Flashback...
Kalinda POV
Aku yang kala itu ingin kembali ke rumah, harus di urung setelah membaca pesan dari Yudha.
note : ignore time
Hal penting apa yang ingin dibicarakan Yudha? Di tempatnya pula. Aku menghela nafas, lalu berjalan menuju parkiran dan pergi dengan mobilku.
Beberapa menit setelahnya, aku sampai di kondominium milik Yudha. Diriku masuk lalu mendekati lift untuk naik ke lantai atas.
Setelah sampai didepan unit milik Yudha, aku memencet bell, terpampang lah sosok laki-laki itu. Terlihat sehat-sehat saja, tidak seperti orang sakit, wajahnya juga tak pucat, apa Yudha berbohong?
"Mau ngomongin apa?"
Aku duduk di sofa setelah diizinkan masuk, mataku bersitatap dengan Yudha yang tampaknya gelisah. Aku heran, apa sebenarnya hal penting yang dimaksud laki-laki itu.
"Lo mau minum apa?" Tanpa menjawab perkataanku, Yudha berjalan menuju dapur.
"Air putih aja."
Ia kembali dengan segelas air putih lalu duduk disampingku. Ia menghela nafas, kemudian menatapku. Aku yang ditatap hanya diam dan membalas tatapannya.
"Mau ngomong apa?" Aku mengulang pertanyaanku, ku lihat kedua tangannya mengepal diatas pahanya.
"Setelah gue ngomong ini, gue harap lo ga benci sama gue."
Keningku berkerut, apa maksudnya?
"Sorry because i love you, and sorry because i think of you as a woman, not as my friend."
Nafasku tercekat, mataku berkeliaran kesana kemari, lalu kembali menatap maniknya. Jelas terlihat matanya tak berbohong, he loves me?
Aku tertawa, menganggap perkataannya adalah sebuah lelucon. Ia menatapku bingung.
"Bercandaan lo ga lucu, oh iya tadi—"
"Gue serius, perasaan gue bukan candaan. Gue serius suka sama lo. Dan tolong setelah ini, jangan benci gue."
Intonasi nya memohon, matanya tak lepas menatapku, aku dilanda rasa gugup. Seseorang yang sudah ku anggap teman, saudara, nyatanya tak bisa dihindari jika salah satu dari kami menaruh rasa.
"Kenapa lo suka gue?"
"Because it's you."
"Lo tau kan gue suka orang lain?"
"Terus hubungannya apa? Gue cuma mengutarakan perasaan gue."
"Dengan lo nyatain perasaan lo, gue takut bikin lo kecewa. Semua perhatian lo, gue anggep sebagai rasa teman, ga lebih."
Ia menghela nafas, perlahan dirinya mendekat lalu mengambil kedua tanganku.
"Lo ga bikin gue kecewa, itu hak lo buat nerima gue gimana abis ini, dan maaf kalo semua perhatian gue, gue anggep sebagai rasa suka. Kalo ga gue ungkapin, gue makin ke siksa. Lebih baik gini, kalo ujung-ujungnya lo memang jauhin gue tapi please jangan benci gue."