4: Bebek, Laut, dan Kenangan yang Melintas

180 29 52
                                    

Kalau kamu mencari bebek yang enak, bebek madura memang tidak pernah salah.

Rima menjilati sisa-sisa bumbu kuning yang ada di jari. Bebek madura memang terkenal akan bumbunya yang meresap dalam daging bebek dan minyaknya yang maknyus. Sebenarnya, dalam jarak sekian kilometer—yang tidak jauh-jauh amat—ada bebek kukus yang jelas lebih aman untuk kolesterol gadis itu, tapi Rima maunya ini. Nasi yang dibubuhi bumbu kaldu kuning gurih, bebek goreng krispi dengan taburan kremesan dan citarasa autentik, juga sambal pencit—mangga muda—yang asam-manis-pedas. Sungguh kenikmatan duniawi.

Di seberang Rima, Arya ber-huh-hah, tanda merasa pedas. Lelaki itu tak habis pikir bagaimana bisa Rima menambah sambal hingga sekian kali. Apa perutnya tidak melilit? Dia sendiri, alih-alih menambah sambal atau bumbu, malah menambah botol air untuk menggelontor panas yang menguasai mulutnya.

"Kenapa nggak mau ke warung bebek yang ada bebek kukusnya aja, sih?" Arya protes. "Khas Madura juga, bebeknya nggak minyakan. Minumannya juga lebih variatif. Di sini cuma air putih sama es teh doang!"

"Lah, ngatur." Rima mencibir. "Orang maunya ini, Mas!"

Arya geleng-geleng kepala. Sebenarnya bebek yang manapun ia tidak masalah, toh tugas dia di sini hanya memandu dan mengantar Rima. Masalahnya, dengan kondisi tubuh gadis itu ... Arya khawatir. "Perjalanan kita masih jauh, lho."

"Ya tau. Kan aku yang nyusun jadwalnya. Kenapa jadi Mas Arya yang sewot?" Si gadis berdecak. Ia mengipasi dirinya sendiri dengan lembar menu, karena cuaca malam di Madura masih terlalu panas untuknya. Apalagi dengan suasana warung nasi bebek yang penuh manusia. "Kalau Mas Arya mau beli sendiri, nggak papa. Nanti aku tunggu di mobil."

Aduh, bukan begitu! Si lelaki cungkring meringis. Ia mencoba mengambil topik lain demi memperbaiki suasana. "Besok mau keluar Surabaya jam berapa?"

Rima bertopang dagu. "Enaknya jam berapa?"

"Kamu mau sampai di Jogja-nya jam berapa lho?" Arya mengangkat bahu. "Aku, sih, manut aja!"

"Lihat besok pagi bangun jam berapa, deh, kalau gitu." Perempuan dengan mulut lebar itu meregangkan tangan ke atas dan menguap. Mereka selesai makan beberapa menit kemudian, kemudian kembali ke Surabaya dengan melintasi Jembatan Suramadu.

Tentang jembatan ini, Rima punya kenangan tersendiri. Ia pernah ke sini dengan teman-temannya saat tahun pertama kuliah, dan kulitnya yang kuning langsat langsung berubah coklat kemerahan hingga dua hari setelahnya. Entah ide siapa waktu itu, usul main ke Madura di siang bolong dengan mengendarai motor sembari menunggu jam mata kuliah selanjutnya. Gadis itu tersenyum kecil. Tangannya menekan tombol pembuka jendela dan ia membiarkan angin laut menyapa wajahnya. Hangat.

Ini sebabnya Rima ingin mati di laut minggu depan. Hangat.

"Besok, kamu sarapan di hotel atau mau cari makan di luar?" Pertanyaan Arya memecah keheningan.

Mata Rima mendelik. Tidak bisakah manusia satu ini menyetir dalam diam lebih dari lima menit? "Nggak tahu. Lihat nanti."

"Pecel semanggi mau nggak? Itu khas sini juga, lho!" Suara Arya begitu riang. "Tapi, harus pagi-pagi, sih, datangnya. Siangan dikit ramai banget soalnya."

"Besok Senin, masih seramai itu?" Rima mengangkat alis. "Aku terserah kamu aja."

"Di jadwal perjalananmu gimana, lho? Katamu, aku disuruh ngikut jadwalmu!" Arya protes. "Yang pecel semanggi itu aku ngide aja, karena sayang kalau ke sini tapi nggak coba itu. Tapi ya balik lagi, kamunya mau nggak?"

Rima menatap spion tengah dengan tatapan datar, malas menanggapi. "Terserah."

"Kok terserah sih?" gerutu Arya. "Kan, kamu yang punya perjalanan! Aku, sih, tugasnya melayani saja!"

Seven Days Before [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang