part 8

13 1 0
                                    

Kutapakan kaki pada rumah yang selalu memberi luka lara; menerima penyiksaan tanpa mendengar jeritan kesakitan.

"Kenzo Rafrandra ... lelaki bodoh nan membangkang," ayah berujar. Mengejutkanku yang baru saja membuka pintu rumah.

Kata-kata itu begitu menusuk kedalam relung hatiku.

"Guru kamu memberi tahu jika kamu tidak lolos seleksi olimpiade," ayah menjelaskan kepadaku.

Mataku terbelalak; mulut sedikit menganga.

"Kamu itu tidak bisa kah menjadi seperti Aydan? Pintar, berprestasi, dan tidak  urakan sepertimu?" ayah melanjutkan ucapannya, membuatku semakin ingin meluapkan emosi.

"Yah, aku nggak akan bisa menjadi bang Aydan, begitupun sebaliknya. Jadi ... stop bandingin Kenzo dengan bang Aydan," aku berkata sembari menahan emosi yang tersulutkan.

"Ya, memang. Kamu itu tidak bisa seperti Aydan. Mana bisa laki-laki bodoh sepertimu ini bisa seperti Aydan. Hahahah." Perkataan dari ayah itu semakin membuat emosiku semakin tersulutkan.

Seusai bertemu dengan bibi. Kupinta bibi agar bisa menemani walau hanya berkeluh kesah.

Kami duduk di taman kecil depan kamar bibi.

Kepala terasa ada elusan pelan yang membuatku nyaman, "Bi ...," aku memanggil dengan lirih.

"Hm ... kenapa Nak? Kelihatan capek banget kamu," bi Inem bertanya.

"Kenzo pengen bunda disini Bi. Kenzo pengen ngrasain kek orang-orang, di sayang sama keluarganya, di perhatiin. Kenzo nggak pernah tuh lihat ayah perhatiin atau sayang sama Kenzo," aku berucap dengan mata yang kupejamkan.

"Hei, Nak, kenapa Kenzo  seperti ini hm ... apa yang terjadi tadi?" bi Inem bertanya.

"Kenzo gagal olimpiade," aku berkata dengan pelan.

"Nak, wajar. Kegagalan itu pasti ada. Maka dari itu cobalah untuk bangkit dari kegagalan itu. Bibi disini selalu menyemangatimu." Setelah menasihatiku. Bi Inem meggenggam tanganku.

☆☆☆☆☆☆

Siang itu begitu panas, air keringat begitu mengucur dengan deras.

Saat memilih pergi ke taman belakang. Tampak Alfian sedang berbicara serius; salah satu temannya menatap kesana kemari seperti orang yang mencari keamanan pembicaraan tersebut.

Merasa penasaran, aku bersembunyi pada belakang tembok yang 'tak jauh dari taman.

"Kemarin, gue menang seleksi olimpiade dan Kenzo ... jelas kalah lah. Hahahah." Masihku tahan emosiku mendengar penjelasan dan tawaan dari Alfian.

"Oh iya, kemarin dia di ruangan multimedia cuman bisa merem, karena pengaruh obat tidur yang aku taburin pada esnya," Alfian melanjutkan ucapannya.

Tiga teman yang dia ajak ngobrol terdengar suara gelak tawa yang amat keras.

Emosiku semakin tersulutkan setelah tahu ulah tangan siapa.

Aku mendekat ke arah Alfian; mencengkeram kerahnya dengan kencang.

"Pengecut?!" aku berucap dengan emosi yang tersulutkan.

"Weh, weh," suara itu tampak banyak. Rupannya suara dari ke tiga orang temannya Alfian.

"Mau lo apa!?" aku bertanya dengan nada tinggi.

"Mau gue lo tersiksa. Lo dari dulu selalu saja menyingkirkan gue dari olimpiade. Sekarang, gue singkirin lo!" Alfian berkata dengan nada meninggi juga.

"Dengan cara licik? Goblok!!" makiku sembari membogem muka Alfian.

"Woi, sini lho!" suara itu terdengar dari salah satu teman Alfian.

REZORZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang