part 9

15 1 0
                                    

"Bangun, dari kemarin kemana habis nyari ulah? Bodo banget punya akal, sekolah cuman nyari masalah terus," ucapan ayah membuatku langsung membuka mata.

"Skorsing 3 hari,  ikut saya ke ruangan kerja sekarang juga!!" ayah memerintah dengan nada meninggi.

Brak!!

Pintu ditutup kasar oleh ayah, membuat terkejut saja. Jika ayah sudah menyuruhku untuk ke ruang kerjanya.

Saat kujejaki kaki di ruangan ayah, rasa takut lebih menguasa. Ayah tampak membalikkan kursi kerjanya.

"Memalukan!"

"Bodoh!!"

"Pembunuh!!"

"Sok jagoan!!"

"Nggak punya attitude."

Seperti itulah yang ayah katakan kepadaku; hati mencelos, benar-benar menyakitkan. Jika ditanya apa diriku tak lelah? Siapa yang bilang? Bahkan jika boleh, ku gantikan bunda saja. Biarkan bunda tetap hidup tapi itu namanya menyalahkan takdir.

Dari pada aku terus menyalahkan takdir itu; memilih untuk tetap bertahan, walau dunia begitu memuakkan.

Sebab bunda saja sudah berjuang demi diriku bisa hidup, lantas untuk apa menyerah begitu saja.

Kulihat ayah mendekatiku, mengambil sabuk yang dia kenakan.

"Tahu apa yang akan aku lakukan?" ayah bertanya kepadaku.

Aku membalik arah, untuk membuka pintu. Rasa malas untuk menghadapi ayah,  lebih menguasai diri.

Ctyar!!

Baru saja kubuka pintu itu; kurasakan sabuk itu mengenai punggung.

"Shh, Yah!" aku berkata dengan nada memprotes.

"Apa? Bantah aja sukanya!" ayah membalasku dengan nada sedikit meninggi.

Bruak!!

Ayah menendangku dari belakang hingga tersungkur.

Dengan sekuat tenaga, aku kembali bangkit; menatap ayah dengan lekat.

"Yah, Kenzo ini anak Ayah lho. Kenapa Ayah justru kasar sama Kenzo?" aku mengucap sembari mengangat satu alis.

"Karna kamu anak yang bodoh, pembunuh, dan nggak tahu diri." Ucapan ayah membuat hatiku semakin sakit.

Masa bodo dengan ayah, aku memilih pergi dari rumah sekejap, untuk menghilangkan rasa sakit yang mendera hati.

☆☆☆☆☆☆

Aku memilih pergi jauh dari kota; untuk sampai ke rumah milik nenek dari keluarga ibu yang berada di salah satu desa di Wonosobo.

Menempuh jarak yang cukup jauh, melewati jalan yang berkelok-kelok, menikmati sejuknya pepohonan, menikmati pemandangan gunung yang begitu indah.

Kuberhentikan sejenak saat melihat cafe di area pegunungan; menikmati sejuknya pemadangan;  sembari menyrutup kopi khas pegunungan.

Drt! drt!

Suara dering hendphone terdengar, rupanya handphone milikku; benar saja, tertera nama bi Inem di panggilan tersebut.

Bi Inem : "Nak, Ezo dimana hmm? Tadi bibi denger kalau di ruangan tuan seperti ada orang berantem. Bibi harap, itu bukan Ezo." Suara bi Inem terdengar sedikit bergetar.

"Itu Kenzo bi ...," aku menjawab.

Bibi: "Terus sekarang Ezo dimana? Jangan berbuat aneh-aneh lho ya."

"Kenzo cuman lagi pengen pergi jauh dari kota. Kenzo janji nggak akan berbuat aneh-aneh. Kenzo lagi di cafe, nanti mau ke rumah nenek. Kenzo mau matiin telphone dulu ya, bi ... entah satu atau dua harian," aku menjawab, agar bibi sedikit merasa tenang.

REZORZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang