Baby Aster

1.1K 106 9
                                    

Sudah gelap
Mengapa sulit lelap
Jalan mana harus kulalui?
Tanpa perbincangan, hati kuberi
Kudapati kini hanya tetes di pipi

Entah mana lebih baik
Melupakan atau tak mengenal sejak awal

Luka yang kugores sendiri
Mungkinkah sembuh tanpa pergi?

Kita tidak pernah sama
Lantas apa yang perlu dipaksa?

Beda arah
Beda rasa

Salma menutup notebook berukuran kecil ketika mendengar derap langkah, notebook yang sudah menemaninya hampir empat tahun dalam menciptakan banyak lagu.

Feri masuk dengan dua tangan penuh jinjingan, meletakkan parsel buah, kantong plastik merah entah berisi apa, dan apa itu? Salma memicingkan mata, melihat benda indah berwarna putih yang Feri simpan di atas meja.

"Bunga dari Salmine," kata Feri, menjawab rasa penasaran Salma, "dititip di meja resepsionis."

Sejenak Salma terdiam. Salmine--nama fansbase dirinya--tak pernah pergi. Kenapa dia sempat-sempatnya merasa sendiri? Bukankah Salma sudah berjanji kepada diri, untuk membalas cinta mereka dengan karya yang diciptakan dari rasa bahagia?

"Besok udah bisa pulang." Feri membuka kantung plastik, mengeluarkan rantang berisi makanan. "Dari Paul, nih. Masak sendiri katanya. Selain piawai melihara ayam, tuh anak berbakat jadi koki juga kayaknya."

Salma tersenyum samar. Paul si art of service. Berbahagialah Nabila.

Bau obat kini terkontaminasi oleh aroma masakan Paul yang baru dibuka. Feri menghampiri Salma, memutar engkolan pada bagian kaki dari hospital bed searah jarum jam, memposisikan Salma untuk duduk.

Keputusan dokter tidak bisa diganggu gugat!
Bed rest. Tiga hari.
Salma menderita Gastritis atau biasa dikenal radang lambung. Lambungnya bahkan sudah luka akibat tidak makan teratur. Sebenarnya, Salma bisa saja rawat jalan, tapi Feri diam-diam bekerjasama dengan dokter untuk membuat artisnya tersebut istirahat di rumah sakit.
Feri bahkan meminta membatasi siapa saja yang berkunjung.

"Tolong ambilin bunganya, dong," pinta Salma.
Feri menurut tanpa perlawanan, menyerahkan bunga berwarna putih dengan kelopak kecil.

Pintu terdengar diketuk pelan dua kali. Roni masuk tanpa menunggu dipersilakan.
Tangan kanannya memegang plastik putih bening berisikan pisang matang.

"Macet, Ron?" Sapa Feri, mengambil rantang di atas meja, menyerahkannya kepada Roni. "Aku keluar sebentar, ya. Belum mandi." Matanya melirik ke arah rantang. "Pasien belum makan." Feri langsung melangkah keluar ruangan dengan muka tanpa dosa.

Roni berdehem, dihadiahi muka sinis Salma.
Baby aster putih masih dalam dekapan gadis dengan piyama navi itu.

"Kasih dan kesabaran," kata Roni, tiba-tiba.

Salma mendelik tajam. "Nggak jelas banget."

"Arti bunga aster yang kamu pegang."

Salma tak menanggapi. Lagipula, sejak kapan Roni tiba-tiba hafal arti bunga-bunga? Atau karena keseringan memberi perempuan bunga?

"Sarapan dulu, gih," kata Roni mengambil sendok, hendak menyuapi Salma.

"Dih, gue radang lambung ya, bukan patah tangan." Salma langsung mengambil alih rantang, mengintip apa yang ada di dalamnya. "Kirain apaan, bubur doang juga," keluh Salma ketika melihat apa yang ada di dalamnya. Disuapnya satu sendok. "Mana rasanya hambar gini. Emang paling bener Paul jadi tukang pelihara ayam aja."

Panggung Realita Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang