Kalung Hadiah Ulang Tahun

2.5K 52 1
                                    

Kepalaku sakit sekali.

Perlahan ku buka kelopak mata yang terasa berat dan ingin terpejam lagi.

Untuk sepersekian detik aku terkejut karena terbaring tanpa busana di tempat tidur yang bukan di kamarku. Tempat tidur dengan sprei putih yang lembut terasa sekali di kulit dan lampu temaram meneduhkan yang seolah merayu agar aku melanjutkan tidur.

Oh ya.. Alex. 

Sepulang acara ulang tahun Clove kemarin kami check-in di salah satu hotel bintang empat dekat sana, yang aku lupa alasannya padahal apartemen Alex sangat dekat dari sini. Tapi semalam rasanya tidak ada lagi yang kupikirkan selain bersama dia. 

Tapi Alex tidak ada di sampingku pagi ini. Kuraba sisi tempat tidur di sebelahku. Kosong. Cuma aku sendiri. 

Entah kenapa pikiranku langsung teringat pada Galih. Aku mau minta maaf karena sudah melakukan ini di belakangnya. Apa lebih baik kami putus saja? Tapi nanti aku jadi lajang tua? Ya ampun, egois sekali pikiranku.

"Hi, morning," Alex menyapa sambil menyeruput secangkir minuman, yang kutaksir kopi hitam panas. Aroma segar gilingan kopinya menyebar hingga ke seluruh ruangan. Ia lalu duduk santai di sofa di seberang tempat tidur. Ternyata Alex masih di sini. 

Oh ya, kenapa aku bisa lupa sejak dulu Alex memang seorang morning person.

Lho? Bukan cuma sudah bangun dan minum kopi, dia tampak rapi sekali dengan kemeja putih dan celana panjang. Jas merah marunnya masih disampirkan di atas kursi.

"Kok...rapi sekali??" tanyaku sambil menyandarkan punggungku di headboard tempat tidur. 

Alex meneguk sedikit kopinya, "pertama, aku memang biasa mandi setelah bangun pagi. Kedua, kita memang tidak bawa apa-apa selain baju yang kita pakai semalam, jadi aku pakai lagi."

Oh ya..dia benar.

"Ketiga," katanya melanjutkan sambil melihat ke arah jam tangannya. "Kamu juga harus siap-siap karena sekitar 6.30 kita harus ke bawah untuk sarapan."

"Hei..buru-buru banget. Apa kita nggak bisa santai sedikit? Ini kan hari Minggu."

"Justru karena ini hari Minggu," ucapnya sambil menunjuk ke arahku dengan cangkir kopinya. "Pengunjungnya bakal lebih ramai dari hari biasa, jadi lebih baik makan sepagi mungkin. Dan...ada baiknya kita segera sampai di rumah dan bersantai-santai. Maksudku, aku. Bukan kita."

Aku memutar mata. Melihat reaksiku, Alex buru-buru meralat. "Hei, maksudku, kau kuantar pulang dulu. Nggak bawa mobil, kan?"

"Nggak."

"Perfect," ucapnya sambil menjentikkan jari. Minum kopi sepertinya benar-benar bikin energi baterainya penuh lagi pagi ini. "Aku mau tahu jalan menuju rumahmu yang dulu kamu bilang selalu macet itu. Dan pagar rumah yang papamu cat jadi warna merah karena baru pulang nonton Liverpool di Anfield..."

"Alex....pagar rumahku sudah ganti warna lagi. Itu cerita 10 tahun lalu, ya."

"Oh, sayang sekali," katanya pura-pura kecewa. 

"Kalau gitu aku bisa lihat kucing peliharaanmu yang waktu itu bikin kamu harus mengingatkan kakakmu dari Bali setiap hari supaya nggak lupa kasih makan?"

"Kucingku itu umurnya sudah delapan tahun 10 tahun lalu. Dia sudah mati. Alex kuplester mulutmu, ya."

Dia cuma tertawa, "tapi bikin melek, kan? Ayo cepat siap-siap."

Alex lalu berdiri dari sofa untuk menarik kakiku dengan satu tangannya. Memaksaku segera bangkit dari tempat tidur. Aku refleks berpegangan pada sprei, tapi tak berhasil. "Alex! Sumpahh berhenti. Kuhajar yaa!"

My Client is My Ex-FWB [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang