2.1: Advance Trip Experience

132 14 8
                                    

Sebagai destinasi wisata, sejujurnya Kota Malang tak kalah cantik, terutama area kota tuanya. Hanya saja, kali ini Rima sedang tak ingin pergi ke tempat-tempat semacam itu.

Salah satu sudut favorit Rima kalau sedang ingin lari dari rumah adalah kafe teh di ujung jalan, masih cukup terjangkau dengan jalan kaki. Matahari yang sudah mulai tergelincir dari singgasana menyusupkan sinar keemasan melalui jendela kaca. Gadis dengan perawakan lebar itu tengah duduk dengan segelas teh cold brew di hadapannya.

Ada Arya juga di situ. Si lelaki tengah menyesap teh susu lavender yang baru mendarat di meja. Senyumnya berkilau, serasi dengan matahari yang menyapa sisi kanan wajahnya.

"Ngapain kita jauh-jauh ke kota lain, ya, Rim?" Arya terkekeh seraya membenahi ikatan rambutnya yang asal-asalan. "Jalan berdua dekat rumah kamu sudah enak gini juga!"

"Sudah pernah ke sini sebelumnya?" Rima mengabaikan celetukan manusia dengan rambut berombak itu. "Teh artisan mereka juara. Kalau disuruh memilih dessert favorit kedua setelah es krim, aku pilih teh. Apalagi yang ada campuran mawarnya!"

Arya tidak menanggapi. Lelaki itu hanya senyum-senyum. Apa ada yang salah di wajah Rima? Jemari gempalnya menyentuh area pipi penuh kekhawatiran. Adakah sesuatu yang aneh hingga Arya tersungging bagai orang gila?

"Kenapa, sih?" Rima bertanya, jengah.

"Nggak ada apa-apa, kok." Arya masih senyum-senyum. "Kamu cantik, sih. Lucu, lagi."

"Buaya banget!" gerutu Rima.

"Tapi suka, 'kan?"

Sebagai balasan, Rima hanya mendengkus dan kembali menyesap tehnya. Sesekali, ia mencuri pandang. Arya tidak tampan, tapi makin ke sini Rima semakin betah memandanginya. Apalagi dengan sinar keemasan yang makin memancarkan aura positif dari sang pria. Terpaku padanya sekian menit pun Rima sanggup, asalkan tidak tertangkap basah.

Tiba-tiba, tatapan mereka bersirobok. Buru-buru Rima memalingkan muka, untungnya Arya tidak menyadari. Lelaki itu menepuk meja penuh antusias. "Aku tahu tempat minum teh enak!"

"Oh ya?" Rima tertarik dengan informasi yang ia dengar barusan. "Bisa bawa aku ke sana?"

Arya mengangguk, lantas bangkit meninggalkan gelas minuman yang sudah tandas. Rima pun begitu. Keduanya pergi ke parkiran.

"Yuk!" Arya menepuk jok penumpang yang terhitung tinggi. Menyadari hal itu, si lelaki memiringkan motornya hingga dapat dijangkau oleh gadisnya. "Bisa naik?"

Jok tinggi tidak terlalu masalah untuk Rima. Malahan, ia bersyukur karena motor yang Arya pakai memiliki bodi yang lebar, sehingga Rima bisa duduk dengan nyaman. Yang Rima khawatirkan justru sang pengemudi. "Kamu bisa nyetir motor sebesar ini sambil bawa raksasa kayak aku?"

Arya terkekeh. "Bisa, lah!" Mereka menembus keramaian Kota Malang dan melaju menuju stasiun.

Stasiun begitu riuh. Arya mengajak Rima untuk pergi ke peron ... KRL? Sejak kapan di Malang ada kereta listrik? Dahi si gadis mengernyit. Arya sendiri tak terlihat heran. Sejak tadi ia bersenandung dengan nada-nada acak.

"Nah, kereta ke kebun teh sudah datang!" Arya berseru riang ketika gerbong pertama kereta mulai muncul dari ujung lintasan.

"Kebun teh bisa dikunjungi naik kereta?" Gadis itu mengerutkan hidung, sangsi. Kebun teh itu ada di puncak bukit perbatasan Kota Malang. Satu-satunya kereta yang pernah Rima lihat di sana hanyalah kereta kelinci.

"Bisa, dong!" Tawa renyah Arya mengudara. Matahari masih keemasan. Entah kenapa, sore ini rasanya begitu panjang. Begitu KRL berhenti di hadapan mereka, Arya menarik lengan baju Rima dan masuk bersama manusia-manusia lain.

Isi kereta sungguh berjubel. Orang sebanyak ini semuanya pergi ke kebun teh apa gimana? Rima heran sendiri. Yang jelas, mereka berdua sama sekali tidak mendapat tempat duduk dan gerbong ini bagaikan kaleng sarden yang penuh isinya.

Guncangan kereta membuat isi perut Rima serasa dikocok. Selayaknya KRL di jam pulang kerja, lautan manusia menyesaki gerbong, bergoyang mengikuti arus. Tubuh Rima yang besar terhimpit oleh sekeliling. Gadis itu nyaris menabrak punggung bapak-bapak menyeramkan, tapi Arya meraih bahu sang perempuan dan merangkul Rima ke arahnya.

Gadis itu mendongak, menatap Arya tanpa berkedip. Lelaki itu juga sama. Kereta kembali berbelok dan membuat Arya kehilangan pegangan. Badan Arya maju ke arah Rima dan wajah mereka kian dekat. Jarak antar ujung hidung mereka bahkan kurang dari sejengkal.

Di saat seperti ini, barulah Rima menyadari kalau mata Arya tidak sempurna hitam. Ada semburat coklat yang terpantul warnanya. Semakin ditatap, sorot mata lembut itu kian memikat. Rahang Arya yang tegas, hidungnya yang rupanya cukup mancung untuk ukuran orang Jawa, lalu bibir yang tak begitu tebal membuat fitur wajah Arya makin menawan.

Bibir Arya tampak mulus. Warnanya pun, walaupun tidak merah muda ranum, tetap terlihat indah dan serasi dengan kulitnya, apalagi ketika terpapar sinar emas matahari. Hentakan gerbong, sekali lagi, memangkas jarak di antara kedua insan yang saling hanyut dalam tatapan masing-masing.

Lima senti. Empat. Tiga. Antukkan kepala dan hidung mereka akan bertemu. Rima terhisap dalam kedalaman pandangan sang pria.

Dua senti. Satu.

Kemudian, kereta berguncang dan Rima langsung jatuh dalam lubang hitam raksasa.

Rima tersentak. Ia mengerjap. Sekelilingnya bukan lagi lautan manusia, tapi mobil van. Gadis itu menoleh ke kanan dan mendapati Arya yang tengah menyetir. Mata gadis itu terkunci pada bibir yang tengah berdendang. Adegan yang dialaminya beberapa detik lalu kembali berkelebat.

Bisa-bisanya Rima nyaris ... aduh, Rima tidak mau mengingatnya lagi, tapi otaknya seakan bersekongkol dengan hati untuk melakukan hal sebaliknya. Wajah Rima langsung merah sempurna. Ia berpaling ke arah spion, berharap Arya tak menyadari ritme jantung dan isi kepalanya saat ini.

Apa gerangan yang ada di kepalanya hingga ia bisa memimpikan hal-hal semacam itu?

Rima rasa, dia sudah gila.

⏱️

Dina cuap-cuap:

Kemarin aku sudah janji 'kan buat tetap menyelipkan cerita selingan seraya menunggu proses penyuntingan dan kawan-kawannya? Alhamdulillah, sudah ACC boleh bikin cerita selingan macam ini, jadi aku tetap bisa interaksi sama kalian ✨

Tapi perlu disclaimer dikit, nih. Untuk menghindari big spoiler tentang ujung cerita ini (yang ini lebih baik kalian ketahui saat bisa menjemput versi cetaknya), anggap saja segala interaksi Rima-Arya di sini adalah bentuk yume ;))

Enaknya, habis ini bikin spin-off atau what if apalagi, yah?

Komen di sini kalau mau halu lebih banyak tentang interaksi Rima-Arya 😶‍🌫️

Komen di sini kalau ingin mengulik lebuh dalam tentang masa lalu masing-masing tokoh~

Komen di sini kalau kalian ingin request ide untuk dimainkan Rima dkk!

Seven Days Before [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang