6. Bincang Malam

9 4 0
                                    

Karaeng Galesong dan Daeng Mangalle duduk di depan pelataran kerajaan. Angin dingin berembus semakin kencang, tetapi tidak membuat kedua pangeran Makassar itu beranjak dari tempat duduk mereka. Lebih tepatnya hanya Karaeng Galesong saja yang tidak ingin beranjak sana, sedangkan Daeng Mangalle ingin sekali pergi.

"Kita hanya duduk diam di sini? Bukankah Karaeng ingin bicara sesuatu pada saya?" Daeng Mangalle memutuskan bertanya setelah Karaeng Galesong bungkam tanpa kata selama kurang lebih lima menit.

"Sebelum bicara, Karaeng ingin Mangalle menikmati waktu tenang di malam yang lumayan dingin ini," balas Karaeng Galesong seadanya.

"Saya rasa sudah cukup, Karaeng. Apa yang ingin Karaeng bicarakan pada saya?" Daeng Mangalle sudah tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Sepertinya Karaeng Galesong memiliki banyak waktu luang malam ini.

"Karaeng tahu kekecewaanmu, Mangalle, tetapi kau tidak seharusnya bersikap tidak sopan pada Tetta (Ayah). Sebagai seorang pangeran, kau tentunya tahu segala peraturan di kerajaan ini, terutama peperangan. Ikut berperang bukanlah hal yang mudah. Butuh banyak persiapan, baik fisik ataupun mental. Kau belum memiliki kesiapan itu, Mangalle," tukas Karaeng Galesong memberikan penjelasan.

"Saya hanya tinggal berlatih lebih giat lagi. Saya yakin saya bisa." Daeng Mangalle bersikeras dengan pendapatnya sendiri.

Karaeng Galesong menggeleng pelan. "Karaeng pun tahu Mangalle bisa melakukannya, tetapi tidak untuk sekarang. Kita sama-sama tahu ada peraturan yang tidak memperbolehkan kita angkat senjata sebelum memasuki usia dewasa."

Entah bagian mana dari ucapan Karaeng Galesong yang lucu, tetapi Daeng Mangalle sontak tertawa. "Peraturan itu ada, tetapi pada akhirnya dilanggar. Karaeng tahu sendiri siapa yang melanggarnya. Lagipula, peraturan seseorang yang boleh angkat senjata pada usia dewasa, yaitu 16 tahun tidaklah masuk akal. Aturan itu dibuat hanya untuk membatasi kemampuan setiap orang yang berkemungkinan besar bisa dan pantas ikut berperang," jelas Daeng Mangalle mengutarakan pendapatnya.

"Tujuan dibuatnya peraturan itu bukanlah untuk membatasi kemampuan, tetapi mempersiapkan calon-calon prajurit yang lebih matang dan kompeten. Mereka yang belum dewasa akan sulit membedakan mana yang benar dan salah. Perbuatan yang dilakukan pun akan sulit dipertanggungjawabkan."

Penjelasan Karaeng Galesong membuat Daeng Mangalle pusing. Ia tidak begitu mengerti dengan maksud ucapan sang kakak. "Saya tidak begitu mengerti, tetapi Karaeng Galesong bisa melakukannya. Karaeng pertama kali angkat senjata di usia yang belum dewasa." Ia menuntut penjelasan. Ada peraturan yang berlaku di kerajaan Gowa, tetapi hal tersebut tidak berlaku untuk Karaeng Galesong.

"Karaeng ingin menuruti peraturan yang ada, tetapi Tetta (Ayah) meminta langsung pada Karaeng untuk berperang. Tetta memperbolehkan Karaeng ikut berperang karena yakin Karaeng bisa. Karaeng juga tidak mungkin membantah." Karaeng Galesong memberikan penjelasan dengan lembut. Berharap Daeng Mangalle mengerti dengan maksud baik diberlakukannya peraturan tersebut.

"Saya punya ide bagus!"

Kalimat penuh semangat yang diucapkan Daeng Mangalle membuat Daeng Mangalle tersentak. "Ide bagus apa?" tanyanya dengan kening yang sedikit berkerut.

"Bagaimana jika Karaeng minta pada Tetta untuk merubah peraturan? Tetta lebih mendengar Karaeng Galesong daripada saya."

Karaeng Galesong memijit pelan kepalanya. "Tidak bisa seperti itu, Mangalle. Karaeng juga tidak memiliki wewenang untuk melakukan itu, dan kau pun tahu pasti."

Daeng Mangalle memasang wajah cemberut.

"Peraturan itu diberlakukan tidak untuk membatasi kemampuan kita. Malah dapat dijadikan pemacu semangat. Dengan berlatih lebih giat, terutama di umur sepertimu, maka kau sudah memiliki dasar-dasar kemampuan yang sempurna. Saat  memasuki usia dewasa nanti, kemampuanmu akan jauh berkembang. Kau bisa menjadi prajurit junior terbaik. Tidak menutup kemungkinan kemampuanmu akan menyeimbangi prajurit senior lainnya."

Ucapan Karaeng Galesong dapat didengar jelas oleh Daeng Mangalle. Akan tetapi, anak laki-laki berusia tiga belas tahun itu memilih menghiraukannya. Sangat tidak sopan memang, tetapi ia tidak ingin mendengar penjelasan apa pun tentang peraturan kerajaan mengenai usia dewasa seseorang menjadi prajurit. Daeng Mangalle sangat tidak setuju dengan peraturan tersebut, tetapi ia pun tidak bisa melakukan apa pun. Pendapatnya dapat didengar oleh orang lain, tetapi tidak akan merubah apa pun. Peraturan tetaplah peraturan, dan sudah seharusnya ditaati.

"Karaeng peduli padamu, Mangalle. Kapan pun kau membutuhkan, dengan senang hati Karaeng menemani kau berlatih," kata Karaeng Galesong lagi guna menarik kembali perhatian Daeng Mangalle.

Benar saja. Upaya yang dilakukan Karaeng Galesong berhasil. Daeng Mangalle menoleh ke arahnya. "Karaeng begitu sibuk. Bagaimana bisa membantu saya berlatih?"

"Saat senggang, Karaeng akan meluangkan waktu untuk kau."

"Tidak usah. Karaeng Galesong tidak usah memikirkan saya. Tanpa Karaeng pun, saya tetap akan berlatih. Saya akan melakukannya dengan cara saya sendiri, meskipun tanpa bantuan Karaeng," ucap Daeng Mangalle dengan sorot mata serius.

"Baiklah. Saat kau sudah siap, kau boleh datang pada Karaeng dan kita akan bertarung. Karaeng akan menyambut kedatangan kau dengan tangan terbuka."

Decakan sebal keluar dari mulut Daeng Mangalle. Jika saja saat ini kemampuannya sudah lebih berkembang, maka ia dengan senang hati mengajak Karaeng bertarung malam ini juga. Akan tetapi, kemampuannya sama sekali belum berkembang. Hasil latihannya dengan Karaeng Galesong sendiri pun tidak akan memberikan banyak perbedaan, sebab, Karaeng Galesong tahu apa yang akan dilakukan Daeng Mangalle. Pergerakannya begitu mudah dibaca oleh laksamana perang itu.

Sekilas, Karaeng Galesong melirik Daeng Mangalle dari sudut matanya. "Sudah Karaeng katakan bahwa peraturan itu bertujuan baik. Kau jadi semangat berlatih, kan? Karaeng harap, kau tidak membandingkan dirimu dengan Karaeng, karena jelas kita berbeda. Mangalle, ya, Mangalle. Tidak akan sama dengan Karaeng Galesong. Kau bisa lebih baik dari Karaeng Galesong."

Lagi-lagi, Daeng Mangalle menghiraukan ucapan Karaeng Galesong. Ia lebih memilih memperhatikan Sarabba dalam teko tanah liat sebelum menuangkan sedikit ke dalam gelasnya. Bagi Daeng Mangalle, meminum Sarabba jauh lebih baik daripada harus mendengar ucapan Karaeng Galesong. Ia tahu betul bahwa ucapan sang kakak benar, tetapi ia tidak ingin menanggapinya dengan serius.

Karaeng Galesong adalah tujuan hidup Daeng Mangalle, tetapi ia tidak akan mengikuti setiap jejak Karaeng Galesong. Daeng Mangalle akan menempuh jalan hidupnya sendiri. Ia bertekad menjadi lebih baik dari Karaeng Galesong. Persis seperti apa yang dikatakan Karaeng Galesong, tetapi Daeng Mangalle tidak ingin membenarkannya secara langsung di hadapan sang empu.

Netra Daeng Mangalle melotot kaget saat melihat sosok perawakan tegap berkulit sawo matang dengan pasappu yang tersemat di kepalanya mendekat. Buru-buru ia bangkit dari posisi duduknya dan memberikan salam. Begitupula dengan Karaeng Galesong yang sudah lebih dulu beranjak dan memberi salam sebagai bentuk rasa hormat.

"Malam sudah larut. Kau berdua sebaiknya istirahat. Terutama kau, Karaeng Galesong. Ada peperangan besar yang akan kita lakukan. Kau harus menjaga stamina," ucap pria itu dengan nada berat. Suaranya begitu khas dan terdengar begitu berwibawa.

"Baik, Tetta," balas Karaeng Galesong dengan kepala sedikit tertunduk.

Daeng Mangalle melirik sekilas pria yang tidak lain ialah raja Gowa ke XVI itu sebelum menundukkan kepala. Aura pemimpin sang raja begitu menguar. Daeng Mangalle dapat merasakan udara yang berputar di sekelilingnya tidak sedingin sebelumnya.

Bersambung...

Laron Menerjang Sinar [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang