Pergi Sejauh Mungkin

10 2 2
                                    

POV Tea


[Kamu di mana, Te?]

Ponselku berbunyi dari tadi. Sky.

[Te, tolong kabari aku]

Kuhela napasku berat. Setelah menimbang dan memikirkannya, aku memilih untuk pergi sejauh mungkin dari Sky. Aku tidak ingin lagi terlibat hal-hal yang di luar perkiraanku sendiri.

[Te, jangan begini, aku butuh kamu, bukan kopi]

Oh, dia pasti sudah menerima kopi yang kupesan untuknya. Iya, aku memilih menjauh, tapi aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja.

Aku hanya tidak siap jika aku terluka, lagi. Iya, aku egois karena membiarkan Sky kebingungan dengan sikapku dan kepergianku.

Ponselku Kembali berdering, dan namanya ada di sana. Sky. Aku membiarkannya. Kupandang langit yang membiru dari balik jendela.

Aku tidak ke mana-mana, Sky, aku di sini, tapi memilih untuk menghilang karena aku tidak siap dengan semuanya. Aku pernah begitu menyukai seseorang dan akhirnya terluka karena hal itu. Aku hanya tidak ingin mengulangi hal itu, lagi.

Keputusan egois ini memang akan melukaiku dan Sky, tapi setidaknya tidak akan melukai kami lebih dalam jika nanti semuanya tidak berjalan sesuai dengan yang kami inginkan.

[Te, jawab teleponku]

Lagi-lagi ponselku berbunyi, dan namanya di sana. Maaf, Sky. Aku juga tidak ingin seperti ini.

[Te, dicari Sky] Frida megirimiku pesan.

[Katakan aku sibuk]

Lalu Frida meneleponku. "Katakan aku sibuk," keluhku.

"Te, kamu belum hand over pekerjaanmu padaku." Langsung kumatikan sambungan karena itu suara Sky. Sial. Dia tidak kehabisan cara untuk menghubungiku.

Ponselku kembali berbunyi, dan aku yakin itu ulah Sky. Kuabaikan semua telepon, nomor Diana, Rasta, Roni, bahkan Pak Dani.

Segigih apa pun, aku tidak akan mengangkatnya, Sky. Dan aku juga tidak berniat untuk mengganti nomerku, toh aku bukannya ingin menghilang tanpa jejak. Aku hanya ingin pergi jauh.

[Katakan kamu dimana, Te?]

[Beritahu aku kamu baik-baik saja]

[Te, please]

[Te]

Seharusnya kamu berhenti di sana, Sky.

Ponsel berdering, Bu Happy.

[Te, ada yang mau saya tanyakan perihal pekerjaan]

Ini bukan akal-akalan Sky, kan?

[Lewat chat tidak bisa, Bu? Saya sedang dalam perjalanan]

[Takutnya salah paham, Te]

Sial. Mau tak mau aku mengangkat telepon itu. "Iya, Bu?" tanyaku berhati-hati, memastikan suara yang kudengar adalah suara Bu Happy.

"Ada laporan yang perlu aku tanyakan lebih lanjut, Te. Kamu di mana? Apa sudah di Jawa?"

"Dalam perjalanan sih,Bu."

"Soalnya ada beberapa data yang miss, dan anak-anak bilang kamu yang pegang project ini sebelumnya."

"Kalau boleh tahu, project yang mana, Bu?"

"Pak Danu."

"Oh, yang miss bagian apa, ya, Bu. Mungkin saya bisa kirimkan data ulang yang bisa saya perbaiki?" Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Kuingat lagi bagian mana dari laporanku yang kurang atau salah.

"Susah kalau dijelaskan lewat chat, kalau kamu sudah di Jawa, aku kirimkan tiket kamu ke sjni bisa?" Tawaran yang mencurigakan.

"Hm .... Bu Happy tidak sedang dalam tekanan seseorang kan?"

"Hah, tekanan? Kamu bicara apa, Te. Aku serius soal pekerjaan. Aku kirimkan tiket sekarang, ya?"

"Hm ... tidak usah, Bu. Saya turun dan putar balik saja. Saya masih di Tabanan. Dua jam lagi saya sampai kantor. Tapi, saya boleh minta satu kondisi, tidak, Bu?"

"Apa, Te?"

"Saya tidak mau ada Pak Sky, bukan apa-apa, Bu, saya sedang tidak ingin berhadapan dengan beliau." Aku berkilah.

"Baik, Te. Mungkin kita bisa bertemu di kafe depan kantor saja biar aman," putus Bu happy membuatku senang.

"Terima kasih, Bu." Aku bernapas lega.

I COFFEE YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang