"Kenapa mereka belum kembali?"
Brenda menegakan badan lelah dari kegiatan menyapu nya. Pagi ini usai dari kekacauan malam tadi, mereka sepakat untuk membersihkan tempat tinggal mereka. Vince dan Jorge bersama teman temannya dapat bagian berat nya, yaitu mengubur mayat yang berserakan. Sedangkan para remaja disetujui untuk membersihkan kekotoran disana.
"Entahlah." Frypan menghela nafas, "Memang dimana kau meninggalkan Clara?"
"Saat situasi kemarin, satu satunya yang terpikir dari ku hanya kabur membawa Clara. Tapii aku tak sampai mengantarnya, anak buah Morgan menghalangi kami." Brenda menunduk menatap gagang sapu yang dipegangnya. "Seharusnya aku mengantarnya, tapi aku menyuruhnya lari."
"Aku tidak tau dimana dia." Brenda menahan air mata yang akan jatuh, merasa bersalah. "Seharusnya aku melindunginya."
Frypan menghampiri Brenda dan mengusap punggung gadis itu. "Kau melakukannya dengan benar."
Brenda menggeleng. "Aku meninggalkanya."
"Kau menyuruhnya untuk berlari agar mereka tak mengejarnya itu hal yang benar, Brenda. Kau sudah menunjukan bahwa kau sudah berusaha."
Brenda menutup wajahnya tak mau dilihat menangis. "Tapi aku tidak tau bagaimana kondisinya sekarang."
Melihat temannya seperti itu, Frypan bergerak merengkuhnya. "Aku harap dia baik. Dia dan bayinya."
***
Tidak ada satu atau dua kata yang mereka ucapkan hingga saat ini. Wajah lelah bercampur keringat membuat tampilannya semakin mendominasi bahwa mereka ingin putus asa. Semakin lama mereka menanti semakin banyak rasa khawatir. Semakin banyak pikiran buruk yang meracau masing masing. Apalagi atas apa yang terjadi secara tiba tiba, bukan hanya soal menunggu sebab dari raut sedih mereka tetapi karena peninggalan teman teman yang tak bisa bertahan hari ini.
Rest in place,
Tulisan besar itu terampang di papan kayu dibawah hamparan tanda salip masing masing dari tanah mereka. Kesunyian sore ini menjadi bukti atas kedukaan Right Arms.
Emily, James, beserta para teman teman Vince sudah tidak bersama mereka lagi.
Mungkin mengikhlaskan bukan hanya soal sesulit itu tapi juga menyadarkan diri. Sadar bahwa sekarang ada penyesalan yang mereka rasakan.
"Apa masih ada kejutan lagi?" Gally menatap kosong kuburan kuburan di depannya.
Frypan hanya diam.
"Apa selama belasan taun kita dilabirin ini yang kita dapatkan?" Gally memainkan batang rokok di sela jarinya. Nyatanya bayangan ketakutan mulai muncul di pikirannya. Bagaimana rasa gembira itu datang saat dia kembali bertemu teman teman labirinnya lalu satu dari mereka meninggal. Kembali lagi ketika dia menemukan sebuah tim yang sudah ia anggap keluarga, kini hancur menewaskan orang orang yang membuat suasana terasa lebih hangat. Lalu orang yang selama ini ia sukai diam diam, hilang. Dengan mengetahui kabar bahwa gadis itu hamil saja sudah membuat Gally sakit, lalu menghilang disituasi yang kacau. Ia pikir apa tidak ada suatu keadilan saja untuknya?
"Tidak ada yang mau seperti ini, Gally." Frypan merespon. "Disaat situasi seperti ini aku sering berusaha untuk berpikir kalau ini hanyalah sebuah ujian untuk kita. Menjadikan kesalahan ini untuk sebuah pelajaran yang kita ambil."
"Ini bukan hanya soal penyesalan dan peninggalan. Tapi bagaimana harus bertahan untuk tidak melakukan hal buruk karena menyalahkan diri. Penyesalan datang untuk menggangu pikiran kita. Jadi aku kira, berpikir jauh lebih konvesional lebih baik untuk saat ini."
Gally menoleh merasakan bahunya di rangkul oleh Frypan, hatinya mencelos melihat temannya itu mengeluarkan air matanya. Air mata yang menunjukan pria itu lelah untuk terus berusaha baik baik saja. Nyatanya sampai saat ini mereka tidak pernah dapat apa yang mereka inginkan. Selalu ada kabar buruk untuk mereka.
YOU ARE READING
GIRL CRUSH [book 3 : The Death Cure]
FanfictionTidak berhasil mengambil sahabatnya dari gerbong kereta membuat ketiganya tak menyerah untuk mendapatkan Minho kembali. Newt, Thomas, Clara, dan Frypan harus kembali masuk ke sarang Wicked dan berjuang untuk menemukan Minho. Lantas apa mereka berhas...