Hidup Segan Mati tak Mau

1.1K 92 6
                                    

"Siapa, sih?" Rungut Salma, memilih membiarkan ponsel yang masih berada di atas kasur berdering.

Hanya tersisa lima tetes terakhir. Botol michellar water kosong dibuangnya ke tempat sampah berukuran kecil tepat di samping meja rias. Bisa-bisanya dia lupa membeli barang sepenting itu. Tidak heran, sih, dia juga sering lupa kalau sekarang sudah menjadi artis.

Dering dari ponselnya berakhir, terdengar kembali setelah jeda tidak lebih dari lima detik.

Salma beranjak dari meja rias dengan tangan masih memegang kapas, melihat ponsel.

Roni? Tumben banget nelpon.
Mungkin mau minta maaf karena meninggalkan Salma tadi di pesta pernikahan. Nggak usah dimaafin harusnya, kan?

Salma melirik jam beker di atas meja samping kasur, pukul sebelas malam lebih tiga menit. Tangan kirinya menggeser tombol hijau pada layar ponsel, membiarkan benda berukuran persegi panjang itu tetap di atas kasur.

"Kenapa, Ron?"

"Udah tidur?"

"Belom."

"Lagi di mana?"

Salma mengusap bagian keningnya dengan kapas. "Apartemen."

"Apartemen siapa?"

"Menurut Lo? Apartemen guelah!" Salma beranjak dari kasur, membuang kapas ke tempat sampah. Jangankan seluruh wajah, bagian kening saja belum bersih. Lima tetes michellar water memang tidak punya arti untuk wajah full make up, sama seperti ucapan mantan 'aku nggak bisa hidup kalau nggak sama kamu' tapi masih segar bugar aja setelah putus. Ya, kalikan aja dengan 0.

"Boneka kura-kura yang aku kasi ke kamu, warna apa?"

Kening Salma mengernyit, tebakannya akan Roni minta maaf meleset jauh sekali, bahkan di luar perkiraan BMKG. "Hijau kuning. Kenapa emang?"

"Ukuran?"

Salma mengambil ponsel,  berjalan ke kamar mandi. "Mana gue tau!" Ponsel diletakkannya di samping wastafel, meraih sabun cuci muka, menuangkannya ke tangan, lantas diberi air sedikit dan meratakannya di wajah.

"Aku mau lihat."

"Nanti gue fotoin." Salma memutar gagang keran pelan, air keluar tidak begitu deras, lanjut mencuci muka.

"Kamu lagi ngapain, sih?"

"Cuci muka, Roni."

"Ya udah pindahkan ke panggilan video."

"Ngapain?!" Salma sampai menghentikan aksinya membersihkan wajah dan mematikan keran. Melihat kaca, maskara masih tersisa di kelopak matanya, pun liptik masih tidak sepenuhnya hilang. "Lu mau lihat gue? Kangen? Baru juga tadi ketemu."

"Aku mau lihat bonekanya, Salma."

"Gue lagi nggak pake jilbab."

"Kan aku mau lihat bonekanya, bukan kamu yang nggak pake jilbab. Itu nanti aja setelah udah mahram."

"Mahram mahram. Lu tahu juga kagak artinya mahram."

Salma mendengar pria yang menelponnya itu tertawa. "Buruan, Sal."

"Nyebelin lu kagak ilang-ilang, ya."
Dialihkannya panggilan tersebut ke mode video, mengklik kamera ponsel ke arah belakang.

Pria di seberang sana ternyata sedang rebahan, melihatkan setengah wajah. Rambutnya kusut masai.

"Udah kayak cewek-cewek lu kalau lagi video call, kalau nggak kelihatan sebelah muka, ya kelihatan kening doang," ejek Salma. Buru-buru dia keluar dari kamar mandi.

Panggung Realita Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang