PART 3

46 11 1
                                    

Seorang pria mungil berambut hitam berjalan dengan gontai di koridor sekolah yang masih sepi. Ya, saat ini pria mungil itu telah duduk di kelas satu Senior High School. Mimik pria mungil ber-name tag gun atthaphan itu begitu sendu menatap ke depan dengan tatapan kosong, wajah tanpa ekspresi yang selalu ia tampilkan menghilang entah ke mana.

Ya, selalu seperti ini. Gun selalu berusaha menyembunyikan perasaan yang sebenarnya di hadapan banyak orang dengan cara berekspersi datar dan acuh tak acuh untuk menutupi penderitaan yang selalu ia rasakan. Sekitar tiga tahun yang lalu mook berhasil menjalani operasi cangkok jantungnya dan sudah dipastikan kondisinya telah pulih seperti sedia kala.

Namun walau begitu sikap kedua orangtua gun tak pernah berubah, mereka masih tetap memanjakan mook karena mereka begitu takut kehilangan mook dan ya, mereka masih tetap tak mengacuhkan keberadaan gun di antara mereka, bahkan setelah kejadian di perpustakaan itu orangtuanya seakan tidak mengizinkan gun dekat-dekat dengan mook dan dengan sekuat tenaga selama itu pun gun berusaha menekan rasa kecewa dan sedih karena perlakuan orangtuanya yang seakan menganaktirikan dirinya.

Waktu masih menunjukkan pukul 6 pagi dan seperti biasa gun melangkahkan kakinya menuju perpustakaan sekolah yang sudah di buka oleh penjaga sekolah 10 menit yang lalu. Setelah duduk manis di salah satu kursi melingkar di ruang perpustakaan itu, bukannya membaca buku gun malah mengeluarkan selembar kanvas putih polos dan berbagai cat warna yang selalu ia bawa. Gun menatap selembar kanvas di hadapannya dengan peluh yang menetes di kedua pelipisnya, wajahnya kian memucat dan kedua tangannya bergetar masih merasa takut akan kenyataan bahwa—

Set!

Sret!

Trak!

Kejadiannya begitu cepat, pensil yang gun kenakan untuk menggoreskan suatu pola di kanvas tersebut jatuh begitu saja dengan sendirinya. Tangan kanannya bergetar hebat, kedua netra itu mulai berkaca-kaca menatap tangannya nanar dan gun mengigit kulit bawah bibirnya dengan kuat mencoba untuk menahan perasaannya yang berdenyut perih. Lagi luka lama itu terbuka bagai sebuah tombak yang menghunusnya tanpa ampun, gun mulai terisak dalam diam karena kenyataan yang masih belum bisa ia terima.

'Hancur sudah dirimu gun ...'

—Dirinya sudah tidak mungkin dapat melukis lagi karena cidera yang ia miliki di tangan kanannya.

Setelah puas menangis gun merapihkan semua peralatan lukisnya lalu berjalan keluar menuju kelasnya dengan wajah tanpa ekspersi, bel masuk akan berkumandang lima menit lagi. Di sepanjang perjalanan menuju kelasnya, gun dapat melihat beberapa siswa dan siswi yang melihatnya berbisik-bisik sesuatu yang membuat hatinya terasa tersengat aliran listrik.

'Eh apa kau tahu? Mook phunsawat akan membuat pesta untuk ulang tahunnya besok malam,'

'Iya aku tahu, ah gadis itu sungguh sangat sempurna, dia adalah putri kesayangan Tuan dan Nyonya pun.'

'Aa bukankah itu memang seharusnya terjadi? Mook kan anak tunggal dari keluarga phunsawat,'

'Ah iya aku lupa hehe ... eh tapi bukankah gun atthaphan adalah adik dari mook?'

'Ah mana mungkin? Tadi malam aku menyaksikan liputan para keluarga bangsawan dan Tuan pun bilang mook adalah putri tunggalnya ...'

'Ah? Benarkah? Lalu kenapa gun tinggal di rumah keluarga phunsawat?'

'Entahlah, mungkin dia hanya anak pungut. Haha ayo kita pergi!'

'Haha benar juga, hmm ayo.'

Deg!

Dengan berusaha menahan isak tangisnya, gun kembali melangkahkan kakinya seolah tak terjadi apa-apa.

Ya, hal itu sering terjadi. Gun yang berkepribadian pendiam, penyendiri dan anti sosial membuatnya sering digunjing oleh teman teman sekolahnya. Berbeda dengan mook, ia dikelilingi banyak teman yang tulus menyayanginya. Ya, sungguh sempurna bukan penderitaanmu, eh gun?

winter Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang