04

18 2 0
                                    

Aku terjebak dalam bilik kamar tidurku dengan Diana, kami tidak begitu banyak bicara, hanya tanya-tanya soal tugas sekolah. Kemudian dalam heningnya kita berdua, dia nampak jauh tidak nyaman, jadi kutawari minuman saja.

"Mau minum, gak?"

"Boleh, deh."

Aku beranjak dari tempatku duduk, aku turun ke lantai 1 dan membawakan setengah sisa pisang goreng dan dua cangkir es teh (tidak ada hal lain yang bisa aku berikan pada tamu tidak diundang itu). Semoga habis teguk-meneguk teh, dia lansung pulang.

Aku membuka pintu kamarku, ku perhatikan ternyata dia sedang berbincang lewat telepon dengan seorang perempuan. Diana panggil dia dengan sebutan, "adik." Aduh, siapa lagi sih, bangs*t?

Aku menyetel lagu lewat bluetooth speaker setelah aku meletakkan jajan dan minum, dia seolah tidak menyadari aku ada disana, dengan musik sekeras itu, memang tidak terganggu, ya? Atau memang tidak mau peduli? Aku pikir keduanya, aku yakin dia bodoh.

Diana mengobrol cukup lama, sampai akhirnya beberapa menit aku tunggu, dia menutup telepon dengan hembusan nafas gusar. Aku tidak tahu mau bereaksi bagaimana, aku hanya penonton, aku akan tanya kalau dia bersedia cerita, selebihnya aku tidak punya kepentingan.

"Tadi pacarku telpon. Katanya, seharusnya aku gak disini."

"Pulang, lah."

"Ngusir, nih?"

Lihat? Bodoh.

Diana dan aku saling sarkas lima menit kedepan, seolah tidak kapok, sekarang giliran aku yang dapat chat dari pacarnya. Intinya dia bilang, tolong kasih Diana pulang ke rumahnya, jangan disini lama-lama.

Aku mengernyit, seharusnya dia tidak minta aku, Diana pacarnya, jadi bukan masalahku. Aku memang terlihat egois, tapi ini benar-benar bukan sesuatu yang harus aku urusi. Mereka ini, bodoh sekali.

"Kamu kenapa mainan hp terus? Ngobrol sama aku, lah."

"Pacarmu daritadi chat aku, gimana caranya aku gak mainin hp? Aku dispam, mending kamu pulang deh."

"Gak, ah. Aku lebih suka disini daripada di rumah."

"Kenapa?"

"Karna ada kamu."

"Gila," kataku.

Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dia ini keras kepala, aku malas berdebat dengan otak batu, semua kalimat yang aku ucapkan takkan bisa menembus kerasnya. Aku kadang berpikir untuk memusnahkan seluruh orang yang punya sifat spesifik, seperti: otak batu, kekanakan dan masih banyak lagi sifat-sifat yang tidak aku suka dari manusia.

Tapi, mereka adalah aksesoris dunia, semesta butuh pemberontak untuk melawan pemberontak lainnya. Ketika si keras kepala bertemu dengan kekanakan, mungkin kekanakan akan belajar bahwa dia takkan bisa merengek kepada si kepala batu. Kepala batu juga mungkin bisa belajar, berdebat dengan kekanakan hanya akan membuang waktu, dan memang ada saatnya untuk mengalah dan mengerti satu sama lain. Semesta mempertemukan manusia dengan manusia lainnya, sifat-sifat mereka melawan pendirian satu sama lain, semesta suka menoreh luka pada yang kalah, namun memberikan hadiah berupa pembelajaran hidup. Ambil hikmahnya, kalau kata mereka.

Diana ini punya semua bentuk pemberontakan, dari mukanya sudah kelihatan jelas.

"Kenapa gak suka di rumah?" tanyaku.

"Banyak sih, faktor yang bikin aku sebegitunya gak suka ada di rumahku senduri. Aku sama kakak ipar gak akrab, sama sekali. Ayah sama ibu sedikit lagi diusia pensiun, tentu aku gak bisa terus bergantung diri sama mereka, seharusnya mereka sudah istirahat. Aku mikirin itu semua. Pacarku? Aku bertahan sama dia karena dia gak punya ayah, aku pengen jadi sosok itu buat dia."

B*ngsat, kenapa jadi deeptalk?

Funfact yang sebenarnya tidak fun sama sekali: aku paling takut deeptalk, aku tidak bisa diajak terlalu serius. Aku hanya tidak suka atmosfir yang dibuat oleh percakapan-percakapan yang terlalu deep, aku lebih suka bicara santai saja. Aku tidak tahu harus bagaimana ketika mendengar cerita sedih.

Jadi, aku hanya menunduk dan menganggukkan kepalaku. Aku akting seolah berpikir amat dalam, padahal otakku tidak jalan.

Dia terus bercerita soal keadaannya di rumah, lama-lama aku semakin kasihan, dan tentu otakku semakin tidak jalan. Sungguh, aku tak tahu harus bagaimana kalau sudah deeptalk. Aku (sedikit) menyesal bertanya soal keadaan rumahnya. Tapi, bisa jadi aku adalah orang yang baru bertanya soal itu, sebab Diana lansung mencurahkan segala cerita. Seolah, selain aku, tidak pernah ada yang bertanya kesitu. Mungkin mereka tidak punya nyali, karena itu masalah pribadi.

Sh*t, berarti aku kepoan dong? Yah, aku 'kan mau jadi misterius...

Ya, sudah. Nasi sudah jadi lemper, buat apa menyesal.

Untuk mengatasi rasa bermasalah ini, aku cerita kepadanya soal pengalamanku ketika dulu terkena bullying yang paling mengguncang dalam hidupku. Aku terus kepikiran, jadi kenapa tidak dicurahkan saja.

"Aku dulu waktu SMP kena bully, aku terus kena rumor seolah aku cewek nakal dan suka melakukan hal-hal aneh dengan mantanku. Aku putus dengannya karena itu, padahal dia baik sekali, meskipun suka pamer harta orang tuanya. Setelah putus, aku malah dijauhi, mantanku dulu adalah satu-satunya temanku, jadi...dia 'tuh, teman sekaligus pacar. Aku dijadikan bahan tertawaan karena badanku gendut, ini bukan hal yang serius mungkin untuk beberapa orang. Tapi, aku sudah mengalami body shaming sejak aku duduk dibangku SD kelas 5, aku bahkan takut ke sekolah waktu itu karena semua memanggilku gendut. Mamaku saat itu entah kenapa benci sekali denganku, bahkan mungkin sampai sekarang. Dia terus memvalidasi semua hinaan orang tentang badanku, bahkan ikut menertawakanku dengan mereka..."

Aku tidak sengaja mencurahkan semuanya (juga).

Sekitar pukul 20.33 malam, Diana pamit pulang. Kami menghabiskan waktu dengan merokok didalam kamarku. Ya, kami berdua sama-sama berandalan kecil.

Aku tidak punya masalah apa-apa, tapi terakhir alasanku merokok adalah karena aku kena bullying parah di SMP. Akibat stress lebih tepatnya (tidak untuk ditiru).

Aku melamun, kamarku sepi setelah Diana pergi, dan aku juga bukan tipe yang suka memainkan musik lewat speaker lama-lama. Aku bersenandung tipis, beberapa pikiran jahat lewat begitu saja, aku teracuni karena percakapan tadi.

"Aku ingin tahu lebih soal Diana."

Ya, aku baru saja diracuni. Aku seperti putri salju yang habis dicekoki apel beracun oleh penyihir. Aku seperti sedang mabuk, mungkin saja apel (percakapan) itu bukan racun, bisa jadi itu narkoba. Apel narkoba diberikan padaku, jadi aku nge-fly, aku high, lalu aku berpikir yang tidak-tidak.

Duh, aku butuh menyegarkan pikiran, aku bangun dari tempatku, merapihkan bekas kami merokok beserta asbaknya, dan mandi sebersih-bersihnya.

Racun DuniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang