Tamu Asing

592 35 0
                                    

"Kamu lebih dari cukup dan pantas.."

---

Kata-kata Galih terus terngiang di kepalaku sepanjang malam hingga Sabtu siang ini. Tiba-tiba aku seperti dihantui rasa bersalah yang...terlalu terlambat?

Galih baik banget, kenapa aku malah jahat pada dia?

TIIIIINNN

Aku tersadar dari lamunan karena klakson mobil di belakangku yang begitu keras dan bikin telinga berdenging. Dari kaca spion kulihat bapak pengendara mobil itu marah-marah dari balik kaca, yang tentu suaranya tak bisa kudengar. Setelah beberapa detik baru kusadari barusan menerobos lampu merah.

"Hei, kau nggak apa-apa? Mau aku saja yang bawa mobilnya?" Alex, yang duduk di sampingku, memegang lenganku.

"Ehm, nggak apa-apa! Maaf, ya? Aku janji bakal fokus."

Pagi itu aku baru saja menjemput Alex dari bandara. Dia menepati janji bakal pulang ke Jakarta akhir pekan. Meskipun, akhir pekannya setelah satu bulan kemudian.

Selama dua minggu terakhir aku membawa mobil Alex yang terbengkalai di tempat parkir apartemen. Sebelum dia membawa mobilnya pulang, aku mau mengenalkannya dulu pada kakakku. Lalu ketemu dengan mama dan papa yang bakal ke Jakarta beberapa hari lagi.

Aku mau semuanya berjalan segera. Meskipun mereka mungkin bakal kaget tiba-tiba aku minta dinikahkan dengan seorang bule yang mereka bahkan tak kenal. Tapi aku sudah siap diomeli dan diceramahi.

Tebakanku benar.

Kakakku, Dina, kaget seperti melihat hantu ketika membuka pintu rumah dan menemukan seorang laki-laki berkulit dan berbulu wajah pucat berdiri di sebelahku, yang tinggi badannya membuatku tampak seperti kurcaci.

Selama beberapa detik mata kakakku berpindah-pindah melirik ke arahku dan Alex, tampak masih mencerna apa yang dilihatnya. Dia lalu melemparkan senyum ragu-ragu, lebih seperti mengejan.

Oh, ya. Aku belum pernah cerita tentang Alex sama sekali pada kakakku. Tentu mereka juga belum pernah saling bertemu.

"Kak.. kenalin, ini.. Alex," kataku sembari nyengir. "Ehm, pacarku."

"Halo, salam kenal," sahut Alex dengan logat Bahasa Indonesianya yang masih saja kaku itu.

Alex menjulurkan tangannya untuk bersalaman dan kakakku menyambutnya dengan penuh keraguan. Suasana jadi begitu canggung.

"Alex...klienku di kantor, kak," kataku. Sekejap aku dan Alex bertukar pandang.

"Dia kerja di Clove International, itu lho kita pernah nginap di hotelnya yang di Solo, inget kan?" lanjutku.

"Oh.. iya. Inget," jawab kakakku singkat. Wajahnya tampak masih bingung.

"Ehm, Alex mau masuk dan duduk dulu?"

Menangkap suasana canggung itu, Alex langsung menolak tawaranku. Padahal sepanjang jalan dari bandara dia sempat bilang mau ngobrol sejenak dengan kakakku.

"Ah, mungkin..lain kali?" katanya sambil tersenyum padaku dan kakakku secara bergantian. "Hanya mau kenalan dengan kak Dina. Lain waktu bisa ngobrol lebih lama."

Kakakku membalasnya dengan anggukan.

"Ah, ya.. kak, Alex baru aja landing dari Singapur. Dia..sekarang kerjaannya based di Singapur. Mungkin sekarang masih capek, ya?" ucapku, ikutan canggung.

"Oh, ya. Mobil yang kupakai kemarin-kemarin itu, punya dia. Jadi, dia mau antar aku pulang sekalian bawa mobilnya aja," sambungku. Soalnya kemarin aku cuma bilang itu mobil temanku yang dititipkan.

Kakakku mengangguk sambil tersenyum, lagi-lagi tanpa berkata apa-apa.

Alex lalu memberikan satu kantong berisi camilan. Air muka kakakku sedikit berubah saat menerimanya. Aku tahu dia sangat suka oleh-oleh makanan.

"Semoga kak Dina suka," kata Alex singkat, sambil melemparkan senyuman.

Saat suasana hati kakakku terlihat sedang cukup baik, buru-buru aku mengantarkan Alex ke mobilnya sembari memastikan kakakku sudah masuk ke dalam rumah.

"Hmm, kayaknya kakakku agak sedikit kaget. Maaf, ya. Ngobrolnya lain waktu saja," ucapku sambil berdiri di luar jendela kemudi.

Alex mengangguk. "Ya, nggak masalah. Aku paham kalau dia kaget."

"By the way, makasih oleh-olehnya, ya."

"Kau pernah bilang dia suka dikasih makanan."

"Ya, benar. Suka banget. Makasih, ya. Semoga besok dia lebih santai kalau bertemu denganmu lagi."

Sejenak kami sama-sama diam. Tanpa sadar aku mengagumi wajah lelaki pucat di hadapanku, yang semakin hari tampak semakin menarik dan bikin aku mabuk kepayang ini. Hari ini dia hanya memakai kaos polos abu dengan lengan panjang yang digulung dan celana jeans. Sederhana, tapi justru membuatnya tampak menawan.

Dan satu lagi, dia wangi. Aroma cendana dan bergamot yang jadi ciri khasnya membuatku susah lepas.

"Oke, kalau begitu, aku pulang, ya," Alex memecah lamunanku. "Makasih sudah menjemputku dan menjaga mobilku."

Aku mengangguk pelan. "Ah, ya. Selamat istirahat?"

Dia mengangguk dan tersenyum.

"Hei, Alex ehm, sebetulnya aku...masih kangen."

Dia tertawa pelan, lalu meraih tanganku dan membelainya lembut. "Aku juga."

Aku tersipu.

"Tapi, maaf, kayaknya aku nggak bisa pergi malam ini. Ada beberapa pekerjaan yang harus kubereskan."

"Nggak masalah. Kita pergi lain waktu. Eh, gimana kalau besok kita trekking? Ku jemput besok pagi," katanya.

"Trekking besok, hari Minggu??"

"Ya? Memang kenapa?" Alex mengangkat bahunya.

"Yaa nggak masalah, sih. Tapi jalanan bisa lebih ramai sama orang liburan. Apalagi ke arah sana, duh. Nanti macet."

"Nggak apa-apa. Kan namanya juga liburan? Sekalian kalau ketemu ibu warung di sana, yang kita ketemu waktu itu, aku mau mengenalkanmu bukan sebagai teman lagi?"

Aku tertawa hambar, meskipun dalam hati tersipu.

Alex lalu berpamitan dan mobilnya perlahan hilang dari pandangan.

Tidak ada ciuman perpisahan, hanya lambaian tangan. Karena aku tahu kakakku yang tidak pandai sembunyi-sembunyi itu sedari tadi mengintip dari balik tirai jendela ruang tamu.

Bersambung

My Client is My Ex-FWB [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang