benda kuno berada di tempatnya sejajar atau hanya gabut semata.

Langkah kakinya maju berurutan, satu persatu matanya menelisik, dan berakhir dengan satu tatapan penuh tanya pada barang tersebut.


Nakas Meja Kayu.


Apa yang membuat Nakas ini di taruh dalam Pameran? Apa Nakas ini berisi uang di dalamnya? Ah ngaco!

Ia perhatikan lamat-lamat, memang bentuk Nakas Meja Kayu ini sangat aneh, terlihat seperti baru di pahat. Namun, sudah termasuk barang kuno.



Jangan di sentuh!


Ah, terdapat peringat... ia lupa bahwa di Pameran tidak diperbolehkan sembarangan menyentuh, mungkin karena barang antik dan seperti di jaga keawetannya.

Melanjutkan langkahnya dengan pelan untuk melihat-lihat barang antik lainnya, tapi kenapa otaknya sudah merasa sejalan, namun hatinya tidak?


Di dalam hatinya menyuruhnya untuk kembali dan membuka Nakas itu. Ia menggeleng tanda agar tersadar dari sifat keponya.


Tidak, tidak boleh! Batin dirinya.


Aksara menghembuskan nafas kasar, sepertinya tingkat keponya sudah berada di ujung."Aish, kenapa aku kepo banget sama Nakas Meja itu!" Ucapnya pelan pada dirinya sendiri.

Melangkahkan kakinya mundur, hatinya bimbang. Apakah ia harus membukanya agar rasa penasaran itu hilang? atau memendam rasa penasaran itu hingga terlupakan?


Menolehkan kepala ke kanan dan kiri, lalu melihat sekitar dirinya apa sepi? oh, tentu saja sepi. Karena minat manusia pada pameran seperti ini hanya sedikit.


Menarik nafasnya pelan lalu ia hembuskan dan merapalkan doa-doa agar pembatas ini tidak terbunyi.

Ia membuka Nakas Meja itu perlahan, dan tidak ada apapun. Hanya ada kaca kecil menempel pada Nakas tersebut. Untung saja tidak terbunyi, batinnya.

Aneh saja, kaca ditempelkan dalam Nakas untuk apa?

Ia memperhatikan dengan seksama, tidak merasa janggal, awalnya. Namun, beberapa detik kemudian...


Matanya memburam, cahaya di penglihatannya semakin redup, kepalanya sungguh pusing dan nafasnya terasa tercekat. Apa ia akan pingsan disini? dan detik selanjutnya ia terjatuh lemas tidak sadarkan diri.





 Apa ia akan pingsan disini? dan detik selanjutnya ia terjatuh lemas tidak sadarkan diri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Toen-djoengan, 1950.






"Koe paham ora, Rahiga?

"Iyo."

Rahiga hanya mengiyakan saja omongan teman sebayanya yang merangkap jadi guru penasihat, menurutnya itu.

Dirinya tidak terlalu memusingkan apa saja yang ia akan lakukan nanti. Sejak berkeliling untuk menikmati atau bercengkrama pada warga sini, ia tidak terlalu fokus pada ucapan yang keluar tadi. Ada yang ganjal pada hatinya, namun ia dapat sudahi dengan dengan melihat warga yang bergerombol pada satu titik.


Apa ada pembantaian lagi? Apa Tentara sekutu menembak asal warga-warga sekitar?


Ia urungi berperang batin tersebut, dan segera mendekati kerumunan itu.

"Onok opo iki rame-rame?" Ucap Teman sebayanya itu pada warga sekitar dengan lantang yang dapat membukakan kerumunan tersebut.

Dapat ia lihat, pemuda yang tengah bersandar pada pintu mobil Mallaby. Pemuda dengan rambut putih, kulit putih pucat dan pakaian yang menurut Rahagi tidak pernah ia temui sebelumnya.

"Siapa dia?", tanyanya dengan menatap warga. Warga hanya menggeleng tanda tak tahu siapa Pemuda yang tengah mengerjapkan mata.

Rahiga berjalan mendekat dengan langkah tenang, membuat warga yang tadi berkerumun dekat, kini semakin menjauh.


Duk, duk


Sengaja menendang pelan dengan ujung sepatunya ke arah lutut pemuda tersebut, agar dapat membangunkannya.

Temen Sebayanya itu mendekat ke arahnya, "Koe ngerti iki sopo?"

"Tidak, coba kau saja tanyakan dia siapa." suruhnya, agar ia tak perlu repot-repot membuka suara.

"Hei, pemuda! mengapa kau tidur disini?" tanya teman sebayanya lantang, namun yang ditanyai hanya menatap ke arahnya dengan tatapan bingung.

Rahiga menatap mata tersebut penuh selidik, yang terkesan menyeramkan. Karena manik matanya menusuk yang membuat Pemuda di depannya menatapnya balik dengan tatapan bingung.

"Koe duduk wong pribumi!" tuding Rahagi tiba-tiba dengan nada membentak.

Riuh-riuh warga semakin keras, warga meminta agar penyusup ini di bunuh saja.

"Yada, bawa dia ke Tanah Penjara." dan dapat dijawab Yada dengan menggangguk patuh.

Dapat ia lihat jika Pemuda yang tangannya sedang dikunci cepat oleh Teman sebayanya tersebut tengah memberontak keras. Ia berteriak meminta tolong.




Sia-sia kau meminta tolong. Pelatuk mereka itu dapat dengan cepat menembus kepalamu. Ucap Rahiga dalam hati.





 Ucap Rahiga dalam hati

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.





"Maksudmu rumahku Tanah penjara? tanya Yada bingung. Yang benar saja penyusup di bawa ke rumahnya?

"Tidak." Rahiga menjawab pertanyaan itu dengan mata yang menatap tubuh pemuda tersebut tengah terbaring lemas.

Tadi ditengah kuncian tangannya pada Yada membuat pemuda tersebut kembali melemas karena terus memberontak hingga Yada sendiri kewalahan, padahal kuncian Yada terbilang sangat kuat.

"Lalu mengapa kau membawanya kesini? biarkan ke Tanah penjara, katamu dia penyusup."

"Dia bukan penyusup, aku hanya mengarang." Rahiga menjawab dan beralih dengan mendudukan dirinya pada kursi rotan.














tbc.

Toen-djoengan, 1950.  - a jaesahi storyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang