-Part 11-

1K 160 14
                                    

Kini Rosie sudah berada didalam kamar Jenniefer bersama kedua saudaranya itu.

"Shhh," ringis Rosie ketika Jenniefer mengobati pipinya yang bengkak gara-gara tamparan dari sang Papa.

"Rosie," lirih Lalice merasa tidak tega.

Rosie tersenyum bagi menenangkan saudaranya itu "Jangan khawatir Lice,"

"Rosie, bagaimana kondisi kamu nak?" Herlina memasuki kamar Jenniefer dengan khawatir.

"Aku baik-baik saja Ma," sahut Rosie.

"Kenapa kamu ada diruangan Papa?" tanya Jenniefer yang sudah selesai mengobati pipi sang adik.

Rosie menghela nafasnya dengan kasar "Aku dipilih mewakili sekolah untuk lomba nyanyian, dan aku butuh persetujuan Papa untuk mengikuti lomba itu," jelasnya.

"Dan Papa tidak setuju?" tebak Jenniefer.

"Iya," singkat Rosie.

"Memangnya kamu ingin sekali mengikuti lomba itu?" tanya Herlina.

"Aku mau Ma. Aku juga ingin bikin Papa bangga sama aku, walaupun aku tahu Papa tidak akan pernah bangga sama aku," jelas Rosie.

Herlina mengelus kepala sang anak dengan lembut "Ikut saja lomba itu. Mama memberi izin untuk kamu,"

"T-Tapi, bagaimana dengan Papa?"

"Kita rahsiakan semua ini dari Papa,"

"Apa tidak apa-apa?"

"Rosie," Jenniefer menggenggam tangan Rosie "Lakukanlah. Kita semua mendukung kamu," lanjutnya meyakinkan sang adik.

"Iya Rosie. Kamu pasti bisa," Lalice ikut memberi semangat kepada kembarannya itu.

Rosie menatap ketiganya secara bergantian, lantas dia tersenyum "Baiklah!" sahutnya penuh semangat.

"Mendingan sekarang kalian tidur," ujar Herlina menatap ketiga anaknya.

"Kak Jisoora kapan pulang Ma?" tanya Jenniefer.

"I'm here," sambar Jisoora; berjalan memasuki kamar sang adik.

"Kak Jisoora!? Kenapa sudah pulang?" kaget Jenniefer, begitu juga dengan yang lain.

"Urusan disana sudah selesai, makanya Kakak buru-buru pulang," jawab Jisoora "Apa yang terjadi? Rosie, kenapa sudut bibir kamu terluka?" khawatirnya.

"Seperti biasa. Dipukul sama Papa," bukan Rosie yang memberi jawaban, namun itu adalah sahutan dari Lalice.

"Papa mau apa lagi si," keluh Jisoora.

"Rosie dapat tawaran untuk ikut lomba nyanyian disekolah, tapi Papa kalian tidak mengizinkannya," jelas Herlina.

"Lomba nyanyian?" ulang Jisoora.

"Iya, tapi Rosie akan tetap mengikuti lomba itu. Mama sudah memberi izin," sahut Herlina "Tapi pastikan Papa kalian tidak tahu soal ini,"

"Baiklah Ma," sahut Jisoora dengan patuh.

"Ya sudah, mendingan kalian semua tidur," ujar Herlina.

"Aku akan bertemu Papa duluan," ujar Jisoora, berganjak keruangan kerja Askara karena dia yakin sang Papa berada disana.

"Lalice, kembalilah ke kamar kamu," ujar Herlina.

"Tapi Lalice khawatir sama Rosie," lirih Lalice.

Rosie menggenggam tangan Lalice "Jangan khawatir. Aku baik-baik saja kok,"

"Benaran?" tanya Lalice untuk memastikan.

"Iya Lice," sahut Rosie yang mencubit hidung Lalice dengan gemes.

Lalice menangkup kedua pipi Rosie "Selamat malam Rosie," lantas dia mendaratkan ciuman dipipi gembul kembarannya itu.

"Selamat malam juga Lalice," balas Rosie, ikut mencium pipi Lalice.

Lalice memberikan senyumannya sebelum berganjak kekamarnya.

"Mama keluar duluan," pamit Herlina yang juga berganjak keluar dari kamar Jenniefer.

"Aku akan kembali kekamar aku," ujar Rosie.

Baru saja Rosie inginkan bangkit, Jenniefer malah memegang tangannya "Malam ini kamu tidur disini saja bersama Kakak. Kakak tidak ingin Papa tiba-tiba saja memukul kamu,"

"Tapi-,"

"Tidak ada bantahan Rosie!" potong Jenniefer dengan tegas.

Rosie menelan ludahnya dengan kasar "Baiklah," patuhnya.

Jenniefer kembali menampilkan senyumannya sehingga menimbulkan gummy smile yang cukup menggemaskan.

Dia mematikan lampu kamar sebelum ikut berbaring disamping Rosie. Dibawanya Rosie kedalam dakapannya, lalu dia mengelus kepala adiknya itu dengan lembut.

Elusan yang diberikan oleh Jenniefer membuat Rosie mengantuk dan akhirnya gadis itu tertidur.

"Maaf karena Kakak belum bisa menjadi Kakak yang baik untuk kamu Rosie," gumam Jenniefer, mengecup dahi Rosie dengan lembut
:
:
Sementara itu didalam ruang kerja Askara, terlihatlah sosok Jisoora yang berdiri didepan sang Papa dengan wajah datarnya walaupun saat ini dia sedikit ketakutan.

"Tuan Alex sudah menghubungi Papa dan menjelaskan semuanya," suara tegas Askara mula kedengaran.

"Dasar pengaduan," gumam Jisoora dengan pelan.

Brakkk

Jisoora terlonjak kaget ketika Askara menggebrak meja kerjanya itu "Apa yang sudah kamu lakukan Jisoora!? Kenapa kamu membatalkan kerjasama itu hah!?" teriak Askara dengan marah.

"Aku tahu apa yang aku lakukan Pa! Lagian semuanya salah Tuan Alex. Dia sendiri yang keras kepala. Aku tidak bisa bekerjasama dengan orang yang keras kepala seperti Tuan Alex itu" balas Jisoora, berusaha membela dirinya.

Askara menghela nafasnya dengan kasar. Jisoora itu salah satu anak kebanggaannya, jadi dia tidak akan bisa memarahi anaknya itu.

"Kamu yakin kamu tahu apa yang seharusnya kamu lakukan?"

Jisoora mengangguk tanpa ragu "Papa tenang saja, aku tahu apa yang aku lakukan dan aku juga tidak mungkin membiarkan perusahan kita bankrup"

"Ya sudah, kamu bisa kembali kekamar kamu. Papa percaya sama kamu," ujar Askara pada akhirnya.

"Bisa aku minta tolong sama Papa?" tanya Jisoora.

"Minta tolong apa?"

"Tolong jangan terlalu keras sama adik-adik aku. Papa bisa menghukum aku, tapi Papa tidak boleh menyakiti mereka," ujar Jisoora dengan serius.

Tidak ada sahutan. Askara hanya berdiam diri dan menatap Jisoora dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Apa Papa mendengarkan aku?" tanya Jisoora.

Askara mengusap wajahnya dengan kasar "Papa tahu apa yang Papa lakukan. Kamu fokus saja sama pekerjaan kamu. Jangan sibuk memikirkan saudara kamu!" tegasnya.

Jisoora mendengus kesal sebelum berganjak dari ruangan sang Papa "Benar-benar keras kepala!" gumamnya kesal.







Tekan
  👇

Senja(SEGERA TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang