Chapter I

108 47 22
                                    


         Di sudut jalan yang sunyi, tersembunyi di antara deretan toko-toko modern, berdiri sebuah warung bunga yang baru baru saja berdiri bernama Rose’s Melody.

Toko ini merupakan peninggalan ibu dari gadis manis kelahiran 9 Juni 2000. Ia seorang gadis yang mencintai keanggunan bunga lebih dari apapun. Gadis anak sulung dari dua bersaudara itu mewarisi toko ini setelah sang ibu pergi ke alam lain. Meskipun hidupnya sederhana, ia selalu menjaga toko dengan penuh kasih sayang.

Ayahnya, Pak Dharma, adalah seorang pria paruh baya yang masih gemar berfoya-foya. Ia menghabiskan uang lebih banyak daripada yang seharusnya, dan sayangnya gadis cantik itu yang harus selalu memperhatikan keuangan keluarga.

Meskipun demikian, ia tetap memberi uang kepada ayahnya. Menjadi tulang punggung keluarganya, harus menghidupkan mimpi mimpi adiknya.

Awalnya, Daphine juga tidak menyangka akan terjadi seperti ini. Iya, gadis itu bernama Daphine. Takdir yang membawanya ke masa sekarang, lapang dada ia terima. Helaan nafas selalu terdengar darinya, ternyata menjadi (semi) ibu tidak mudah, ya? Ia kira menjadi anak sulung saja sudah cukup sulit. Nyatanya semesta lebih menunjukkan bahwa ada yang lebih hebat, seorang ibu.

Ini sudah memasuki jam siang, matahari sangat terik menerangi toko bunga miliknya. Daphine tengah sibuk merawat bunga-bunga agar tetap segar. Ia menyiram mawar merah, dan mengatur anggrek putih dengan penuh perhatian.

Sambil tetap memikirkan, bagaimana bisa ia menyanggupi keinginan ayahnya yang meminta uang banyak tadi dini hari. Gadis dengan balutan apron di badan idealnya terus-menerus menghela nafas. Ia ingin sesekali menolak ayahnya. Karena, sejujurnya ia pun tersiksa hidup bersama ayahnya. Tetapi, demi adiknya juga. Ia tidak mau sang adik tidak memiliki sosok ayah.

Dua insan malang itu tidak punya siapa-siapa di dunia ini selain pria itu.

Tiba-tiba, bel pintu berdentang, dan Daphine pun mengangkat kepalanya.

Di depannya berdiri seorang pemuda yang menggayuh sepeda. Wajahnya tampan, mata cokelat tuanya menatap Florist itu dengan tulus. "Halo," sapanya.

Daphine tersenyum manis sekali. "Selamat datang di Rose’s Melody!"

Pemuda tampan itu menggeleng sembari tersenyum hingga matanya nampak hilang— oh?? Daphine jadi ikut tersenyum kembali. Menggemaskan sekali.

"Aku cuma mau lihat-lihat. Toko ini cantik banget." Kemudian pemuda itu memandang sekeliling toko dengan penuh kagum. Rose’s Melody memang selalu memikat hati siapa pun yang melangkah masuk. Daphine merasa bangga dengan setiap bunga yang ia susun dengan cinta.

“Cantik,” ucap pemuda itu lagi, matanya kini fokus pada rangkaian mawar merah yang terletak di meja dekat jendela. “Mawar selalu punya pesonanya sendiri, kan?”

Daphine mengangguk. “Betul. Setiap bunga punya cerita dan makna yang berbeda. Mawar merah, misalnya, melambangkan cinta yang tulus.”

Gadis manis yang sedang memakai bunga melati diselipkan di telinganya sembari tersenyum. Pemuda itu tak sengaja menoleh, meneguk ludahnya sendiri, dia terkecoh sama senyuman Florist itu, gula aja kalah manisnya.

"Maaf?" ucap Daphine untuk menyadarkan pemuda yang masih terpaku padanya.

Pikir pemuda itu, mawar memang cantik. Tetapi, Florist ini lebih cantik. Caranya berbicara, Ezekiel sangat menyukainya. Pemilik puppy eyes itu tersenyum.

"Ah, iya. Mawar bisa untuk ulang tahun?"

"Tentu, Mas. Untuk pacarnya, ya?" balas Daphine.

mas.

MAS.

MAS.

Pipi pemuda itu sudah merona karena florist manis ini. Sementara, Daphine mulai sibuk mengambil dan merangkai mawarnya.

"Yang lagi ber-ulang tahun siapa?" tanya sang Florist itu sekali lagi.

Pemuda itu bergumam, "aku sendiri."

"Duh, kenapa begitu? Seharusnya yang membelikan kamu adalah orang lain," jawabnya sambil muka yang sedikit sebal. Hal yang malah membuat mukanya tambah lucu, menggemaskan di mata Ezekiel.

"Orang lain?"

"Iya, seperti sahabat atau pacar, atau keluarga deh."

"Hahaha, mereka mana peduli." Ezekiel tertawa dan Daphine pun ikut tertawa.

Setelah selesai merangkai bunga mawarnya, Ezekiel sedikit terpesona. Ah, tidak. Banyak. Bagaimana bisa gadis itu merangkai dengan sebegitu cantiknya?

"Sebenarnya, jarang banget pria datang ke toko ini. Jadi, ini aku buat khusus untuk kamu," kata Daphine sambil tersenyum manis, menyerahkan rangkaian bunga yang telah ia susun dengan hati-hati.

"Apa tadi? Pria?" batin Ezekiel sambil memandang rangkaian bunga itu dengan sedikit bingung.

"Aku masih SMA kelas 3, btw," jawab Ezekiel, merasa perlu mengoreksi.

Daphine tertawa ringan, "bukannya sama aja pria?"

"Lho, bukan dong. Lebih pantes disebut pemuda atau remaja," kata Ezekiel tegas.

"Baiklah, sesuka kamu aja, adik kecil," ucap Daphine sembari menyodorkan rangkaian bunga tersebut.

Ezekiel merasa sedikit kesal dengan nada Daphine yang terdengar mengejek. Namun, pesona Daphine membuatnya sulit untuk marah. "Terima kasih, kakak cantik," katanya dengan senyum yang mencoba memikat.

Daphine terkejut mendengar pujian itu dan merasakan wajahnya memerah. "Bilang apa dia itu?" pikirnya. "Beraninya berondong ini."

Ezekiel melirik jam di pergelangan tangannya. "Oh, ini udah masuk makan siang, mau makan siang bareng ngga, Kak cantik?"

Daphine menatapnya dengan mata tajam, seolah menantang. "Berani godain aku ya?"

"Ehehe, ngga. Maaf ya, Kak, aku pulang dulu!" Ezekiel buru-buru berlari kecil keluar membawa bunga itu. Dia merasa lega telah lolos dari tatapan galak Daphine. "Cantik-cantik kok galak ya?" gumamnya dalam hati sambil tertawa kecil.

Daphine hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya, tersenyum sendiri. "Ada aja kelakuan remaja sekarang," pikirnya. Karena ia pernah remaja, ia tahu rasanya. Ia hanya bisa terkekeh. Pandangannya tiba-tiba terpaku pada satu benda yang asing di meja. "Ini apa? Handphone anak itu?"

Ia mengambil handphone itu dan memeriksanya. "Dasar ceroboh," gumamnya sambil melihat layar yang terkunci. Ia berusaha mencari cara untuk menghubungi Ezekiel, tetapi kemudian memutuskan untuk menunggu. Pasti anak itu akan kembali untuk mengambilnya.

Gadis manis itu menungggu dan terus menunggu, sudah sampai sore, sudah beberapa pelanggan yang ia layani. Bocah itu tidak lekas kembali. Ia pun dengan niat yang baik, membuka handphone itu. Mencari informasi, mungkin ada informasi di mana alamat anak itu? Agar Daphine bisa mengembalikannya.

Sayangnya, hal tak terduga terjadi.

Ting!

Bunyi notifikasi terdengar, Daphine mengernyitkan dahinya.

****

HAAAAYYI GUSYY! semoga aku.. niat bikin cerita baru ini whwhhehehe.. :] jangan lupa vote yepp :P kalau ada kritik boleh langsung dm akuuu. selamat membaca 🔥♡

Hello, Sunbeam!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang