Chapter IV

18 11 4
                                    


Angin malam berbisik lembut, seolah turut merasakan kepedihan yang menyelimuti ruangan tersebut. Cahaya bulan mengintip malu di balik awan, menerangi wajah lemah wanita yang kini memejamkan mata, merenungi setiap detik yang berlalu. Aroma melati yang menyusup itu bagaikan kenangan masa lalu yang terus mengejarnya, mengingatkannya pada hari-hari saat senyum anaknya adalah segalanya.

“Bagaimana bisa aku, seorang ibu, yang tak sanggup menjaga anakku?” batinnya berteriak, tetapi bibirnya tetap bisu.

Di pojok ruangan, sosok misterius itu memperhatikan gerakannya dengan cermat. Matanya yang tajam berkilat di bawah sinar remang-remang, seolah menilai setiap pilihan dan langkah yang mungkin diambil. Dia tahu ini bukan perkara sederhana — taruhannya adalah kebahagiaan dan masa depan seseorang yang tak berdosa.

“Aku punya rencana,” sosok itu akhirnya berkata, mengisi keheningan dengan suara yang lembut namun tegas. “Tapi aku butuh kepercayaan penuh darimu. Kalau kita gagal, segalanya bisa hancur.”

Beberapa saat yang lalu, wanita itu tak pernah membayangkan akan berada dalam situasi ini. Ia hanya ingin dunia yang damai dan penuh cinta untuk anaknya, namun kini dunia itu tampak seperti teka-teki yang tak mungkin terpecahkan.

Sementara itu, di sisi lain kota, sang anak sedang berjuang dengan kenyataan yang perlahan-lahan terungkap. Apakah ia bisa menerima takdir yang diperburuk oleh intrik dan konflik yang penuh rahasia ini? Apakah dia bisa memahami pengorbanan yang dilakukan ibunya tanpa rasa sakit yang terus menggerogoti?

Malam itu seolah abadi, penuh pertanyaan yang menggantung tanpa jawaban. Tapi seiring berjalannya waktu, setiap karakter di dalamnya tahu bahwa ini hanya awal dari sesuatu yang jauh lebih besar, lebih penuh makna, dan lebih menentukan. Semuanya harus bermain sesuai aturan yang tak pernah mereka buat, dalam sebuah permainan takdir dengan taruhan yang lebih dari sekadar kehidupan.

****

Air mata Daphine mengalir satu per satu seperti butiran hujan musim semi, entah kenapa kali ini rasa rindu pada ibunya terasa begitu kuat. Biasanya ia mampu menyimpan rindu ini sendiri, tetapi hari ini berbeda, karena bersamaan dengan hari ulang tahun ibunya.

"Ibu, aku nggak lupa."

"Aku nggak lupa akan senyum indah Ibu yang menyinari hari-hariku," kenang Daphine. Setiap kali memejamkan mata, dia bisa membayangkan senyum itu.

"Aku nggak lupa bunga matahari yang selalu dipandang Ibu," lanjutnya.

"Aku nggak lupa bagaimana Ibu mengorbankan segala untukku," suara Daphine bergetar penuh emosi.

"Ibu... aku nggak lupa lelucon kecil yang sering Ibu lontarkan." Lelucon yang tak jarang membuatnya tertawa di kala senja. Ibu selalu tahu cara membuat dunia terasa lebih ringan, meski beban hidup kadang terasa menekan.

Dengan tangan gemetar, Daphine menatap langit yang mulai berbintang. "Ibu, aku akan terus menjaga semua kenangan ini. Hingga kita bisa tersenyum bersama lagi."

Apakah semesta berpikir bahwa dengan berlalunya tahun-tahun, kenangan tentang ibunya perlahan memudar? Tidak, sama sekali tidak.

Suara gemuruh tiba-tiba mengoyak keheningan.

"Apakah kamu menangisi perempuan rendahan itu lagi, hah?" suara kasar Pak Dharma menguar, menghancurkan keheningan seperti kilatan petir di malam gelap.

"Kenapa— kenapa Bapak selalu merendahkan Ibu?"

"Memang rendah. Dan kamu pun, saya menyesal atas semua yang sudah terjadi."

Daphine menahan isak tangis yang mengguncang hatinya. Rasa sakit itu nyata, menusuk. Kemudian Pak Dharma mendekatinya dengan mata dingin, mencengkeram pipinya dengan kasar.

"Jika kamu masih ingin punya tempat untuk berlindung, terus bekerja dan beri saya uang."

"Aku ini anak Bapak, ‘kan?"

"Kamu, sama saja dengan adik lemahmu. Akan saya buat tahu," dan dengan suara dingin, dia melepaskan cengkeraman itu.

"Kamu tidak pernah saya harapkan ada di sini."

****


Daphine melanjutkan harinya, merangkai bunga-bunga dengan warna dan aroma lembut yang menghiasi hari cerah itu. Setidaknya, keindahan bunga itu sekejap bisa menyembunyikan luka yang ditorehkan Bapak.

Walaupun pikirannya melayang, terkenang kalimat-kalimat pahit yang Bapak ucapkan pada dirinya dan adiknya.

Pintu toko berdering, sebuah suara nyaring yang memecah lamunannya. Daphine menoleh, tersenyum melihat siapa yang datang.

"Oh— hai? Selamat pagi," sapa Daphine sedikit terkejut, kemudian beralih kembali pada kegiatannya.

Seorang pemuda dengan rambut lurus bagai malam dan senyuman yang selalu tulus, membalas sapanya. "Selamat pagi, Kak Daphine. Kakak baik-baik saja, kan?"

"Baik kok, terima kasih. Kamu sendiri gimana, Kiel?"

Pemuda itu bernama Ezekiel. Dia berjalan perlahan di antara bunga-bunga yang tertata rapi. "Aku baik, lebih baik bisa ketemu lagi hari ini, Kak."

Daphine hanya bisa menggeleng pelan, kebiasaan Ezekiel yang suka menggombal ini memang khas.

"Ini stok baru, Kak?" tanya Ezekiel.

Daphine mengangguk. "Iya, bunga mawar merah ini baru datang pagi. Cantik, kan?"

Ezekiel mengangguk dengan mata berbinar, tanda setuju. "Cantik sekali. Seperti pemilik tokonya."

Astaga, Daphine berusaha berdiri teguh, tetapi wajahnya mulai merona sedikit. "Kamu ini bisa saja."

Percakapan mereka berlangsung lebih lama, berbincang soal bunga dan hal-hal kecil lainnya. Kadang, pemuda itu membantu melayani pembeli dengan hangat.

Setelah matahari yang lamanya menyinari, hingga matahari terbenam. Ezekiel menghabiskan waktu di sana.

"Sebenernya aku cuma mau mampir. Hari ini banyak pikiran, jadi pingin lihat sesuatu yang indah," jawab Ezekiel sambil memandangi bunga-bunga mawar yang tersusun rapi.

"Kok bisa berpikir lihat bunga bisa bikin lega?" tanya Daphine penasaran.

"Bunga itu... seperti mendengarkan tanpa harus bicara balik," Ezekiel menjelaskan sambil menatap mata indah Daphine. "Sama kaya kamu yang bikin nyaman kalau curhat, Kak."

Daphine tersipu, merasa terharu dengan kata-kata Ezekiel. "Kamu selalu tahu cara menghibur hati, ya?"

"Tentu. Itu keahlian-ku," Ezekiel membalas dengan senyum lebar. "Lagi pula, setiap kali ngobrol sama kamu, rasanya seperti angin sepoi-sepoi, menenangkan."

Daphine mengangguk pelan, merasa dipahami. "Kalau gitu, terima kasih sudah selalu datang. Hadirmu juga berarti buat aku."

Daphine mulai menyadari bahwa kehadiran Ezekiel selalu membawa secercah cahaya dalam hidupnya. Dia melihat lebih dalam padanya, sesuatu yang dulu tersembunyi dari pandangannya.

Daphine merasa bingung.

Mengapa setiap kali melihat wajah Ezekiel, bibirnya terangkat dan terpahat senyum dengan sendirinya?

Bagaimana bisa Ezekiel menjadi pendengar yang baik untuk setiap keluh kesahnya?

Setiap langkah Ezekiel menuju tokonya, membawa nuansa ketenangan yang ia cari.

Yang sedari kemarin memenuhi pikirannya, mendadak seperti lenyap dan sirna.

****

halo, guys! jangan lupa vote & comment iaaa ^___^ terima kasih udah baca ini, semogaaaa kalian sehat sehat terus!

Hello, Sunbeam!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang