"Terima semua saja, Bang."
Feri--Manager Salma--geleng kepala. Entah apa yang terjadi. Dia tahu bernyanyi adalah kesukaan Salma, tapi menerima semua tawaran pekerjaan yang masuk, sangat di luar nalar.
Feri mulai berpikir, besok-besok apa dia berbohong saja? Menyembunyikan beberapa tawaran yang hadir. Bukankah ada bohong yang diperbolehkan? Lagipula, seminggu ini, artisnya tersebut hanya tidur kurang dari dua jam dalam sehari.
Feri bahkan merasa Salma seperti robot, dirancang untuk bekerja dan bekerja. Wajah Salma pucat, kemarin malam panas tinggi. Namun, pagi tadi wanita tersebut tetap berkeras untuk mengisi acara di salah satu stasiun televisi.
"Kita makan siang dulu ya, Sal."
Salma tak mengiyakan atau menolak. Feri membelokkan mobil ke arah Tamrin, singgah di salah satu restoran Sunda.Tidak bisa dikatakan makan siang, karena sekarang sudah pukul dua sore. Sehabis ini, Jadwal Salma mengisi acara mingguan mereka, IdoLyfe.
"Habis IdoLyfe pulang ke apartemen, ya, Sal. Istirahat."
"Masih ada meeting sama klien, kan?" Salma mengingat-ingat.
Feri mengangguk. "Iya, tapi bisa aku handle sendiri."
"Kemarin kata Abang, kliennya minta aku juga ikut datang?"
Pramusaji menjeda obrolan mereka, meletakkan dua piring sate maranggi, semangkuk kecil sambal tomat, serta sambal oncom. Timun kecil khusus lalapan tidak diiris, dibiarkan saja utuh dalam nampan berbentuk daun semanggi. Feri sengaja memesan menu tambahan nasi putih.
Pengunjung tampak ramai. Tempat makan ini didesain lesehan dengan sekat dinding bambu sebatas leher orang dewasa.
Sabilulungan mengalun indah. Jika saja restoran ini dibangun di pinggir sawah, angin sepoi pasti sukses membuat kantuk."Terima kasih, Mbak," kata Salma, mengantar kepergian pramusaji.
"Nggak ada yang pengen kamu ceritain ke aku?"
Feri mengambil lima tusuk sate di piring Salma, dipindahkan ke piringnya.Salma meletakkan ponsel, mengambil satu tusuk sate, memakannya langsung. "Nggak."
"Nggak pengen pulang? Minggu depan aku bisa kosongin jadwal kamu sekitar tiga hari." Lelaki itu mengambil nasi satu sendok makan, meletakkan ke piring Salma. "Habiskan. Tadi pagi kamu nggak sarapan."
Salma menggeleng yakin. "Bulan depan aja."
"Nggak ada yang salah, kan, Sal?"
"Nggak ada, Pak. Tenang aja."
Salma sendiri tidak yakin dengan jawabannya.
Entahlah.Sejak kejadian unggahan foto yang diposting Lala, Salma linglung. Perasaannya campur aduk.
Sebisa mungkin dia menanggapi semuanya seperti biasa.Roni juga kembali dalam mode awal, hanya mengiriminya pesan jika berurusan dengan pekerjaan.
Salma tidak mungkin bersikap seperti orang putus cinta, di saat jadian saja tidak pernah.
Seharusnya dia lebih awal sadar, bahwa hubungan mereka hanya sekadar.
Sekadar panggung sandiwara.Maka, satu-satunya solusi agar dia tidak tenggelam dengan perasannya sendiri adalah, terjun langsung ke dalam tawaran kerjaan yang tidak pernah usai.
________
"Wanita." Seperti biasa, Nabila memberi clue ambigu.
"Cantik," jawab Paul tak yakin.
Kru panggung ngakak, menimbulkan suara riuh. "Nabila memang cantik, Paul, tapi jawaban kamu salah! Sekarang gantian Roni," perintah salah satu dari mereka.
Roni tak berpikir panjang. "Angin."
Jeda lima detik. "Jilbab?" tebak Salma ragu.
Tepuk tangan terdengar, disusul cie-cie kru, semakin lama semakin ramai. Sepertinya, jiwa shipper mereka sudah mendarah daging.
Paul berdiri, beranjak ke arah Salma dan Roni. "Hubungannya apa angin sama jilbab woi."
Kru panggung tertawa lagi.
"Chemistry, Bro, chemistry." Roni yang menjawab.
Salma mengangkat alis, mengedipkan mata ke arah kamera.
Mati-matian Salma menyembunyikan salting. Jangan karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Seminggu dia menata hati, tidak mungkin dibiarkan berderai hanya karena perkara teringat akan peristiwa di Le Bridge, Ancol, saat Roni membenarkan lipatan jilbabnya yang tersapu angin, yang membuat dia bisa menjawab game's tadi.Sakit perut yang Salma rasakan sejak sore, harus disyukurinya, karena sangat berperan penting untuk mengontrol perasaannya di panggung sandiwara saat ini.
Lagi-lagi, game's adu chemistry ini dimenangkan Salmon.
IdoLyfe diakhiri dengan lagu 'Bulan' andalan Paul dan Roni."Kenapa?" Roni memastikan, menghampiri Salma yang langsung ke belakang panggung setelah acara selesai.
Salma menggeleng, menekan perut yang semakin terasa sakit. Berjongkok ia saking tidak tahannya.
"Muka kamu pucat, Sal." Roni memajukan langkah, duduk di lantai tepat di depan Salma, mengarahkan tangannya ke dahi wanita dengan jilbab mint itu. "Salma, ke rumah sakit, ya."
Salma langsung menepis tangan Roni kuat. "Nggak perlu."
Roni menekan emosi. Mati-matian ia mengepal tangan hingga kuku-kuku yang menyentuh kulitnya terasa sakit. "Jangan kayak gini, Ca," pintanya dengan mata berkaca-kaca.
Salma teguh pendirian. "Tolong panggilkan Pak Feri. Aku ...." Salma tak mampu menggenapkan ucapan. Tubuhnya ambruk ke samping, disambut sigap oleh Roni.
KAMU SEDANG MEMBACA
Panggung Realita
FanficKontrak eksklusif dari salah satu stasiun televisi, mengharuskan Salma dan Roni berperan menjadi dua orang sahabat yang dibumbui romantisme tipis-tipis. Demi rating katanya. Namun, bagaimana jika kepura-puraan itu menjadi bumerang? Saat mereka ha...