Mode Memancing

1K 99 3
                                    

Di dunia ini, banyak orang memiliki suara indah, tapi hanya sedikit yang mampu bernyanyi dengan rasa.

Seluruh Cinta karya Krishna Balagita, baru selesai diremake oleh Salma dan Roni siang ini. Mentari tepat di ubun-ubun saat dua orang tersebut keluar dari ruang rekaman.

Nabila dan Paul sudah pulang lebih dulu. Salma tahu, ada yang tidak beres dari mereka berdua jika dilihat dari Nabila yang lebih banyak diam.

Sudah ada puluhan wartawan menanti mereka di ruang parkir kendaraan. Roni terlihat mengaktifkan mode ramah, Salma merogoh kacamata hitam dalam tas selempang yang dikenakan, buru-buru memakainya.

"Gimana rekaman hari ini?" Pertanyaan pertama dibuka oleh wartawan perempuan berambut ikal sebahu, menyodorkan mic di antara Roni dan Salma.

"Lancar." Roni yang menjawab. "Ada yang sampai nangis juga karena terbawa suasana."

Riuh langsung terdengar. Salma tertawa dipaksakan.

"Siapa yang menangis?" Wartawan pertama bertanya kembali.
Belum dijawab, pertanyaan lain berhamburan keluar.

"Bocoran lagunya dong, Ron, Sal?"

"Lagunya sampai ke hati banget, ya?"

"Kapan rilis?"

"Apa pendapat kalian dengan kandidat capres tahun depan?"

Salma cepat mengambil salah satu mic wartawan. Jika dibiarkan, pertanyaan keroyokan mereka bahkan bisa mengalahkan hujan yang jatuh rombongan.

Baiklah, aktifkan mode acting. "Penyanyi yang sukses itu, bukan hanya punya ribuan teknik dalam bernyanyi, tapi juga harus bisa menyampaikan isi lagu ke audience, jadi begitu kira-kira kenapa aku sampai meneteskan air mata." Salma membuka kacamata, mengangkat sebelah alis, membuat orang-orang yang ada di sana tertawa.

Kali ini, wartawan laki-laki dengan postur tubuh paling rendah berbicara. "Roni nggak nangis?"

"Nggaklah. Malu, dong sama jiwa roker aku. Iya, kan, Ca?"

Salma kembali memaksakan tawa. "Roni nangis kalau kecolok aja matanya."

"Bocoran lagunya dong, Sal, Ron." Khas wartawan, pantang menyerah."

"Untuk judul lagu, tunggu saja tanggal realisnya, ya. Banyak kejutan pokoknya," tutup Roni, mengatupkan kedua tangan tanda permisi.

Dengan cepat, ditariknya tangan kanan Salma, membuka pintu mobil, mempersilakan wanita dengan jilbab warna sage itu masuk.
Tipe Roni sekali saat di depan kamera. Kebutuhan rating sih, katanya.

"Lapar nggak? Makan yuk."

Salma memasang seat belt, menarik napas, mengembuskannya kuat. "Sejak kapan Lo manggil gue dengan Ca?"

Salma seharusnya tidak butuh klarifikasi. Roni memang begitu. Awalnya, mereka asik dengan Lo Gue. Belakangan, lelaki itu sudah akrab saja dengan aku kamu, tapi sekarang? Kecanduan fyp sepertinya.

Salma yakin, jika sekarang dia membuka HP, Salmon sudah akan gempar perihal 'Ca' yang baru saja keluar dari mulut Roni ketika wawancara tadi.

"Dimas juga manggil kamu Caca, kan, waktu makan malam kemarin? Kamu nggak protes tuh," jawab Roni, membela diri.

Tidak ada yang spesial dengan Salma yang memang dipanggil Caca oleh lingkungan keluarga.
Dimas, anak Gubernur Blitar yang dikenalkan oleh pamannya yang bekerja sebagai anggota DPR, tentu akan biasa saja jika memanggilnya dengan sebutan demikian.
Namun, jika itu keluar dari mulut Roni, akan beda cerita.

Belum sempat Salma menanggapi, handphonenya berdering, tertera nama Dimas di sana.
Ekor mata Roni melihat nama itu.

"Iya, Dim. Bagaimana?" jeda cukup lama sebelum Salma kembali berbicara. "Malam ini, ya? Aku kosong, sih. Nanti kabari tempatnya saja, ya." Salma memencet tombol merah, kembali menyimpan handphonenya di dalam tas.

Roni menghidupkan mesin mobil, pelan-pelan Brio abu keluar dari ruang parkir. "Makan malam? Lagi?"

Salma mengangguk mengiyakan.

"Aku ikut," kata Roni, dengan muka tanpa dosa.

Panggung Realita Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang