Chapter II

58 32 5
                                    

Siapa yang tidak terkejut? Notifikasi-nya berasal dari seseorang yang teramat ia kenal

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Siapa yang tidak terkejut? Notifikasi-nya berasal dari seseorang yang teramat ia kenal. Adiknya, Hanif. Gadis manis itu bingung harus bereaksi apa lagi. Adiknya? Yang ia telah didik sebaik mungkin, mengirimkan pesan yang tak pernah Daphine bayangkan.

Rasa kecewa ada.

Sedih.

Bagaimana bisa?

Segera setelah pesan itu ia tinggal, nafasnya berdebu. Daphine harus menahan rasa amarah, ia mesti pergi ke warung untuk membeli lauk dulu.

"Oke, tarik nafas," katanya sembari mempraktekkan. Demi apapun ia belum pernah merasakan kecewa terhadap adiknya. Apa ia yang terlalu berharap?

"Buang.." kemudian Daphine menghembuskan nafasnya.

Tidak apa-apa, kita ke warung dulu, baru bertanya pada Hanif. Tanya baik-baik, tidak boleh emosi. Aku harus menjaga kesehatan mentalnya. Aku harus.

Sesampainya di bangunan sederhana, yang dulu ia anggap tempat ternyaman, sekarang pun masih. Hanya saja, ada tiang kokoh yang hilang. Membuatnya merasa campur aduk untuk masalah kali ini.

"Kamu mabuk-mabukan ngapain? Mau jadi anak brengsek? Kenapa diem? Jawab kakak, Hanif," tanya Daphine dengan nada tegas. Ia merasa gagal mendidik adiknya, ia merasa belum menyanggupi permintaan mendiang ibunya.

Emosi yang tadinya ingin ia tahan, tidak bisa. Tumpah semuanya. Daphine menangis dibuatnya, dibalik sosok yang kuat, Daphine hanya anak perempuan yang rapuh. Ia juga lelah. Tapi, tugasnya belum selesai.

"Kak, aku belum pernah nyoba minuman itu. Aku awalnya diajak sama Kiel," jawab Hanif pelan, suaranya seperti embusan angin yang nyaris tak terdengar. Anak laki-laki yang sudah kelas akhir SMA itu sedikit panik— ah. Banyak panik. Kakaknya sudah semarah ini, ia harus bagaimana? Ia merasa menyesal pernah menyentuh barang memabukkan itu.

"Dan kamu mau?" sahut Daphine dengan nada kekecewaan. "Lucu."

"Tolong dengerin aku dulu, kak," pinta Hanif dengan suara gemetar. Kakaknya ini memang jarang marah, dan sekali marah seperti ini. Bagaimana Hanif tidak panik? Meskipun ini adalah kesalahannya sendiri, mana dia tau kalau ponsel Ezekiel dipegang kakaknya?

"Aku serius nyoba satu kali aja. Dan setelah lihat nilai Kiel jelek, aku tau dia bisa lebih tenang minum itu," lanjutnya mencoba menjelaskan.

Daphine menghela napas panjang kemudian bertanya, "kakak kurang ngasih tau yang bener ke kamu, adik? Kakak kurang di mana?"

"Kak, maafin aku. Aku janji ngga minum itu lagi," ucap Hanif penuh penyesalan, matanya berkaca-kaca.

"Kakak juga jangan mendekati Kiel, ya? Kiel ngga sebaik itu. Aku bisa sebut semua kejahatannya sama kakak—"

"Ngga perlu. Introspeksi diri kamu sendiri, orang lain biarin. Kakak ga papa capek capek kerja buat kamu dan bapak. Kakak belum mau nyari cinta cinta itu, biarin cinta datang sendirinya," balas Daphine dengan nada yang mulai melunak, ia tidak mau menyakiti hati adiknya dengan perkataannya, ia menjaga Hanif, seperti janji waktu itu.

"Sekarang gini, kalau kamu mau minum minum lagi yang puas. Pergi jauh dari kakak, kamu bukan adek yang kakak kenal," lanjutnya.

"Teman kalau lagi ngerasa sedih nilainya jelek, banyak kok cara buat ngehibur dengan hal hal positif. Jangan malah diajak buat mabuk," tambahnya memberi nasihat.

"Paham belum?" Daphine bertanya, menatap mata Hanif dengan serius.

"Paham, kak. Aku ngga bakal ngulangi lagi," jawabnya dengan tulus.

Daphine pun memeluk Hanif dengan penuh kasih sayang, merasakan detak jantung adiknya yang tenang di dadanya. "Kakak percaya sama kamu, Hanif. Inget ya, kepercayaan itu mudah hilang kalau dikhianati. Kakak harap kamu benar-benar bisa berubah."

"Jangan, tidak, jangan. Tolong jangan seperti Bapak."

Di tengah aksi damai tersebut, bunyi dering ponsel terdengar. Daphine pun merenggangkan pelukan itu. Membuka ponsel milik anak laki-laki yang tadi siang ia layani. Sorot mata gadis itu mengarah pada Hanif.

"Angkat saja, Kiel sepertinya nyari ponsel itu," kata Hanif.

"Nama kontaknya Mama. Kakak takut,  Nif."

"Ya sudah, aku saja yang mengangkatnya."

Setelah berucap seperti itu, Hanif langsung mengangkatnya. Dirinya menjawab pertanyaan itu dengan tenang, menjelaskan beberapa rentetan kejadiannya kepada temannya di seberang sana. Itu hanya Ezekiel yang meminjam handphone Mamanya.

Hanif menahan gelak tawanya melihat ekspresi kakaknya itu. Kenapa begitu panik, sih? Kakaknya juga bukan orang yang jahat hingga mengambil barang orang lain. Kadang Hanif heran, Daphine terlalu baik. Benar-benar terlalu baik untuk dunia yang kacau ini.

"Iya, aman, besok gua balikin ke lo." Dan sambungan telepon itu pun mati.

Daphine meneguk ludahnya, mengernyitkan alisnya. Seperti bertanya, "bagaimana?"

Adik laki-lakinya segera terkekeh-kekeh, mencoba menenangkan kakaknya. Daphine merasa diledek, ia mencubit pipi adiknya itu hingga sang empu mengaduh. Habisnya nakal sekali. Tidak tahu apa? Jantungnya berdebar.

Dirinya dan Hanif hanya orang sederhana dan biasa, jika nanti dituntut atau dituduh macam-macam, tentu mereka tidak bisa berbuat banyak.

Semuanya akan baik-baik saja, Kak.

****

bolehkah.. minta vote..nya..kawan..kawan..gemas?? =] terima kasih banyakkk!

Hello, Sunbeam!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang