19. Makan Malam Spesial

2 2 0
                                    

Marauleng membantu Daeng Mangalle membawa rusa buruannya keluar dari hutan dengan susah payah. Berat rusa berhasil membuat keduanya kewalahan, tetapi mereka beruntung, karena Uleng berada tidak jauh dari lokasi hutan. Keduanya menatap sumringah Uleng, karena mereka sudah sangat lelah membawa rusa tersebut.

"Anda berhasil," ucap Uleng seraya menghampiri Daeng Mangalle dan Marauleng.

"Mengapa kau masih ada di sini, Uleng? Saya memintamu kembali." Seingat Daeng Mangalle, ia telah meminta Uleng untuk tidak mengikutinya ke hutan.

"Saya hanya berjaga-jaga saja, Daeng. Saya tidak melanggar ucapan saya untuk memasuki hutan," kilah Uleng.

"Ya, beruntung kau ada di sini, karena saya mendapatkan rusa yang gemuk. Saya dan Marauleng kesulitan membawanya keluar dari hutan."

Uleng mengangguk. "Akan saya bawakan, tetapi rusa ini mau dibawa ke mana?" tanyanya memastikan.

"Rusa itu didapatkan Daeng Mangalle dengan susah payah, maka rusa itu milik Daeng. Kau boleh membawanya ke kerajaan," jawab Marauleng.

"Memang saya yang mendapatkannya, tetapi saya ingin memberikan rusa ini pada kau dan Malomo. Anggap sebagai ucapan terima kasih saya."

"Rusa itu terlalu banyak untuk saya dan Malomo. Daeng bawa saja pulang dan makanlah daging rusa itu bersama keluarga Daeng. Beritahu mereka bahwa Daeng lah yang mendapatkan rusa itu dengan tangan Daeng Mangalle sendiri."

Daeng Mangalle tidak lain membantah ucapan Marauleng lalu meminta Uleng mmebawa rusa itu kembali ke kerajaan. Banyak pasang mata menatap ke arah Daeng Mangalle dan Uleng dengan seekor rusa yang dipikulnya.

Rusa itu dibawa ke dapur dan Daeng Mangalle meminta juru masak kerajaan untuk menghidangkan rusa tersebut sebagai menu makan malam. Awalnya, juru masak itu terkejut saat melihat Uleng mmebawa rusa yang cukup besar.  Sang juru masak lebih terkejut saat mendengar bahwa Daeng Mangalle lah yang memburu rusa itu.

Ada rasa bangga yang tertanam dalam hati Daeng Mangalle karena telah berhasil mendapatkan rusa itu. Ia juga penasaran dengan reaksi keluarganya setelah mengetahui bahwa daging rusa yang mereka santap merupakan hasil jerih payah Daeng Mangalle.

"Menurut kau bagaimana reaksi Karaeng Galesong dan Karaeng Bontomangape setelah mengetahui bahwa saya berhasil mendapatkan rusa itu dengan berburu?" Daeng Mangalle tidak dapat menyembunyikan rasa senangnya. Ia sudah tidak sabar menanti malam tiba dan melihat reaksi keluarganya.

"Saya tidak tahu, Daeng, tetapi saya percaya jika Karaeng Bontomangape dan Karaeng Galesong bangga dengan anda. Karaeng bahkan belum pernah mengajari anda memegang busur panah."

"Kau benar, Uleng. Saya pun berpikiran yang sama. Karaeng belum pernah mengajari saya memanah. Karaeng pasti terkejut saat mendengar daging rusa yang dimakannya adalah hasil kerja keras saya." Membayangkan Karaeng Galesong takjub dan memujinya membuat senyum Daeng Mangalle tidak pernah luntur.

"Saya ikut senang karena Daeng Mangalle telah berhasil."

"Terima kasih, Uleng. Tanpa bantuanmu, saya tidak akan bisa mendapatkan rusa itu. Semua ini juga berkat Marauleng dan Malomo. Setelah daging rusanya selesai diolah, bisa hantu saya bawakan untuk Marauleng dan Malomo? Saya ingin mereka menikmati makanan yang sama dengan saya. Kau juga, Uleng. Kau harus makan, ya," ucap Daeng Mangalle seraya menyikut Uleng layaknya orang dewasa.

"Saya akan bawakan untuk Marauleng dan Malomo, tetapi akan lebih baik jika saya memakan makanan biasa, Daeng. Saya merasa tidak pantas," tolak Uleng atas tawaran Daeng Mangalle.

"Kau bicara apa? Selama ini kau sudah banyak membantu saya. Jika kau menolak berarti kau tidak menghargai saya. Begitupula saya tidak akan menghargaimu sama sekali. Saya bisa meminta orang lain menggantikan posisimu," ucap Daeng Mangalle yang tidak mengerti dengan jalan pikiran Uleng. Bagaimana bisa Uleng berpikir seperti itu?

"Baiklah, Daeng Mangalle. Saya akan menurut," balas Uleng tanpa panjang lebar.

Daeng Mangalle tersenyum sumringah. Senyumnya itu terus bertahan sampaikan makan malam tiba. Sejak awal, Karaeng Galesong sudah menyadari keanehan adiknya yang mendadak bersikap baik padanya. Akan tetapi, ia tidak mengetahui jika sikap Daeng Mangalle sangat berbeda. Sampai-sampai senyumnya tidak pernah luntur.

"Mangalle, kau baik-baik saja?" Karaeng Galesong yang sudah tidak tahan memilih bertanya pada sang adik.

"Saya baik, Karaeng," jawab Daeng Mangalle singkat.

Hidangan yang tersaji di atas meja seketika mencipta kerutan di kening Karaeng Bontomangape. "Hidangan malam ini daging rusa?" tanyanya memastikan pada juru masak.

"Benar, Karaeng Bontomangape. Daeng Mangalle meminta saya memasak rusa yang dibawanya sepulang dari berburu sebagai hidangan makan malam," jawab juru masak itu sebelum pamit pergi.

Karaeng Bontomangape melihat ke arah Daeng Mangalle. "Setelah makan malam selesai, Tetta ingin bicara denganmu, Mangalle," ucapnya sebelum menyantap hidangan makan malam.

"Baik, Tetta," jawab Daeng Mangalle singkat.

Karaeng Galesong melirik pada Daeng Mangalle yang tidak menyadarinya.  Karaeng Galesong ingin sekali bertanya langsung pada Daeng Mangalle, tetapi sekarang bukan saatnya. Tidak seorang pun boleh bersuara saat sedang menyantap hidangan.

Di ruang makan, ada peraturan yang tidak memperbolehkan saling berbicara, kecuali jika menyangkut masalah yang sangat penting dan berbahaya. Setiap anggota keluarga juga  harus makan bersama di ruangan tersebut. Tidak ada yang boleh meninggalkan ruang makan sebelum semua anggota keluarga menyelesaikan makannya. Di saat seperti itu, berbicara diperbolehkan, tetapi tidak dengan suara keras agar tidak menggangu anggota keluarga yang lain.

Karaeng Galesong mencekal tangan Daeng Mangalle dengan tujuan menghentikan gerakan sang adik yang hendak meninggalkan meja makan. "Sebentar, Mangalle," katanya.

Daeng Mangalle membalik tubuh. "Ada apa, Karaeng?" tanyanya heran. Dikarenakan sedang dalam suasana hati yang menyenangkan, Daeng Mangalle berucap lembut pada Karaeng Galesong.

"Hari ini kau terlihat berbeda. Ternyata ini alasannya? Benar kau mendapatkan rusa itu dengan berburu?" Karaeng Galesong akhirnya dapat mengutarakan pertanyaan yang sejak tadi mengganggu pikirannya.

Pertanyaan Karaeng Galesong seketika memunculkan kerutan di kening Daeng Mangalle. "Apakah Karaeng tidak percaya jika saya berhasil mendapatkan rusa itu dengan usaha keras saya sendiri?"

"Bukan seperti itu maksud saya. Karaeng tidak ingin kamu mendapatkan masalah dari Tetta. Katakan saja yang sebenarnya, Mangalle. Saya belum pernah mengajari kau memanah." Demi menyelamatkan sang adik dari amukan Karaeng Bontomangape, Karaeng Galesong meminta Daeng Mangalle agar berkata jujur.

"Karaeng belum pernah mengajari saya memanah, tetapi saya tidak hanya memiliki Karaeng seorang. Saya juga berkata jujur. Mengapa Karaeng tidak mempercayainya?"

"Dengan siapa kau belajar memanah dan sejak kapan kau melakukannya?"

Daeng Mangalle berdecih. "Apakah itu penting bagi Karaeng Galesong? Karang tidak mempercayai saya, maka tidak ada alasan bagi saya untuk menjawab pertanyaan Karaeng."

"Mangalle, jangan bertingkah kekanak-kanakan. Jawab saja pertanyaan Karaeng," kata Karaeng Galesong lagi yang mulai kesal, sebab, pembicara keduanya tidak memiliki titik temu.

"Saya belum dewasa. Itu artinya saya masih anak-anak, Karaeng. Sebaiknya saya pergi, karena Tetta sudah menunggu."

Karaeng Galesong menatap kepergian sang adik dengan perasaan yang tidak karuan. Bukannya ia tidak mempercayainya ucapan Daeng Mangalle, tetapi ia hanya ingin mengetahui kapan dan dengan siapa Daeng Mangalle belajar memanah. Juga, mengapa ia tidak beritahu sama sekali?

Bersambung...

Laron Menerjang Sinar [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang