Pencuri Ciuman

871 39 0
                                    

Maret 2013

Pantai Sanur sangat sepi pada hari biasa dan di luar momen liburan. Sampai-sampai kita bisa mendengar gelebuk angin jika sedang kencang.

Alex dan aku duduk di meja panjang sebuah kafe tepi pantai. Sambil menyeruput kelapa, menonton Hans dan lainnya yang sedang main voli pantai. Beth berdiri di tengah kedua sisi, menjadi wasit pertandingan, yang otomatis berpihak pada tim Hans dan Lukas. Sementara tim satunya, tim Viktor dan Isak, otomatis jadi tim tak kompak yang selalu kena bully.

"Kenapa nggak ikut?" tanyaku pada Alex yang lebih banyak diam dan masih agak canggung memulai obrolan.

"Hm, sebetulnya aku nggak terlalu suka olahraga tim."

"Oh, ya? Kenapa?"

Alex mengangkat bahunya. "Lebih suka lari, mendaki, atau apa saja yang bisa kulakukan sendiri."

Dasar introvert, batinku.

Kami diam lagi beberapa saat. Sebelum akhirnya aku iseng mendekatkan kursiku

"Alex."

"Hm?"

"Kita kok cuma ketemuan saja di kafe, fika bersama yang lain, lalu pulang ke tempat masing-masing? Kita hampir seminggu lho begini."

"Hmm, memangnya harus gimana?"

"Kita nggak mau.. sedikit bersenang-senang?"

Sambil menopang dagu, aku mencondongkan tubuh. Alex terlihat menutupi kecanggungannya sambil meneguk es kelapanya.

"Hmm ya?"

"Iya," kataku mengangguk sambil memandangi wajahnya.

Setelah memastikan kafe kosong dan yang lainnya sibuk dengan voli pantai, kuberanikan diri untuk meninggalkan kecupan lembut di pipinya.

Saat itu aku tak berpikir apa-apa. Kalau dia kesal atau tak suka, ya aku tinggal pergi.

Meski dia tampak sedikit terkejut, tapi tidak ada reaksi risih atau tersinggung. Alex lalu melirik ke arahku kami saling berbalas senyuman.

"Ternyata kau benar-benar agresif seperti yang kukenal, ya," katanya sambil menggeleng pelan dan tertawa. "Maksudku, yang kukenal lewat chat".

"Masa?" tanyaku pura-pura polos. Alex cuma mengangguk, lalu lanjut meminum es kelapanya. "Yaa, tapi memang kita ketemu untuk bersenang-senang, kan?"

"Kan sudah? Memangnya ngobrol-ngobrol dan main bersama bukan senang-senang?"

"Begitu saja senang-senangnya?" aku pura-pura memasang wajah cemberut.

Alex lalu mendekatkan wajahnya dan mencium bibirku tanpa aba-aba. Kecupannya lembut dan meluluhkan. Waktu rasanya terhenti ketika bibirnya yang basah menyentuh bibirku. Samar-samar terasa gurih-manisnya air kelapa yang baru diminumnya.

Aku baru mau membalas ciumannya, tapi dia menjauhkan wajahnya dan melemparkan senyuman tengil seolah memberi pesan "jangan lama-lama nanti kau ketagihan".

Dalam hati aku kecewa, tapi juga senang. Mungkin ini cuma perkenalan sebelum kesenangan-kesenangan lainnya. Dan tebakanku tidak sepenuhnya salah.

Beep beep beeep

"Eh, Alex, kamu dengar ada suara beep beep gitu, nggak?"

"Hm? Suara apa, ya?" Alex melihat sekelilingnya dan mencari-cari.

"Apa, ya. Kayak alarm gitu."

"Nggak ada."

"Masa, sih?"

Alex mengangguk yakin. Aneh banget, pikirku.

Baru saja aku membuka mulut untuk bicara lagi dengannya, Alex tiba-tiba meninggalkan tempat dan berjalan pergi.

Lho, kenapa?

Aku memanggil namanya berkali-kali, tapi dia tetap pergi. Anehnya, sudah berusaha berteriak sekeras mungkin tapi kenapa aku tidak bisa mendengar suaraku sendiri. Kok begini, sih?

---

BEEEP BEEEP BEEEP BEEP BEEEP

Aku terbangun.

Tanganku otomatis meraba-raba meja di sebelah tempat tidur untuk meraih ponselku dan mematikan alarm yang bikin telinga pengang.

Tidak ada Alex di dekatku. Hanya aku di kamarku sendiri.

Lho, barusan mimpi?

Rasanya seperti nyata sekali. Pelan-pelan ingatan tentang mimpi itu berhamburan dan aku nyaris lupa.

Tapi secara samar aku masih ingat, bagian awal mimpi itu mengingatkanku lagi tentang momen pertama kali Alex menciumku. Momennya persis seperti itu dan membuatku semakin rindu Alex. Aku tak pernah bilang sebelumnya kalau dia laki-laki pertama yang mencuri ciuman pertamaku.

Ah, hatiku jadi hangat.

Tiba-tiba jadi terpikirkan, kok bisa saat itu aku menganggapnya biasa saja dan tidak spesial sama sekali.

Sambil mengumpulkan nyawa, kulihat jam dinding yang hampir menunjukkan pukul 05.30. Biasanya Alex menelepon jam segini.

Tak lama, ponselku berbunyi. Rasanya lega mendengar suara yang kunantikan ada di seberang telepon. Alex, yang satu jam lebih siang di Singapura, baru saja selesai lari pagi dan mau bersiap-siap ke kantor.

Aku bercerita baru saja memimpikan dia, tanpa menyebut detail mimpinya. Tapi aku bilang di dalam mimpi dia meninggalkan aku sendiri.

Di balik telepon, terdengar sayup-sayup dia tertawa mendengarkan ceritaku.

"Kedengarannya kau rindu sekali? Kita kan baru nggak ketemu seminggu saja," katanya. "Belum juga ditinggal 10 tahun."

"Ah, mulai lagi," aku mendesah.

"Rindu pun nggak apa-apa, kan? Aku juga rindu, kok."

"Besok sudah akhir pekan. Kau nggak ke Jakarta besok?"

"Maaf mengecewakanmu, tapi aku belum bisa pulang minggu ini dan mungkin juga minggu depan."

Aku menghela nafas kecewa dan tak menjawab apa-apa. Selama beberapa detik tidak ada yang bicara di telepon.

"Hei, I love you. Kita segera ketemu, ya."

Aku tersenyum tipis. Rasanya senang sekali dan sedikit tak percaya mendengarkan ucapan ini hampir setiap pagi. "Ya. Love you too."

Alex menutup teleponnya sementara aku tertidur lagi sebentar. Tapi mimpiku tak berlanjut dan setelah bangun, aku melanjutkan hari-hari yang membosankan, seperti biasanya.

Bersambung

My Client is My Ex-FWB [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang