-Part 15-

913 134 11
                                    

Setelah merasa sedikit tenang, Rosie akhirnya mencuci wajahnya. Dia berpura-pura tersenyum agar orang-orang tidak akan merasa curiga.

Baru saja melangkah keluar dari toilet, Rosie dikagetkan dengan sosok Lalice yang tiba-tiba muncul didepannya.

"Rosie, kamu baik-baik saja? Tadi aku ke kelas kamu, tapi Erim bilang kamu tiba-tiba kabur ke toilet setelah Pak Juan keluar dari kelas. Kenapa Rosie? Kamu sakit?" khawatir Lalice.

Rosie tersenyum tipis "Aku baik-baik saja kok. Jangan khawatir Lice,"

Lisa memegang kedua pundak Rosie "Bagaimana aku tidak khawatir? Firasat aku buruk sejak tadi. Aku tidak bisa tenang Rosie,"

"Maaf karena sudah bikin kamu khawatir," Rosie merasa bersalah.

"Aku tidak menyalahkan kamu. Kamu jangan merasa bersalah dong!" kesal Lalice.

Rosie hanya bisa tersenyum tipis. Sejujurnya, kepalanya terasa pusing. Pandangannya juga sudah menjadi buram.

"Rosie, kamu dengarin aku?" tanya Lalice.

Badan Rosie mula oleng, namun Lalice dengan gercepnya menahan badan Rosie sebelum gadis itu menghantam lantai "Rosie!" teriak Lalice.

Sedikit kesulitan, Lalice menggendong Rosie dipunggungnya, lalu dia bergegas berlari ke UKS tanpa mempedulikan siswa-siswi yang sudah menatap kearah mereka dengan penasaran.

*
*

Dengan nafas yang memburu, Jenniefer memasuki ruangan UKS. Tadi, dia bergegas meninggalkan tugasannya setelah dirinya menerima panggilan dari Lalice.

Rasa panik mula menghampirinya setelah dia tahu tentang kondisi salah satu adik kembarnya itu.

"Kak Jenniefer," panggil Lalice membuat Jenniefer menghampirinya.

Tatapan Jenniefer tertuju kearah Rosie yang terbaring tidak sadarkan diri diatas brankar.

"Lice, apa yang terjadi? Bagaimana Rosie bisa pingsan?" tanya Jenniefer.

Lalice menggeleng "Aku juga tidak tahu Kak. Tiba-tiba saja Rosie pingsan. Untung saja waktu itu aku ada bersama dia. Jadi aku langsung saja bawa dia kesini,"

Seorang petugas UKS menghampiri mereka "Kamu walinya?"

"Iya. Saya Kakak mereka," sahut Jenniefer dengan sopan.

"Sepertinya adik kamu terlalu capek. Kantung matanya kelihatan dengan jelas. Apa dia tidak mendapatkan istirahat yang secukupnya? Dia juga kelihatan seperti stress. Istirahat yang tidak cukup bikin badannya lemes sehingga dia pingsan," jelas petugas UKS itu.

"Rosie belajar setiap malam," sambar Lalice.

"Itu adalah sesuatu yang bagus. Tapi tolong pastikan dia mendapatkan istirahat yang secukupnya. Dia juga butuh sesuatu yang bisa menenangkan pikirannya," nasihat petugas UKS itu.

"Baiklah. Saya akan memastikan dia mendapatkan istirahat yang secukupnya," sahut Jenniefer.

"Eungh," lenguhan kecil Rosie membuat perhatian mereka semua sontak tertuju kearahnya.

"Rosie," panggil Lalice membantu Rosie bangkit dari rebahan.

"Pusing," ringis Rosie.

"Kita pulang ya," ajak Jenniefer.

Rosie akhirnya menyadari sosok kakaknya itu "Kak Jen? Kenapa Kakak ada disini?"

"Kakak khawatir sama kamu pas Lalice ngomong kamu pingsan," jelas Jenniefer.

Jenniefer beralih menatap petugas UKS "Apa saya bisa membawa adik saya pulang?"

"Dia memang harus dibawa pulang. Seperti yang saya katakan tadi, pastikan dia mendapatkan istirahat yang secukupnya,"

Jenniefer tersenyum "Terima kasih," sopannya.

"Kamu ikut Kak Jen pulang. Nanti biar aku saja yang bawa tas kamu pulang," ujar Lalice membantu Rosie turun dari brankar.

"Kamu tidak ingin ikut Kakak pulang?" tanya Jenniefer kepada Lalice.

"Aku masih ada kelas Kak. Kakak bawa Rosie pulang saja duluan. Biar nanti aku pulang sama supir," ujar Lalice.

Jenniefer mengangguk paham "Kalau ada apa-apa, kabarin Kakak,"

"Siap Kak!" sahut Lalice dengan patuh.

"Ayo Rosie," Jenniefer membantu Rosie untuk berjalan menuju ke mobil.

*

Didalam mobil, hanya suasana hening yang menyelimuti keduanya. Jenniefer kelihatan fokus menyetir, sementara Rosie hanya melamun.

"Rosie?" Rosie tersadar dari lamunannya.

"Iya Kak?"

Jenniefer menghela nafasnya dengan kasar "Kamu baik baik saja?"

"Aku baik-baik saja Kak. Jangan khawatir," balas Rosie.

Secara tiba-tiba, Jenniefer memarkirkan mobilnya disamping jalan membuat mobil Chandra yang mengikutinya dari belakang ikut terpakir.

"Jangan berpura-pura Rosie,"

"Maksud Kakak apaan si? Aku tidak mengerti,"

Jenniefer memegang kedua pundak Rosie "Kakak tahu kamu terluka sama perlakuan Papa. Kamu jatuh sakit juga gara-gara tuntutan dari Papa,"

Rosie tersenyum tipis "Tidak apa-apa, aku sudah terbiasa"

"Maafkan Kakak. Kakak gagal melindungi kamu," ujar Jenniefer merasa bersalah.

"Kakak jangan merasa bersalah. Semuanya bukan salah Kakak. Ini adalah salah aku sendiri karena terlahir sebagai orang yang bodoh,"

"Rosie, kamu tidak bodoh. Abaikan saja omongan Papa. Kamu harus yakin sama diri kamu sendiri. Kak yakin kamu pintar,"

Rosie menghela nafasnya dengan kasar lantas dia menatap Jenniefer dengan senyumannya "Bisa aku minta sesuatu dari Kakak?"

"Kamu mau apa? Katakan saja. Kakak akan menunaikan keinginan kamu," balas Jenniefer.

"Jika suatu hari nanti aku sudah terlalu capek, Kakak tolong genggam tangan aku ya. Jangan lepaskan aku. Aku membutuhkan Kakak, Kak Jisoora, Lalice, sama Mama sebagai sandaran aku. Dan jika Kakak melepaskan genggaman tangan aku, itu artinya aku sudah seharusnya menyerah,"

Jenniefer mengangguk berkali-kali dengan tangannya yang sudah menggenggam tangan Rosie "Kakak tidak akan melepaskan kamu pergi. Apa pun yang terjadi, Kakak akan mempertahankan kamu. Jadi kamu juga harus kuat untuk bertahan,"

Rosie tersenyum "Aku akan kuat, demi kalian,"

"Dan keinginan aku yang lain adalah, aku ingin bikin Papa bangga sama aku," lanjut Rosie yang hanya membatin.




Tekan
  👇

Senja(SEGERA TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang