Aku menjawab pertanyaan itu, "gak punya, kenapa?"
Pakai nanya.
Terkutuklah jiwaku yang penuh beban dosa dan kebiadaban duniawinya. Terkutuklah mulutku yang seolah penasaran dan memancing kenapa dia harus menanyakan hal sus (mencurigakan) itu.
"Oh, gak apa-apa."
Kenapa, ya? Orang-orang selalu penasaran soal pasangan, kabar, sudah makan atau belum, dan berbagai hal lainnya yang sebenarnya tidak perlu dipertanyakan untuk basa-basi. Sejatinya itu adalah diluar kepentingan mereka (aku juga sering basa-basi pakai ini).
Bodoh sekalì.
Tidak hanya dari awal pagi sekali aku sudah bertemu Diana, begitu pun selama aku berada di sekolah. Aku diikuti seolah prasasti bersejarah yang harus dijaga dan diamati, aku seolah tahanan, apalagi sandera. Aku seperti mahluk aneh yang harus diperhatikan tumbuh kembang dan dipelajari kebiasaannya. Ini berlansung selama seminggu lebih, aku sudah muak.
Kata teman-temanku di kelas, banyak warga sekolah disini dan di sebelah (sekolah lama Diana) yang menggosipiku. Beberapa orang bilang aku selingkuhan Diana, yang dimana itu sangat tidak benar. Mereka bilang aku ingin merebut Diana dari pacarnya yang sekarang, namanya Amelia. Mereka bilang aku naksir Diana tanpa tahu dia punya kekasih. Ada juga yang bilang aku mendekati Diana, meskipun aku tahu dia punya pacar. Bisa gila aku.
Aku menjelaskan pun, orang-orang tak akan percaya. Pernahkah kalian lihat orang klarifikasi tanpa hujatan di kolom komentarnya? Pasti ada saja nyempil 1 biji. Sama seperti keadaanku sekarang, kalau pun aku beberkan fakta kalau aku suka lawan jenis saja, mereka tak akan percaya. Karena orang lebih suka mendengarkan gosip daripada diajak membicarakan fakta, semua orang alergi fakta.
Tapi, siapa yang tahu ternyata 2 sampai 5 tahun lagi, ternyata aku berubah jadi bi-seksual. Siapa yang tahu, kan?
2 minggu terlewati, dan hanya sisa segelintir orang yang memandangi kami selama berjalan berdua di lorong sekolah. Kami menjadi teman baik, mungkin. Aku masih terganggu, karena aku jadi punya dampak karena berteman, aku digosipi dan dipandangi dengan bengis dimana pun.
Hal yang pasti, malam ini ketika aku baru saja bangun dari tidurku (siang ke sore—tolong jangan ditiru, tidur itu malam). Aku kaget dengan 12 notif yang ada di hpku, jauh lebih mengejutkan lagi ketika tahu siapa yang mengirimkan pesan sebanyak itu kepada pengangguran sepertiku. Itu Amelia.
Kan, sudah 'ku bilang, rumor itu menjijikan sekali.
Gila? YA!
Aku dulu tidak bisa membayangkan hal seperti ini akan menyeretku dimasa depan, lalu kemudian sekarang pertama kalinya dituduh jadi seorang yang bermain belakang dengan kekasih orang, rasanya seolah aku perempuan murahan yang haus validasi lewat: merebut milik orang lain.
Aku menemukan sebuah kejanggalan, titik dimana aku sadar Amelia sampai resah akan kehadiranku diseret ke kehidupan Diana. Mungkin ini pertama kalinya Diana memperlakukan seorang teman terlalu berlebihan, sampai-sampai rasa bimbang itu tumbuh didalam dirinya. Sampai harus menghubungiku terlebih dahulu, yang aku tahu takkan bisa 'ku lakukan, karena aku punya gengsi.
Aku jawab pesannya hati-hati, semoga bisa menyelesaikan masalah.
Dia kemudian tidak jawab lagi beberapa jam ke depan, aku bengong dalam kamarku, aku menunggu balasannya. Jujur, kalau aku jadi dia, aku akan lebih memilih untuk memutuskan pacarku, daripada mengemis meminta orang lain menjauhi pacarku yang gatal. Mungkin sudah sebegitunya suka, jadi dia tidak apa melakukan hal seperti ini untuk Diana. Tapi, kasihan sekali harus ada diposisi itu.
Aku turun ke lantai bawah, "oi, Bolu!" Menyapa anjingku yang sedang bersantai di atas sofa dengan adikku, Juni. Anjing itu datang mendekatiku dengan ekornya yang mengibas kanan-kiri. Aku elus ia gemas, "sudah makan ni anjingnya?"
"sudah, tadi aku yang kasih," jawab adikku.
Baguslah, aku sedang mau keluar, mau beli pisang goreng. Aku ambil jaket yang menggantung dekat pintu masuk, sudah ada maskerku di dalam kantongnya, uang juga sudah masuk saku celana, aku ambil kunci motor dan pergi menuju garasi.
Dari garasi kecilku, aku bisa meloncati beberapa blok ke samping, Diana sedang bersantai di balkon lantai 2 rumahnya. Dia kelihatan santai sekali, seolah tidak tahu masalah apa yang tengah menghinggapinya. Dia mendengarkan musik lewat headphonenya, namun seolah aku sangat dekat dengannya, dia menoleh dari kejauhan, dia menemukanku.
Dia seolah memanggil namaku, tangannya juga melambai ke arahku. Duh, seandainya tidak ada masalah soal dia dan kekasihnya, seandainya kekasihnya tahu aku hanya suka lawan jenis, seandainya kekasihnya juga tahu kalau aku tidak punya niat apa-apa dengannya. B*ngsat, ah.
Aku melajukan motorku ke arah depan gang besar rumahku, berbelok ke kiri, lurus terus sampai aku menemukan pertigaan, belok kanan, lurus lagi sampai aku menemukan warung dengan gerobak di depannya: didominasi berwarna hijau, ada tulisan Pisang Keju Pak Eko.
Aku memesan green tea tanpa keju dan keju susu, sebenarnya aku pernah kesini, tapi hanya sekali. Saat itu aku menyesal karena aku sudah beli banyak makanan, tapi memaksakan dessert untuk masuk lagi ke perutku. Lapar mata.
Funfact: aku akan pergi ke 1 tempat entah itu kafe, tempat makan, atau Indomaret sekalipun sampai aku merasa bosan kesana. Aku tipe yang setia pada 1 tempat (langganan).
Aku kembali ke rumah membawa 2 pisang gorengku, namun sudah disambut kedatangan Diana di depan garasi rumahku. Dia sedang mengobrol dengan adikku, ada rasa ingin kabur ke suatu tempat, tapi kemana? Kalau mau nongkrong, uang dikantong sudah habis sama pisang goreng.
Aku pun memarkirkan motor ke garasi, aku memasang muka seolah terlalu lelah untuk bersosialisasi.
"Hai, jul." Sapa Diana.
Aku hanya mengangguk, tersenyum seadanya. Tiba-tiba ibu datang dari dalam rumah, "lah? Ada Diana, toh."
Duh, m*ti aku.
"Adik bawa masuk dong Kak Diana-nya, gimana, sih? Ayo sini, Diana, masuk...masuk..."
Kami semua masuk ke dalam, pisang gorengku disajikan di tengah meja ruang tamu. Aku sakit hati melihat pisang gorengku dimakan Diana, b*ngsat.
Sedih kalau diingat-ingat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Racun Dunia
Humorwlw. Warning! Banyak bahasa bersetubuh! Aku lebih percaya takdir suka permainkan nasib manusia, daripada memberikan pembelajaran. Dia suka memutarbalikkan bahagia ke siksaan, dan manusia sering bodoh dengan melindungi kecewa dibalik kalimat, "namany...