050-Naga & Bara (Bagian 2)

13 1 0
                                    

Drakon mengaum dengan keras, memancarkan ketakutan yang menyapu seluruh kerumunan. Suaranya bergema di medan perang, membuat semua orang tersentak. Beberapa prajurit terhuyung akibat kebisingan yang dahsyat dan terjatuh ke tanah.

Para pemanah yang berada di antara mereka segera melepaskan anak panah, berharap dapat melemahkan sang naga. Namun, hasilnya tetap nihil.

Tak lama setelah anak panah terakhir dilepaskan, Drakon membuka mulut lebar-lebar dan menyemburkan api. Seketika, hutan di sekitarnya terbakar. Orang-orang menyaksikan dengan ngeri, melihat puluhan pohon terbakar menjadi abu, menciptakan awan asap hitam yang pekat.

Banyak pria, wanita, dan anak-anak menutup mulut mereka dengan tangan, tak mampu bernapas. Beberapa orang pingsan akibat menghirup terlalu banyak asap beracun.

Udara menjadi lembap dan dipenuhi aroma kayu terbakar. Orang-orang berjuang untuk tetap tegak, dengan putus asa mencoba mengabaikan rasa sakit yang ditimbulkan oleh gas beracun.

"Itu mereka!" seru Tulaiha.

Nao dan Tulaiha berlari sekuat tenaga menuju barisan belakang. Di sana, mereka bertemu dengan puluhan sukarelawan bersenjata. Tiba-tiba, Nao terkejut melihat kehadiran Fina dan Samira di antara kelompok tersebut.

Dalam situasi yang penuh tekanan, Nao mendekati Fina dengan hati-hati dan memeluknya, menjaga agar bayi yang ada di dalam kandungannya tidak kenapa-kenapa.

Fina menangis terharu saat merasakan pelukan Nao. Dia tidak menyangka bisa bertemu lagi dengan 'suaminya'.

"Aku kira aku tidak akan pernah melihatmu lagi," bisiknya.

Samira juga mendekati Nao dan memeluk kakinya dari belakang, "Papa! Samira lega papa selamat, Samira tak ingin kehilangan papa..."

Nao merasakan air mata mengalir di pipinya saat mendengar suara Fina dan Samira. Dia memeluk mereka erat-erat, tak ingin melepaskan mereka lagi.

Tulaiha, yang merasa ada yang tidak beres, segera mendekati Fina. Dia bertanya dengan nada khawatir, "Fina, apa yang terjadi? Mengapa kalian berdua ikut dalam barisan penyerang?"

Fina menarik napas dalam-dalam, mencoba menjelaskan situasi yang sedang mereka hadapi.

"Begini, pemimpin kelompok yang seharusnya mengorganisasi pasukan telah kabur tanpa sepengetahuan kami. Jika kekosongan kepemimpinan tidak segera diisi, itu akan membahayakan kita semua. Maka dari itu, aku mengambil inisiatif untuk mengambil alih peran tersebut."

"Mengenai Samira," Fina sekilas melirik Samira dan kemudian berkata "—aku merasa ia akan lebih aman jika berada di dekatku

Sebelum Tulaiha dapat mengajukan pertanyaan lebih lanjut, Nao kemudian menyela mereka dengan suara keras.

"Fina, apa kau gila?!" Nao menjerit dengan panik. "Bagaimana mungkin kau terlibat dalam aksi penyerangan seperti ini? Kau sedang hamil, Fina! Kau harus memprioritaskan keselamatanmu dan bayi kita!"

"Nao, aku tahu apa yang kulakukan." Fina menatapnya dengan tegas. "Aku melakukannya demi keselamatan kita semua, termasuk bayi yang ada di dalam kandunganku. Aku janji, akan berhati-hati dan melindungi diriku sebaik mungkin."

"Tidak! Aku tidak akan membiarkan kalian dalam bahaya!"

Nao menggenggam tangan Fina dan Samira dengan kuat. "Kalian adalah segalanya bagiku. Aku tidak mau kehilangan kalian. Aku akan melawan naga itu sendirian. Kalian harus tetap di sini dan menungguku."

Fina tersenyum lembut pada Nao. "Aku mengerti, Nao. Aku tahu kamu ingin melindungi kami. Tapi kamu harus tahu, kami juga ingin melindungimu."

Dia menarik Nao ke dalam pelukannya dan menciumnya dengan lembut di bibirnya. "Aku mencintaimu, Nao. Aku percaya padamu. Lakukan apa yang harus kamu lakukan."

Dia melepaskan pelukannya dan memberikan pedangnya kepada Nao. "Ini pedang ayahku. Dia memberikannya kepadaku sebelum dia meninggal dunia akibat kudeta. Aku ingin kamu menggunakannya. Aku yakin ia akan membantumu mengalahkan naga itu."

Nao terlihat enggan menerimanya, mengingat bahwa ini adalah pedang warisan dari ayah Fina. "Maaf, Fina. Bukannya aku tidak ingin menerima pedang ini, tapi bukankah kamu sudah menyerahkan pedang peninggalan sahabatmu padaku?"

"Tidak apa, Nao. Kamu pakai saja pedang ini, lagipula aku tidak bisa menggunakannya karena sedang hamil. Aku hanya bisa membantumu dari jauh dengan sihirku, jadi jangan khawatir. Aku akan baik-baik saja selama kita tidak gegabah."

Nao mengangguk dengan ragu. Dia menerima pedang itu dari tangan Fina dan memasukkannya ke dalam sarungnya. Dia berharap pedang itu akan membawanya keberuntungan dalam pertempuran melawan Drakon.

"Oke, semuanya, dengarkan baik-baik!" teriak Fina kepada orang-orang di sekitarnya. "Kita harus menyerang naga itu secara langsung. Semuanya, bersiaplah untuk menyerang."

Beberapa prajurit mengangguk dan mempersiapkan diri mereka untuk bertempur melawan naga tersebut.

"Papa, mama... kakek di mana?" tanya Samira sambil menatap ke arah Nao dan Tulaiha dengan cemas.

Seakan mengingat kembali janjinya, Nao memberi tahu semua orang yang ada di sana bahwa ia akan segera kembali ke garis depan untuk membantu Ruka, ayah Tulaiha, yang masih bertarung di garis depan.

"Tapi Papa..."

Nao menepuk kepalanya dengan meyakinkan. "Jangan khawatir, Samira. Kakek akan baik-baik saja. Ingat, dengarkan saja kata-kata dari kedua mama-mu dan jauhi bahaya. Oke?"

"Oke."

Dia memeluk Fina dan Samira sekali lagi, lalu berbalik dan bergabung dengan pasukan sukarelawan yang sudah bersiap-siap.

***

"Fina, kamu yakin tidak ingin menghentikannya?" tanya Tulaiha ketika sosok Nao sudah menjauh dari pandangan mereka.

Fina tersenyum penuh kesedihan. "Aku ingin sekali, Tulaiha. Aku ingin memeluknya dan tidak ingin melepaskannya..."

Air mata mengalir di pipi Fina, "Tapi aku juga bangga padanya. Aku percaya padanya. Aku hanya bisa berdoa agar ia selamat dan berkumpul kembali bersama kita..."

Tulaiha memeluk Fina erat dan berbisik padanya, "Terima kasih, Fina. Kamu telah membantuku menyadari betapa besarnya perasaanku pada Nao. Meski ini terdengar lancang, tapi aku ingin menjadi bagian dari kebahagiaan kalian."

Fina terkejut setelah memahami arti dari kata-kata tersebut, "Tulaiha, jangan bilang kamu—"

Tulaiha mengangguk dengan malu. "Ya, Fina. Aku mencintai Nao. Aku sudah mencintainya sejak lama. Tapi aku tidak pernah berani mengatakannya pada Nao. Aku tahu dia adalah suamimu. Aku tahu kalian berdua sangat bahagia bersama. Aku tidak ingin mengganggu kalian."

Dia melepaskan pelukan mereka dan menunduk sedih. "Aku hanya ingin dia tahu bahwa aku selalu ada untuknya. Bahkan jika dia tidak membalas perasaanku..."

Fina menatap Tulaiha dengan penuh kelembutan. "Tulaiha, aku sangat menghargai keberanianmu untuk berbagi perasaan ini denganku. Namun, Nao adalah suamiku dan aku mencintainya dengan sepenuh hati. Aku tidak bisa merespons perasaanmu seperti yang kamu harapkan. Tapi kamu tetap berarti bagi kami, dan kita akan terus bersama sebagai satu keluarga..."

Tulaiha mengangguk dengan sedih, "Aku mengerti, Fina. Maaf, jika kata-kataku membuatmu merasa tidak nyaman."

Fina menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis. "Tidak apa, Tulaiha. Sekarang kamu tahu perasaanku, mungkin suatu hari nanti kamu bisa membagikan perasaan itu kepada Nao. Pastikan kamu memilih waktu yang tepat dan jangan sampai menyesal, oke?"

"Oke..."

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 31, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Conquering Fantasy: Ex-Interstellar Army TaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang