Tantrum

26 7 10
                                    

Mobil memasuki parkiran beach club yang sudah ramai. Aku ogah-ogahan turun. Ranselku kutinggal di mobil dan hanya membawa diri dan ponsel.

"Mau duduk di mana?" tanyanya meminta pendapat.

Kuangkat bahuku malas. "Terserah," jawabku asal-asalan, berharap dia bad mood dan membatalkan acara dadakan ini.

"Kita ambil bean bag di depan aja ya," putusnya membuatku melongo. Sial, dia bahkan tampak tidak terganggu dengan sikapku yang menyebalkan.

Aku mengikuti langkahnya menuju ke depan, di dekat pantai. Senja kali ini berbeda buatku, bukan warnanya, hanya suasananya. Ada canggung yang mendadak datang, ada gugup yang tiba-tiba hadir, dan ada rasa entah yang tak bisa kujelaskan atas sikap Sky.

"Kenapa? Kamu masih penasaran dengan sikapku?" tanyanya saat kita duduk. Dia mulai menyalakan rokoknya.

Aku tak menjawab, kusibukkan diriku memilih menu. Deg, seketika jantungku seolah berhenti saat Sky menempelkan tubuhnya di tubuhku. Dan dia meletakkan kepalanya di pundakku. "Aku mau ini, dan makannya ...." Dia menunjuk mocktail dan seolah tak melihat kegugupanku dia membalikkan buku menu dan menelusuri main course. "Carbonara."

Aku tak berani menoleh karena jika aku menoleh, maka wajahku akan langsung bersentuhan dengan wajahnya. Sial! "Panggil pelayan," desisku berusaha untuk tidak bergetar dan berharap dia menjauh.

Aku bernapas lega begitu dia menjauh dan memberiku ruang untuk mengirup oksigen sebanyak-banyaknya. Dia melambaikan tangan memanggil pelayan.

"Virgin mocktail satu, carbonara satu, kamu mau apa?" Dia menatapku.

"Dashi ramen, ice lemon tea." Aku menutup buku menu dan menyerahkannya pada pelayan.

"Jadi, kamu mau tahu kenapa sikapku berbeda?" tanyanya lagi.

Kali ini aku memutar tubuhku dan menatapnya lekat, dan sialnya dia balik menatapku dengan matanya yang bulat. "Ya, karena kamu sangat aneh."

"Tidak aneh jika kamu peka dari awal," jawabnya malah membuatku pusing. Peka? Soal?

Aku memicingkan mataku menyerukan tanda tanya dalam diam, karena aku sudah tak bisa berkata-kata.

"Te, kamu yakin baru menyadari perubahan sikapku akhir-akhir ini saja?" Dia malah menatapku seolah tak percaya. Apa? Bukankah dia aneh belakangan ini saja? "Memang benar, kamu tak peka." Lah kenapa seolah-olah aku yang salah sekarang?

"Maaf nih, maaf, aku tidak peka masalah apa?"bibirku akhirnya mengucapkan kalimat yang mungkin terdengar bodoh.

"Ini, salah satu ketidakpekaanmu." Bukannya menjawab, dia malah membuatku kesal.

"Tuan, maaf, bagian mana yang saya tidak peka?" Aku kesal dengan tuduhan tidak beralasannya itu.

"Nona, maaf, ini malah membuktikan bahwa kamu memang tidak peka. Kamu baru menyadari keanehanku beberapa hari belakangan? Halo, selama ini Anda hidup di dunia sebelah mana?" Lah dia malah ngegas. Seharusnya kan aku yang marah karena dari tadi dia terus mengatakan aku tidak peka. "Alih-alih kamu cari tahu bagian mana yang seharusnya kamu sadari dari awal, kenapa kamu sekarang malah bertanya bagian mana yang kamu tidak peka." Dia menyesap rokok dan menghembuskannya kuat.

Aku terbatuk, mendadak sesak menyergap. Entah karena kegugupan ini atau karena asap rokok, semuanya hanya bercampur baur sekarang. Aku mengabaikannya dan menyambut makanan kami yang datang, perutku lapar dan semakin lapar karena Sky tantrum tidak jelas tentang peka dan tidak peka.

"Non, sesekali, coba untuk melihat sekitarmu," bisiknya di telingaku.

Seketika aku tersedak, kuah ramen yang pedas berpadu dengan bisikan lembut di telingaku itu sudah membuat katup kerongkonganku tak bekerja dengan benar. Aku terbatuk-batuk, dan dengan sigap dia menepuk punggungku lembut. Aku mengambil gelasku dan menyesapnya dengan lambat.

"Tapi kamu yang begini memang lebih menarik, Te." Imbuhan yang lagi-lagi membuatku terbatuk-batuk. Bisa gak sih dia ini berhenti untuk membuatku gugup.

"Tuan, maaf, tolong, ini dada lama-lama sesak dan gak bernapas dengan benar karena Anda," keluhku membuatnya tertawa. Apa yang dia tertawakan?

I COFFEE YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang