1: Bolehkah Kuucapkan Selamat Tinggal Sekarang?

492 74 119
                                    

"Rima, Mbak baru dapet kontak personal trainer bagus, nih!"

Si pemilik nama Rima menghentikan kegiatan menyendok makanan. Mata kecilnya yang terdesak oleh pipi menatap Wulan—yang menyebut dirinya sendiri Mbak—dengan tatapan datar. "Buat apa? Aku kan lagi program diet sendiri, Mbak Wulan."

Wulan, wanita dengan perawakan tinggi semampai itu mengambil tempat duduk di samping Rima. "Dia ini programnya bagus, tau, Rim. Kemarin temennya Mbak ikut program ini terus turun sepuluh kilo sebulan! Kamu dari kemarin segitu-gitu aja, kan, Rim?"

Rima menatap kakaknya, menahan emosi. "Diet juga butuh proses kali, Mbak. Nggak mungkin ujug-ujug kurus."

Seorang lelaki paruh baya dengan wajah Jawa kental yang duduk di seberang Rima menyahut, "Coba dulu, Dek. Itu mbakmu udah susah-susah nyariin, lho. Kamu ya nggak kurus-kurus gitu pakai fasting-fasting apalah itu. Udah sebulan, kan?"

Piring berisi omelet dan salad sayur dengan dressing minyak zaitun yang tadinya menggugah selera mendadak jadi hambar. Rima menatap jari tangannya yang berisi. Seharusnya makan malam ini menjadi penutup sesi makan yang menyenangkan. Berdasar tips dari situs diet yang Rima ikuti, kunci keberhasilan diet adalah menikmati setiap prosesnya. Bagaimana caranya menikmati, kalau pilihannya selalu terlihat salah?

"Rima duluan, Pak, Bu, Mbak." Gadis itu mengangkat piringnya yang masih penuh, bangkit dari kursi makan.

"Lho, mau ke mana, Nduk?" Suara Ibu yang halus menyela. "Belum habis, lho, makanmu. Jangan mubazir!"

Gadis itu tidak berkata apa-apa. Ia berlalu begitu saja. Sayup-sayup, Rima bisa mendengar ibunya mengeluh pada Wulan. "Adikmu itu lho, Wulan. Susah banget dibilangin. Padahal kan kalau kurus ya buat kebaikannya sendiri, tapi mesti tersinggung kalau dikasih saran!"

Selalu tersinggung, katanya. Rima mendengkus seraya membuka pintu kamarnya. Siapa yang tidak tersinggung kalau sudah mencoba berbagai macam cara, tapi gagal, dan dianggap tidak berusaha sama sekali karenanya?

Sejujurnya, Rima masih lapar. Ia terakhir kali makan siang tadi—sekaligus makan pertamanya hari ini—dan ia melewatkan sesi cemilan. Gadis itu sudah sengaja menambahkan topping putih telur rebus dan kacang untuk menambal kebutuhan kalorinya, tapi seleranya langsung hilang begitu ia menatap cermin.

Perut yang tak kunjung mengecil. Pinggul lebar, didukung paha dan pantat raksasa yang lebarnya bisa dua kali lengan Rima ketika duduk. Pipi tembam. Lengan besar, tapi bukan karena massa otot. Kakinya tampak mungil ketika disandingkan dengan bagian tubuh Rima secara keseluruhan, tapi Rima tahu, semungil-mungilnya tungkai kaki Rima, besarnya pasti berkali-kali lipat dari milik anggota lain di rumah ini. Rambut pendek acak-acakan, mata kecil yang—menurut Rima—adalah satu-satunya bagian tubuh yang sungguhan kecil di badannya. Jika disandingkan dengan siapapun yang ada di rumah ini, memang Rima tampak seperti bola bulat besar yang siap menggelinding sewaktu-waktu.

Rima sangat paham, gen model menurun dalam keluarganya. Walau ia gemuk pun, fisiknya masih termasuk ayu. Tetap saja, alih-alih kulitnya yang kuning langsat atau paras wajahnya yang tidak terlalu gemuk, orang akan selalu fokus pada bentuk badannya. Biasanya Rima masih bisa memaklumi, tapi beberapa waktu terakhir ini keluarganya benar-benar tidak membahas hal lain di luar cara membuat Rima kembali ke berat ideal, seakan-akan harga dirinya terletak di angka timbangan. Rima muak!

Apakah ini waktu yang tepat untuk melaksanakan rencana itu?

Mengabaikan piringnya yang terlantar di meja belajar, Rima menghempaskan diri ke kasur. Ada bunyi gedebug ringan, tapi gadis itu tak peduli. Ia membuka aplikasi mobile banking dan mengecek saldo rekening daruratnya. Jumlahnya sudah lebih dari cukup untuk hidup sendiri tiga bulan di Malang, tapi Rima punya ide yang lebih menarik saat melihat tanggalan.

Seven Days Before [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang