5. Tiruan Tanpa Dasar

9 3 1
                                    

Daeng Mangalle dan Uleng kembali ke kerajaan Gowa menjelang malam hari. Dikarenakan tubuhnya yang lengket dengan keringat, Daeng Mangalle memutuskan membersihkan diri dan berendam air hangat. Seketika, tubuhnya menjadi segar dan pikirannya pun kembali rileks.

Meskipun merupakan seorang pangeran, tetapi Daeng Mangalle termasuk anak yang mandiri. Ia lebih senang melakukan segala hal seorang diri, tanpa bantuan orang lain. Akan tetapi, mengingat sebagai statusnya, Daeng tetap mendapatkan perlakuan-perlakuan khusus dari pihak kerajaan, termasuk memiliki pengawal yang akan menemani ke mana pun ia pergi.

Di antara banyaknya pengawal, hanya Uleng saja yang merupakan pengawal pribadi Daeng Mangalle. Pria berusia dua puluh tahunan itu tidak hanya menjadi pengawal bagi Daeng Mangalle saja, tetapi ia juga dijadikan teman oleh Daeng Mangalle sendiri. Meskipun begitu, Uleng tidak pernah lupa dengan status dan kedudukannya.

Sembari menikmati hangatnya air, pikiran Daeng Mangalle berkelana. Ia teringat dengan seorang pria dan anak laki-laki yang tampak seumuran dengannya. Kedua orang itu berstatus sebagai guru dan murid. Daeng Mangalle sempat menuduh Malomo sebagai seseorang yang melakukan tindak kekerasan pada anak di bawah umur. Nyatanya, ia hanya salah paham saja.

"Kemampuan Malomo pasti hebat," komentar Daeng Mangalle terhadap pria yang beberapa jam lalu ditemuinya. Ini kali kedua ia memuji kehebatan Malomo, setelah sebelumnya memuji di depan Uleng.

Setelah dirasa cukup membersihkan diri, Daeng Mangalle kembali ke kamar dengan tujuan mengenakan pakaian. Semangat dalam diri anak laki-laki itu masih membara. Itu sebabnya ia memutuskan pergi ke halaman samping kerajaan. Uleng yang melihat kepergian Daeng Mangalle memutuskan mengikuti sang pangeran.

"Daeng, Anda mau ke mana?" tanya Uleng penasaran.

"Saya mau ke halaman samping. Ingin berlatih sebentar," jawab Daeng Mangalle seadanya.

"Matahari sudah terbenam. Sekarang saatnya untuk makan malam. Anda sudah ditunggu di ruang makan keluarga," tukas Uleng memberikan sedikit penjelasan. Daeng Mangalle baru saja kembali dan membersihkan diri, tetapi ia masih berkeinginan untuk berlatih.

Penjelasan singkat Uleng membuat Daeng Mangalle mengembuskan napas panjang. Sebenarnya ia sudah ia sudah mengetahui apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di kawasan kerajaan. Akan tetapi, hasratnya begitu besar sehingga ia rela melewatkan makan malam keluarga. Setidaknya itulah yang ada di benak Daeng Mangalle. Akan tetapi, ia tidak memiliki wewenang untuk melanggar peraturan yang ada, apalagi jika sampai melewatkan makan malam keluarga. Bisa-bisa ia mendapatkan hukuman.

"Saya akan ke ruang makan sekarang," balas Daeng Mangalle yang langsung diikuti oleh Uleng. Pria itu akan memastikan Daeng Mangalle sampai di ruang makan keluarga dengan aman. Terdengar sedikit berlebihan, tetapi itulah tugas Uleng.

Sebuah ruangan luas menyambut kedatangan Daeng Mangalle. Ruangan itu khusus diperuntukkan untuk keluarga kerajaan sebagai tempat menyantap hidangan. Tidak begitu mewah, tetapi cukup sakral. Beruntung Karaeng Bontomangape belum hadir di ruangan tersebut.

Daeng Mangalle memberi salam sebagai bentuk rasa hormat pada yang lebih tua. Ia lalu duduk tepat di samping Karaeng Galesong. Jika bisa meminta, maka Daeng Mangalle ingin sekali bertukar tempat duduk.

"Kau ke mana saja, Mangalle?" tanya Karaeng Galesong memulai obrolan.

"Hanya jalan-jalan," jawab Daeng Mangalle singkat. Beruntung sekali Karaeng Bontomangape memasuki ruang makan. Seketika, ruangan menjadi hening. Saat makan, tidak ada yang diperbolehkan untuk bersuara.

Selesai makan malam, Daeng Mangalle memutuskan pergi kembali ke halaman samping. Semangatnya masih membara hingga malam menjelang. Sebelum melakukan latihan, Daeng Mangalle melakukan pemanasan terlebih dahulu. Ia lalu meniru gerakan Malomo semampu yang ia bisa. Sesuai dengan penglihatan tanpa dasar dan teknik yang diketahuinya.

Daeng Mangalle melakukan dua sampai tiga gerakan secara berulang-ulang. Ia yakin betul apa yang dilakukannya sangat tidak sempurna, tetapi hatinya memaksa sang empu untuk mengulangi gerakan tersebut.

"Hebat. Saya merasakan ada energi baru yang mengalir," komentar Daeng Mangalle setelah melakukan beberapa gerakan yang ditirunya dari Malomo.

Seakan mendapatkan energi baru, Daeng Mangalle semakin bersemangat melakukan gerakan-gerakan tanpa dasar yang dilakukannya secara sembarang. Bukannya merasa lelah, Daeng Mangalle merasakan aliran energi mengalir dalam darahnya. Membuat semangatnya semakin bertambah. 

Tanpa disadari, Daeng Mangalle menarik perhatian seseorang. Tidak lain ialah Karaeng Galesong yang mengamati tindak tanduk Daeng Mangalle dari kejauhan. Seulas senyum tipis terbit di ujung bibirnya. Ia juga mengangguk beberapa kali sebelum melangkah mendekati sang adik.

"Semangat sekali kau, Mangalle," komentar Karaeng Galesong di tengah heningnya malam.

Daeng Mangalle menghentikan kegiatan yang sudah hampir satu jam dilakukannya. Napasnya memburu dan keringat meluncur deras dari pelipis hingga membasahi pakaiannya.

"Kau mandi keringat," komentar Karaeng Galesong lagi disertai tawa.

Daeng Mangalle mengusap keringat dengan punggung tangan. "Karaeng Galesong sedang apa di sini?" tanyanya dengan tatapan tidak bersahabat.

"Saya mengganggumu?" tanya Karaeng Galesong dengan jari telunjuk yang diarahkan pada diri sendiri. Namun, Daeng Mangalle hanya bergeming tanpa kata di tempatnya.

"Saya melihat seseorang berlatih keras di gelapnya malam. Saya penasaran siapa gerangan orang tersebut. Ternyata kau, Mangalle. Saya senang kau semangat berlatih, tetapi kau harus menjaga kesehatan. Saya bawakan ini untukmu." Karaeng Galesong menyerahkan segelas air pada Daeng Mangalle.

Kening Daeng Mangalle sedikit berkerut. "Sarabba? Untuk Karaeng saja," tolaknya.

Menggeleng pelan, Karaeng Galesong menarik tangan Daeng Mangalle dan menyerahkan cangkir yang terbuat dari tanah liat berukir itu pada sang adik. "Sarabba sangat bagus untuk mengembalikan energi yang hilang. Kau berlatih begitu keras, energimu telah terkuras banyak."

"Saya tidak membutuhkannya, Karaeng Galesong," ucap Daeng Mangalle lagi. 

"Semua orang akan repot jika kau sakit nantinya."

Ucapan Karaeng Galesong sedikit membuat Daeng Mangalle kesal. Ia menatap minuman dalam cangkir tersebut untuk beberapa saat. Terlihat berbagai rempah mengambang dalam cangkir tersebut. Campuran kayu manis, biji pala, merica, gula Jawa, santan dan kuning telur kampung adalah bahan pembuatan Sarabba. Minuman hangat pengembali energi yang cocok dinikmati di tengah dinginnya udara malam.

Itulah alasan mengapa Karaeng Galesong membawakan Sarabba untuk Daeng Mangalle. Ia ingin adiknya tetap menjaga kesehatan dengan mengkonsumsi makanan dan minuman yang sehat, juga bergizi.

Kening Daeng Mangalle berkerut dengan lidah yang dijulurkan setelah ia menelan habis Sarabba. "Tidak enak," komentarnya. Entah mengapa Daeng Mangalle tidak menyukai Sarabba, di saat minuman itu menjadi obat alami para prajurit mengembalikan energi setelah lelah berlatih ataupun berperang.

"Tidak enak, tetapi begitu berkhasiat," sahut Karaeng Galesong lagi.

Daeng Mangalle memilih menghiraukan ucapan Karaeng Galesong sebelum berbalik pergi. Dengan cepat Karaeng Galesong mencekal tangan sang adik dengan tujuan mengurungkan niat kepergiannya.

"Saya ingin bicara denganmu, Mangalle," kata Karaeng Galesong serius.

"Saya rasa tidak ada yang perlu kita bicarakan," balas Daeng Mangalle seraya berbalik. Ia masih kesal dengan kedatangan Karaeng Galesong yang sama sekali tidak diundang olehnya. Selain mengganggu latihan, Karaeng Galesong juga membuat Daeng Mangalle meminum Sarabba yang tidak disukai olehnya. Rasa kesal Daeng Mangalle semakin bertambah terhadap Karaeng Galesong.

Bersambung...

Laron Menerjang Sinar [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang