"Kita ke rumah sakit." Sky mengangkat tubuhku setelah melepas selang oksigen dari kepalaku.
"Sky!" Aku berteriak karena tidak menyangka dia akan mengangkatku.
"Diamlah, tetap berpura-pura pingsan kalau kamu tidak ingin ketahuan mereka." Sial, aku tidak punya daya tawar untuk protes di sini. Kembali kupejamkan mataku dan pasrah saat dia membawaku keluar dari poliklinik kantor. "Pak, diam, ya." Pasti dia sedang membungkam Pak Dani, perawat kantor.
"Turunin," desisku.
"Belum sampai parkiran." Damn, dan aku tidak bisa memaksa, apalagi memuka mata. "Ron tolong bukakan pintu!" teiak Sky.
"Mbak Tea mau dibawa ke mana, Pak?" Suara Roni terdengar.
Sky meletakkanku di kursi depan dan mengancingkan seatbelt sambil berbisik, "Bagus,kamu sudah pintar berpura-pura." Kalau tidak ingat tentang Roni sudah pasti kupukul dia.
"Ke rumah sakit, Ron. Asmanya kambuh kayanya." Sky menutup pintu dan aku mengutuknya dalam hati.
"Kamu ngapain sih?" protesku begitu mobil berjalan keluar dari parkiran.
"Ya nganterin kamu cari anginlah, itu dada sesak, kan?" aku menegakkan dudukku dan menatapnya yang seolah tak peduli sudah membuatku pingsan di kantor. Seketika aku ingat bagaimana kopiku dan barang-barang yang lainnya. "Kopimu tumpah, tas dan ponselmu aman." Seolah dia bisa membaca pikiranku.
"Mana ponselku?" Tanganku terulur untuk meminta barang pribadi itu, tapi bukannya ponsel yang kudapatkan, lagi-lagi tangan Sky mengenggam tanganku.
"Jangan dilepas." Saat aku berusaha untuk melepaskan tanganku dari genggamannya. "Dan jangan pingsan, lagi." Sial.
"Inhalerku mana?" Pada akhirnya aku bisa mencari alasan untuk melepaskan pertautan itu, dia merogoh saku bajunya dan mengulurkan benda itu ke arahku. Aku menghirupnya dengan harapan sesak itu berkurang. Sky mengulurkan air mineral dan kuterima. Eh, tunggu, bagaimana dia tahu kalau aku butuh air setelah menghirup inhalerku? Aku otomatis menoleh dan menatapnya yang bahkan tak menoleh padaku.
"Kamu udah biasa minum setelah menghirup inhalermu, makanya aku tahu." Lagi-lagi dia seolah membaca isi kepalaku. "Aku memperhatikanmu, Te." Dan lagi-lagi dia mengatakannya tanpa menoleh.
"Kita mau kemana?" Aku mengalihkan pembicaraan karena ini akan berujung kepeka dan tidak peka lagi sepertinya.
"Pomegranate."
"Ubud? Sky jangan gila!" Aku panik.
"Aku gila karenamu." Datar, sedatar wajahnya.
"Aku bakalan dipecat sama Bu Happy." Sky malah tertawa mendengar eranganku.
"Ya uda, kamu nikah sama kau aja, gak usah kerja." Seketika aku menjitak kepalanya yang batu itu. "Sakit, Te!"
"Makanya kala ngomong jangan sembarangan!" Aku kesal.
"Aku gak sembarangan, dan aku gak bercanda," katanya sambil menoleh dan mata kami bertemu.
Sial, jantungku berdegup tak karuan. "Bisa gak, kamu gak membuatku jengah,bingung dan stress?"
"Kan kamu bisa menolaknya dengan bersikap biasa saja. Alih-alih salah tingkah seperti itu." Skakmat. "Kenapa kamu tak bisa menerimaku, Te?"
"Karena aku tidak ingin terjadi hal-hal yang tidak kuinginkan di kantor. Kamu sudah lihat Frida tadi pagi."
"Kalau kamu takut dengan reaksi anak-anak, kita bisa backstreet."
"Itu lebih gila lagi. Tidak terima kasih."
"Aku yaki nada hallain yang membuatmu tidak mau menerimaku."
"Bukankah terkadang kita gak perlu alasan?"
"Tapi aku perlu alasan, Te."
Aku diam, karna tak bisa menjawabnya. Terlebih aku tidak ingin membahasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I COFFEE YOU
RomanceAku terlanjur mencari tahu tentangmu, semua hal. Dan aku terlanjur suka padamu, sampai saat ini. Dan ini caraku untuk mengatakan I Love You. Ganti kover untuk dicetak. Naskah akan direvisi dengan POV berbeda.