Seperti biasa, suasana hening menyelimuti meja makan keluarga Askara. Hanya bunyi dentingan sendok yang kedengaran karena Jisoora bersama ketiga adiknya ingin segera menyelesaikan sarapan mereka dan berganjak pergi dari sana.
"Malam ini kita bakalan makan malam dirumah Grandpa kalian," ujar Askara memecahkan keheningan.
Jisoora memberanikan dirinya untuk menatap sang Papa "Apa keluarga Om Andika juga ada?"
"Itu sudah pasti. Kita bakalan makan malam bersama keluarga besar kita," sahut Askara "Dan untuk kamu Rosie-,"
Rosie sontak menatap sang Papa dengan tatapan takutnya.
"Kamu tidak perlu ikut bersama," lanjut Askara.
"Tidak bisa seperti itu. Rosie juga anak kita!" protes Herlina.
"Adik aku pasti bakalan membanggakan anak-anaknya yang cukup pintar itu. Memangnya kamu mau mereka mempermalukan aku gara gara anak bodoh kamu ini!?" sentak Askara.
Herlina menghela nafasnya dengan kasar. Dia tidak habis pikir sama pemikiran suaminya itu "Jadi kamu lebih memilih untuk menyakiti hati Rosie demi menjaga citra kamu!?"
Askara terkekeh "Memangnya anak bodoh ini punya perasaan?" sinisnya.
Rosie hanya mampu menunduk. Dia sudah terbiasa dipanggil bodoh oleh sang Papa, namun ianya tetap saja mampu membuatkan hatinya terluka.
"Cukup As. Jangan kamu bilang anak aku ini anak bodoh!" marah Herlina.
"Terus saja belain anak kamu ini. Aku tidak peduli!" balas Askara lalu dia beralih menatap Rosie "Ingat Rosie, kalau kamu ingin dibanggakan, kamu harus pintar seperti ketiga saudara kamu!"
"B-baiklah Pa" sahut Rosie tanpa berani menatap Askara.
"Aku sudah selesai," ujar Jisoora lalu berganjak pergi dari sana dengan membawa tas kerjanya.
"Aku juga," Jenniefer ikut bangkit dan bergegas pergi.
Lalice melirik kembarannya itu sebelum dirinya kembali menatap kedua orang tuanya "Papa, Mama, aku sama Rosie juga akan berangkat sekarang,"
"Kamu berangkat saja sama supir seperti biasa. Rosie bakalan berjalan kaki untuk ke sekolah. Itu hukuman untuk dia karena gagal mendapatkan nilai yang tinggi," ujar Askara dengan tegas.
Lalice menatap Rosie dengan tatapan bersalahnya. Dia sudah kehabisan cara untuk membantu kembarannya itu.
Rosie ikut menatap Lalice, lalu dia tersenyum tipis "Tidak apa-apa," ujarnya seakan berbisik.
Akhirnya Lalice menghembuskan nafasnya dengan kasar "Mama, Papa, aku berangkat duluan," dia menggendong tasnya dan bergegas pergi dari sana.
Tidak ingin telat, Rosie ikut menggendong tasnya sebelum berpamitan "Aku pergi duluan," dengan segera dia berlari keluar dari rumah karena dia harus segera tiba di halte bas agar tidak ditinggalkan.
*
Rosie tiba di halte, namun suasana dihalte itu sepi menandakan kalau bus yang akan dinaiki olehnya sudah berangkat.
Ya Tuhan, apa yang harus dia lakukan saat ini? Jika dia berjalan kaki untuk sekolah, dapat dipastikan dia tidak diizinkan untuk masuk gara-gara telat. Jarak sekolahnya juga terlalu jauh, dan dia tidak yakin dia bisa tiba dalam waktu yang singkat.
Secara tiba-tiba, sebuah mobil yang cukup dikenali olehnya itu berhenti didepannya. Pengendara mobil itu membuka jendela mobil "Masuk," ujar sang pemilik mobil dengan datar.
Rosie tersenyum dan bergegas memasuki mobil itu "Terima kasih, Kak Jenniefer,"
Jenniefer hanya diam dan melajukan mobilnya menuju kesekolah sang adik. Jika dilihat, Jenniefer memang sosok yang cuek dengan sekitar, namun tidak dapat dipungkiri kalau dia masih mempunya sisi hangat didalam hatinya itu.
Hanya keheningan yang menemani mereka didalam mobil itu. Tidak terasa, mobil yang dikendarai oleh Jenniefer akhirnya tiba digerbang sekolah "Belajarlah dengan benar agar Papa tidak marah," nasihat Jenniefer dengan raut wajah yang masih datar.
Rosie menunduk "Memangnya orang bodoh itu tidak berhak bahagia?"
Deg
Jenniefer tersentak ketika mendengarkan kata-kata sang adik yang mungkin sudah benar-benar terluka itu.
"Orang bodoh juga berhak bahagia, namun kita berbeda. Tidak ada kata bebas atau bahagia didalam hidup kita. Kita dituntut untuk menjadi yang terbaik. Hanya itu keinginan Papa"
"Tapi, sampai kapan kita harus mengikuti keinginan Papa? Kenapa kita tidak berhak melakukan apa yang kita suka?"
Jenniefer menghela nafasnya dengan kasar "Kakak tidak ada jawaban untuk itu,"
Rosie tersenyum miris "Mungkin kita bakalan menjadi boneka Papa sehingga Tuhan menjemput kita pulang," setelah itu, dia berganjak keluar dari mobil Jenniefer dan berlari kekelasnya.
Jenniefer menatap kepergian sang adik dengan tatapan yang sulit diartikan "Kakak juga tidak ingin dijadikan boneka Papa, tapi Kakak sudah tidak punya pilihan," lirihnya sebelum menjalankan mobilnya untuk pergi dari sana.
*
Jisoora menatap layar komputer didepannya tanpa minat. Dia sudah bosan dengan pekerjaannya itu. Dulu, dia benar-benar ingin menjadi seorang actress, namun sang Papa langsung membantah keinginannya.
Askara memintanya untuk bekerja diperusahan walaupun dia sama sekali tidak meminati business.
Ingin menolak keinginan sang Papa, namun Jisoora tidak mampu. Bahkan tidak ada siapa-siapa yang mampu menolak keinginan sosok yang keras kepala seperti Askara itu.
Jisoora sadar kalau selama ini dia dan ketiga adiknya hanya dijadikan boneka oleh Askara, namun dia tidak bisa melakukan apa-apa lagi untuk melawan Papanya itu.
Andai bisa, dia ingin kabur meninggalkan negara kelahirannya, tapi dia masih mempunyai ketiga adik yang harus dia lindungi.
Walaupun dia kelihatan cuek, dia tetap menyayangi ketiga adiknya itu bahkan dia sanggup mengorbankan seluruh hidupnya untuk dijadikan babu sang Papa demi melindungi ketiga adiknya.
Hah~
Kehidupannya benar benar menyedihkan.
Tekan
👇
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja(SEGERA TERBIT)
FanfictionSenja merupakan waktu matahari menuju terbenam. Senja dikaitkan dengan perasaan cinta dan rindu yang menggambarkan keinginan Rosie Skyler, sosok yang tidak pernah dihargai oleh sang Papa sehingga takdir memilih untuk membawanya 'pulang'. Rosie suda...