Menjauh

10 3 3
                                    


Sejak hari itu, aku menghindarinya. Menjauh sejauh-jauhnya, karena tak ingin kejadian di Ubud akan terulang. Dia gila! Lebih gila dari yang kuperkirakan. Setiap kali dia mendekat, aku pergi.

"Bu, boleh aku tidak ikut untuk project ini?" Aku memasang wajah memelas di depan Bu Happy agar tidak dilibatkan di-project terbaru dimana aku harus pergi ke luar kota Bersama Sky.

"Kenapa, biasanya kamu antusias kalau ke luar kota?" Bu Happy menatapku curiga.

Mungkin orang di kantor ini sudah mulai mencium hal yang aneh, karena aku terang-terangan menjauhi Sky.

"Begini,Bu. Bertepatan hari itu, saya ada acara keluarga," ujarku berbohong. Pada minggu itu aku harus bisa mencari seseorang yang akan menguatkan alibiku. "Ini sudah direncanakan jauh-jauh hari, Bu. Jadi saya tidak bisa membatalkannya," imbuhku dengan nada yang kudramatisir.

"Biklah, aku akan menggantikanmu dengan Diana," putus Bu Happy membuatku lega.

Pintu terbuka dan laki-laki itu berdiri di sana, "Bu, saya pamit dulu." Aku bergegas sebelum dia sempat mengucapkan sesuatu. Kulewati tubuhnya yang menguarkan parfum yang entah kenapa membuatku mengingat malam dimana aku menyeretnya masuk ke kamar. Sial.

Kugelengkan kepalaku berkali-kali saat otakku memproses sesuatu yang sangat aku hindari. Entah kenapa, kejadian-kejadian yang terjadi belakangan seolah melekat di otakku dan tak mau dienyahkan.

"Te!" teriakan Diana menyadarkanku dari keinginan gila yang menyergap kepalaku. Aku menoleh dan melihat Diana berkaccak pinggang sambil menghampiriku. "Kamu mau kemana? Kenapa project Surabaya dilimpahkan ke aku?"

"Maaf banget, aku ada acara di minggu itu, please?" Aku menaruh dua tanganku di dada dengan posisi menangkup.

"Nggak, ada apa?" desak Diana. "Kamu tidak biasanya menolak project luar kota."

"Sungguh, aku sudah ada rencana keluarga pada minggu itu. Ya, please, aku tidak bisa membatalkannya, bisa dicoret dari KK," ucapku dengan nada paling memelas yang kubisa.

Diana mengembuskan napasnya kasar dan meninggalkanku. "Thank you, Di!" Dia melambaikan tangannya tanda mengiyakan permintaanku.

Sky berjalan menuju ke arahku dengan matanya yang tajam. Aku setenggah berlari mencari tempat persembunyian. Sungguh, aku sedang tidak ingin terlibat hal apa pun kali ini, terutama tentang dia. Kumasuki ruangan Pak Dani yang terkejut melihatku masuk tanpa aba-aba. "Maaf, Pak, sebentar saja, saya sedang melarikan diri dari seseorang," kataku sambil menunjuk Sky yang mengetuk pintu.

"Masuk, Sky!" Pak Dani menyuruh laki-laki itu masuk. "Ada apa?"

"Saya ada perlu dengan Tea, Pak," ucapnya. Sementara aku berpura-pura sibuk membuka berkas yang ada di meja Pak Dani.

"Saya sedang ada perlu dengan Tea, nanti setelah ini saya kirim dia ke ruanganmu," jawab Pak Dani membuatku lega.

"Oh, baik, Pak." Pintu tertutup.

"Terima kasih, Pak," ucapku mengembuskan napas melepaskan sesak karena ketengangan sudah berlalu.

"Uang tutup mulutnya mana?" Pak Dani meneruskan pekerjaanya tanpa memedulikanku yang masih duduk di depannya.

"Dih, Pak. Jangan mahal-mahal," keluhku.

"Tergantung, kamu ada masalah apa dengan Sky?" Kai ini Pak Dani menatapku.

"Saya tidak bisa ikut project keluar kota kali ini, karena ada acara keluarga, mungkin itu yang membuatnya marah," kataku sambil mengguung ujung kemeja.

"Masa sampai dia mendatangimu ke sini gara-gara kamu tidak bisa ikut keluar kota?" kejar Pak Dani membuatku kelimpungan mencari awaban.

"Benar, Pak. Suer." Aku beursaha senetral mungkin nyengir.

"Aku tidak percaya. Tapi anggap sekarang bantuannya gratis, sampai nanti aku tahu ada apa di antara kalian." Pak Dani menatapku tajam.

"Terima kasih, Pak!" buru-buru kusalami tangannya dan berlalu.

Aku menoleh ke kanan dan kiri memastikan Sky sedang tidak ada di sekitar ruangan Pak Dani dan berlari kekubikel. 

I COFFEE YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang