12. Mencari Jawaban

1 2 0
                                    

Daeng Mangalle dan sang ibu beranjak bersamaan meninggalkan tempat mereka saling berbicara. Sudah lama rasanya ibu dan anak itu tidak saling berbicara santai sambil menikmati heningnya suasana malam.

"Kau sebaiknya istirahat, Mangalle. Amma' yakin jawaban yang kau cari akan segera kau temukan," ucap I Loqmor Tobo sembari mengusap pelan punggung putranya.

Daeng Mangalle mengangguk. "Baik, Amma'.

I Loqmor Tobo beranjak meninggalkan putranya. Ia yakin jika Daeng Mangalle mampu menemukan jawaban yang dibutuhkannya. Putranya itu tidak akan menyerah pada sesuatu yang sudah yakininya. Hal itu pula yang diajarkan I Loqmor Tobo, yaitu berpegang teguh pada prinsip yang diyakini.

Daeng Mangalle menatap punggung sang ibu yang perlahan bergerak menjauh. Tidak pernah terbesit dalam benaknya untuk membagi kesulitan pada wanita yang telah melahirkannya itu. Daeng Mangalle begitu percaya diri menemukan jawaban atas pertanyaan Marauleng. Akan tetapi, ia lupa bahwa dirinya tidak sendiri. Ada seseorang yang begitu peduli padanya. Selalu merasa khawatir setiap kali ia bertingkah tidak biasa.

"Saya belum menemukan jawaban atas pertanyaan Marauleng, tetapi Amma' berhasil membuat saya tenang. Amma' meminta saya untuk tidak terburu-buru dan selalu memperhatikan sekeliling. Mungkin jawaban yang saya butuhkan ada di sana. Apa maksudnya itu?"

Daeng Mangalle tidak menampik jika dialog antara dirinya dan sang ibu berhasil merilekskan pikirannya, tetapi kini, tidak hanya Marauleng saja yang membuatnya pusing, tetapi sang ibu juga. Apa maksud dari ucapan wanita itu? Jawaban yang dibutuhkan Daeng Mangalle berada tidak jauh dari sekitar Daeng Mangalle sendiri. Jelas hal tersebut menambah beban pikiran Daeng Mangalle.

"Saya sebaiknya beristirahat," guman Daeng Mangalle seraya memasuki kamar. Pikirannya kini bertambah, tetapi untuk malam ini, ia ingin beristirahat dengan pikiran kosong. Dapat menikmati waktu tidurnya dengan nyaman dan tenang.

Setelah membersihkan diri, Daeng Mangalle merebahkan diri di atas ranjangnya yang terbuat dari kayu tebal dan dihiasi ukiran-ukiran indah di sekitarnya. Yah, keindahan ranjang tidak berarti apa-apa bagi Daeng Mangalle, sebab, ada hal lain yang lebih penting dari sekadar ukiran indah yang menghiasi ranjangnya.

Kelopak mata itu ditutup oleh Mangalle saat rasa kantuk mulai mengendalikan dirinya. Tidak butuh waktu lama, ia sudah terlelap. Akan tetapi, secepat itu pula Daeng Mangalle terjaga. Ia terbangun di tengah malam.

"Saya kembali terjaga," gumam Daeng Mangalle disertai embusan napas panjang. Sepertinya akan sulit untuknya beristirahat dengan tenang dan nyaman malam ini.

Kembali Daeng Mangalle menutup kelopak matanya dengan harapan dapat beristirahat tanpa memikirkan apa pun malam ini. Namun, tampaknya, keberuntungan tidak berpihak padanya malam ini. Dunia mimpi seakan menolak kedatangannya.

***

Uleng tersentak saat melihat Daeng Mangalle memasang wajah muram. Anak itu juga berulang kali menguap yang cukup membuat Uleng merasa terganggu.

"Apakah Daeng tidak memiliki waktu tidur yang cukup?" tanya Uleng memastikan.

"Tidak, Uleng. Saya tidak bisa tidur tadi malam," jawab Daeng Mangalle seadanya.

Kening Uleng menciptakan kerutan tipis. "Mengapa Daeng tidak bisa tidur? Apakah ada yang mengganggu pikiran Anda?"

Daeng Mangalle mengangguk. "Iya. Kau ingat kemarin, tentang pertanyaan yang diajukan Marauleng? Saya tidak bisa tidur karena memikirkannya."

"Itu karena Daeng Mangalle terlalu memikirkannya sehingga pikiran Daeng hanya fokus pada itu saja. Saran saya, Daeng sebaiknya mencari guru lain. Saya yakin ada banyak orang yang kemampuannya jauh lebih baik dari Marauleng.

Penuturan Uleng seketika membuatnya mendapatkan tatapan tidak bersahabat dari Daeng Mangalle. "Saya telah memutuskan, Uleng. Jika saya tidak bisa tidur, maka tidak apa-apa. Saya yakin bisa menemukan jawabannya. Kau sendiri juga tahu jika kemampuannya hebat dan tidak jauh berbeda dengan Karaeng. Itu sebabnya saya ingin menjadi murid Marauleng," tukas Daeng Mangalle memberikan penjelasan. Ia mengerti maksud Uleng, tetapi Daeng Mangalle pun percaya pada naluri dirinya yang mengatakan Marauleng ataupun Malomo bisa membantunya berlatih menggunakan senjata.

"Bagaimana jika Daeng tidak berhasil meyakinkan mereka dengan jawaban yang Daeng miliki? Apakah Daeng akan terus berusaha atau menyerah?" Uleng kembali bertanya dengan santainya. Ia tidak mempedulikan Daeng Mangalle yang mulai tersulut emosi.

"Saya akan terus berusaha sampai salah satu jawaban yang saya berikan berhasil membuat saya menjadi murid Marauleng. Saya begitu mengagumi kemampuannya." Daeng Mangalle menjawab dengan sorot mata serius.

"Baiklah jika itu keputusan Anda. Saya akan mendukung Daeng," balas Uleng yang dibalas senyum sumringah dari Daeng Mangalle.

Mengikuti sang ibu, Daeng Mangalle memutuskan lebih peka terhadap sekitar. Ia memperhatikan sekitar dengan lebih detail dan saksama. Akan tetapi, hingga kini ia belum juga menemukan jawaban yang dimaksud. Rasanya melelahkan, tetapi Daeng Mangalle sendiri pun begitu penasaran dengan jawaban yang diinginkan Marauleng. Apakah jawaban yang begitu rumit, atau malah sebaliknya?

"Saya bingung, apakah jawaban yang diinginkan Marauleng merupakan jawaban yang sangat sulit? Selain mengalahkan Karaeng Galesong, saya belum bisa memikirkan jawaban lain," keluh Daeng Mangalle disertai embusan napas panjang.

"Saya juga tidak tahu, tetapi menurut saya, jawabannya tidak sesulit itu, Daeng. Bisa saja merupakan jawaban sederhana yang terkadang dilupakan."

Ibu jari dan telunjuk ditempatkan Daeng Mangalle di dagu. "Sepertinya saya juga harus memperhatikan hal-hal kecil dan sederhana," katanya.

Bunyi keras seketika membuat Daeng Mangalle dan Uleng tersentak kaget. Terlihat seorang kakek mengambil beberapa kayu bakar yang jatuh ke tanah. Daeng Mangalle dengan sigap membantu mengumpulkan kayu-kayu bakar tersebut. Begitupula dengan Uleng yang ikut membantu.

"Biar saya saja yang membantu membawa kayu bakar itu, Daeng," kata Uleng sesaat setelah melihat Daeng Mangalle mulai menempatkan beberapa kayu bakar di pundaknya.

"Tidak apa-apa, Uleng. Saya ingin membantu kakek ini membawa kayu-kayu bakar sampai ke rumahnya. Kau tidak perlu mengikuti saya, Uleng. Kau saya izinkan untuk kembali ke kerajaan," balas Daeng Mangalle.

"Saya menghormati keputusan Daeng Mangalle, tetapi saya tidak akan kembali. Saya akan menunggu Daeng di sini," balas Uleng yang diangguki setuju oleh Daeng Mangalle.

"Saya bantu membawa kayu bakarnya, ya, Kek." Daeng Mangalle berucap ramah pada kakek itu.

"Terima kasih, Daeng Mangalle. Anda begitu baik," ucap kakek itu dengan senyuman yang merekah lebar.

"Terima kasih atas pujiannya, Kek, tetapi sudah seharusnya saya melakukan ini."

Daeng Mangalle membawa sebagian kayu kabar di pundaknya. Ia mengikuti ke mana arah kakek itu melangkah. Harus diakui oleh Daeng Mangalle bahwa jalan yang dilaluinya begitu rumit. Ia harus melewati sebagian hutan dengan akar-akar menjalar dan bebatuan yang berserakan.  Daeng Mangalle bergerak dengan hati-hati agar kayu bakar yang dibawanya tidak  kembali terjatuh dan mengalami kerusakan.

"Berat sekali rasanya," ucap Daeng Mangalle dalam hati. "Kau bisa, Mangalle. Hanya kayu bakar, dan kau pasti bisa membawanya dengan selamat sampai ke rumah kakek itu."

Bersambung...

Laron Menerjang Sinar [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang