bab 1

89 4 0
                                    

Prolog

Jika kalian membuka dan membaca diary  ini, kemungkinan aku sudah tiada.

Diary ini, aku tulis tepatnya saat pertama kalinya mendapatkan perlakuan buruk dari ayah.

Dan didalam buku ini, terdapat segala angan dan kisah memilukakanku yang berawal dari sini.

Bab 1

Hatiku memang sudah terluka
Tapi, bukan berarti mati rasa.
~Kenzo

Kisah itu bermula saat aku berusia delapan tahun, tepat saat menduduki bangku sekolah dasar. Ayah sering memukuliku dengan tangan kekarnya.

Semua terjadi karena diriku yang ingin mempunyai sepeda. Bahkan sebelum itu mungkin ayah memang sudah membenciku.

Ayah—Adipramana selalu membelikan apapun keinginan abang, selalu merayakan bahkan mengado dengan hadiah yang dia inginkan.

Setiap kali aku berulang tahun hanya bibi yang merayakan; membuatkan nasi berbentuk lingkaran, dengan mata yang terbuat dari wortel, dan senyum dari telur dadar.

Setiap pulang sekolah bibir mungilku mengatakan, "Bibi, Ezo lihat teman-teman ke sekolah mengendarai sepeda lho Bi. Ezo pengen punya sepeda kayak mereka Bi, biar Ezo sekolah nggak capek jalan kaki sendirian."

Kulihat bibi yang mengusap air matanya, mengelus rambutku penuh kelembutan. "Ezo, maafin Bibi yang nggak bisa beliin Ezo sepeda, ya. Uang Bibi buat anak-anak Bibi sekolah, dan hidup sehari-hari mereka," ucap bibi.

"Iya  Bi, nanti ayah bakal beliin Ezo sepeda kok. Iya, kan, Bi?" Bibi mengaggukkan kepalanya dengan mengembangkan senyumnya.

**********

Siang hari tepat saat abangku—Aydan ulang tahun. Dari jendela kamarku terlihat abang ditutup matanya dengan seikat kain hitam; berjalan menuju halaman rumah.

Terlihat kado besar di hadapannya, tertutup kardus yang didesain bak kado mewah.

Setelah dibuka, tampak isinya adalah barang yang selalu kuimpikan. Namun, bukan milikku tapi milik abang.

Aku berlari ke atas kasur—memeluk kaki mungil sembari menangis sesegukkan. Terdengar suara pintu dan suara tapak kaki menuju ke arahku.

"Ezo, kenapa nangis Sayang?" tanya bibi sembari mengelus rambutku.

"Hiks, Ezo pengen punya sepeda seperti milik abang Bi ...," aduku dengan menatap wajah bibi.

"Nanti Ezo punya kok," jawab bibi yang terlihat menitihkan air matanya.

"Siapa yang bakal beliin Ezo sepeda Bi ... apa Ezo minta ke om Iel aja ya, Bi?"

"Ezo ... om Iel kan, ayahnya den Zaidan, om Iel juga punya keluarga yang harus dicukupi bukan? Om Iel juga baru memulai usahanya. Ezo yakin mau minta ke om Iel?" ujar bibi dengan nada halus.

"Iya juga ya, Bi,  Ezo nggak minta ke om Iel, deh. Ezo minjem abang aja, pasti abang minjemin. Kan, abang baik."

Sore harinya saat kulihat abang bermain sepeda di halaman, aku mendekat dan meminta izin abang untuk meminjamiku sepeda.

"Abang, Ezo pinjamin sepeda Abang sebentar aja." pintaku sembari melempar senyuman.

Abang mengiyakan permintaanku— mengajari  dengan memegang tubuh serta setang sepeda.

"Hey, turun dari sepeda!?" Terdengar suara ayah dari arah pintu rumah.

Aku menuruni sepeda seperti perintah ayah; tangan kekar milik ayah menarik telingaku keras. "Ingat! Saya tidak mengizinkanmu menggunakan sepeda milik Aydan. Paham?!" Ayah membisikiku dengan suara tegasnya.

REZORZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang