Chapter VI

22 12 12
                                    

Detik selalu berjalan dan hari sudah berganti, dapat dirasa suasana hiruk pikuk seperti biasanya. Para siswa bergegas menuju kantin, kini sudah masuk jam istirahat.

Di salah satu sudut sekolah, Hanif sedang duduk di bangku taman dengan wajah muram. Nilai-nilainya yang terus menurun dan masalah di rumah, ah tidak. Lebih tepatnya bapaknya itu membuat pikirannya semakin kacau.

Tak jauh dari sana, orang yang amat ia kenal berjalan mendekati sekelompok siswa di area kantin. Hanif memperhatikan dari kejauhan, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ia melihat laki-laki itu berbicara dengan seorang gadis. Nampak mereka berbicara dengan santai dan saling bertukar tawa. Hanif merasa curiga. Sudah ia duga Ezekiel adalah anak yang tidak benar-benar serius.

Setelah sekolah usai, Hanif segera pulang ke toko bunga milik keluarganya itu. Lonceng pintu berbunyi, dan pemilik toko segera menyapa Hanif. Yang tidak lain adalah kakaknya.

"Kamu pulang awal? Kenapa tidak pulang ke rumah?" tanya Daphine keheranan. Tidak biasanya Hanif mampir ke toko bunganya ini.

Lalu, dengan hati-hati, adik laki-lakinya mulai menceritakan apa yang dilihatnya di sekolah. "Kak, aku lihat Kiel bicara sama perempuan di sekolah. Aku yakin dia nggak baik buat kakak."

Daphine terdiam sejenak, ia kira mungkin Ezekiel mau merubah kebiasaan buruk itu. "Ya sudah, Dek. Memang kita harus berharap apa dari manusia biasa?"

"Tapi, dia ngasih kakak harapan."

Gadis manis itu tertawa kecil, betapa sayang adiknya kepada dirinya. "Bahagianya kakak tuh di kamu. Kamu menjadi anak yang baik aja sudah cukup buat kakak," jawab Daphine.

"Kak, aku tidak mau, aku mau lebih dari itu," sahutnya sembari menggelengkan kepalanya. Kakaknya itu pun mengangguk saja, sesuka adiknya inilah.

"Cukup Bapak yang ngelukai kakak, setelah ini tidak ada yang boleh."

Ia rasa, perasaannya ke Ezekiel belum sedalam itu. Tapi, kenapa Daphine merasa agak kecewa, ya?

Memandang kakaknya yang termenung, selagi toko masih dalam keadaan sepi. Ia ingin mencoba menghibur kakaknya. Hanif juga melihat kok kakaknya menangis sendirian kemarin. Laki-laki itu pun mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Sesuatu yang sederhana, tetapi menjadi kesukaan kakaknya.

Hanif pun menyadarkan kakaknya dari lamunannya, kemudian menyodorkan makanan yang merupakan hasil olahan biji kakao. Daphine menerima dengan senang hati.

"Kamu sempat membelinya?"

"Iya lah! Aku kan tau kakak pasti bakal sedih, dan cokelat itu bisa jadi moodbooster kakak," ujarnya lalu tersenyum manis sekali. Daphine senang, ia bersyukur memiliki adik seperti Hanif.

Sore harinya, saat Ezekiel datang menemui Daphine di toko bunga. Entah mengapa respon Daphine kepadanya berbeda, bukan seperti Daphine yang biasanya.

Ezekiel terkejut, merasa bersalah dan tak tahu harus berkata apa. "Kakak kenapa?"

Mendengarnya, gadis kelahiran 2000 itu mulai mengerutkan keningnya. Ia sedikit merengut. Apa anak laki-laki ini masih belum menyadari kesalahannya, ya?

"Tidak apa-apa."

"Kamu pasti ada masalah, ayo ngomong. Aku mau bantu," pinta Ezekiel dengan tatapan lembut namun khawatir.

"Kamu, kamu masalahnya."

"Aku kenapa?" tanya Ezekiel dengan bingung.

"Hanif, dia lihat kamu kemarin sama cewe di sekolah," jelas Daphine akhirnya. Ada sedikit kekecewaan dalam suaranya.

Ezekiel menarik napas dalam-dalam, berusaha menjelaskan, "Itu cuma teman, Kak. Yang kami bicarakan juga bukan hal serius."

Daphine menghela napas, mencoba memahami, "Aku ngerti, tapi Hanif khawatir. Dia bilang kamu nggak bener-bener serius."

Ezekiel tersenyum kecil, mendekatkan diri ke Daphine, "Kamu tahu kan, Kak, aku pasti selalu serius sama kamu. Kalau aku cuma main-main, aku nggak akan datang setiap hari."

Namun, Daphine sudah kehilangan kepercayaan padanya. Baru saja Ezekiel mau membuka mulut lagi, sudah terlebih dahulu dipotong oleh Daphine. "Aku butuh waktu untuk memikirkan ini, boleh?"

Ezekiel merasa hancur, tapi ia tahu ia harus melakukan sesuatu untuk memperbaiki kesalahannya.

Pemuda itu hanya mengangguk. Pulang dari toko berwangi semerbak itu dengan sedikit kecewa. Bagaimana juga Ezekiel masih mau menghargai Daphine serta adiknya, yang notabenenya sahabatnya sendiri.

Keesokan harinya, ia menemui Hanif di sekolah. "Hanif, aku minta maaf jika telah membuatmu khawatir. Aku akan berusaha menjauh dari mereka dan fokus untuk membantu Daphine."

Hanif melihat ketulusan di mata Ezekiel dan mengangguk. "Aku berharap kamu benar-benar tulus, Ezekiel. Kakakku sudah terlalu banyak terluka."

****

Kemudian waktu kemudian, ketika matahari mulai meredup, Ezekiel tiba di toko bunga dengan hati berdebar. Dengan senyuman penuh harapan, ia membawa seikat bunga matahari yang ceria dan bekal masakan hangat dari mamanya.

Begitu Daphine menengok dan melihat kedatangannya, wajahnya menunjukkan keragu-raguan. "Ezekiel, ngapain kamu ke sini lagi?" tanyanya datar, sambil tetap melanjutkan pekerjaannya.

Dengan hati-hati, Ezekiel mendekat, mengulurkan bunga matahari dengan canggung. "Kak Daphine, ini buat kamu. Aku cuma pengen bikin harimu lebih cerah."

Daphine melihat bunga itu sejenak, ada senyuman tipis di bibirnya meski ia berusaha menahannya. "Bunga matahari? Cantik sih, tapi, aku nggak tahu apakah bunga bisa menyelesaikan semuanya."

Ezekiel tahu ini adalah kesempatan untuk menunjukkan ketulusannya. Ia mengeluarkan bekal masakan dari tasnya, "Dan ini, masakan spesial dari mamaku. Dia ingin ketemu kamu, kalau kamu mau."

Dengan sedikit keraguan, Daphine memandang masakan itu. Sekalipun hatinya mulai luluh, dia mencoba menutupi rasa kesenangannya. "Ezekiel, usaha kamu emang kelihatan, tapi aku masih takut semuanya cuma sementara."

Ezekiel mengangguk dengan pengertian, "Aku paham, Kak. Dan aku bikin kesalahan besar, tapi aku serius ingin memperbaiki semuanya, satu langkah kecil setiap hari."

Daphine terdiam dalam pikirannya, menimbang-nimbang semua yang telah terjadi. Akhirnya, terlihat sedikit senyuman lebih lembut di wajahnya. "Oke, mungkin aku bisa kasih kesempatan. Kita coba pelan-pelan, ya."

Ezekiel lega, senyum lebarnya tak bisa disembunyikan. "Terima kasih, Kak. Aku janji nggak akan ngecewain lagi. Dan mungkin kamu bisa ketemu mamaku minggu ini?"

Daphine tersenyum lebih lebar, "apa ini serius?"

"Tigarius bahkan."

Di balik keraguan awal, permohonan maaf dan niat baik Ezekiel mulai meluruskan segalanya. Hubungan mereka mendapatkan secercah harapan baru, dengan bunga matahari sebagai saksi dari awal yang baru.

****

tanda-tanda mulai apa ini? 👀
jangan lupa vote sama comment-nya iaaa!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 10 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hello, Sunbeam!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang