Dewasa itu capek ya

304 23 0
                                    

Helaan nafas lelah terdengar mengudara dari mulut Jidan yang kini tengah menyimpan dagunya di atas lipatan tangan. Manik penuh binar miliknya mengedar, memperhatikan seluruh cafe yang bisa di bilang cukup sepi sebab hanya ada dua orang di pojok ruangan tengah duduk sembari berbincang bersama.

Sekarang sudah pukul empat sore, kalau cafe lain mungkin jam segini pasti tengah ramai pembeli. Namun cafe ini malah sepi pengunjung. Dalam sehari, pembeli hanya bisa di hitung jari.

Cafe ini memang baru di buka sekitar dua bulanan, ayah yang menyuruh Jidan turun untuk menerapkan ilmu bisnis yang telah ia pelajari tiga tahun ini. Jadi beliau hanya memberi dana, sisanya Jidan yang mengatur.

Ini juga yang membuat Jidan sering pulang larut malam. Sebab ia harus melakukan ini dan itu untuk kepentingan cafe ini. Walaupun sudah berjanji pada Chiara, tetap saja Jidan tak bisa menepati karena ia tak mungkin lalai terhadap kewajibannya. Ia harus memikirkan tema dan strategi untuk cafe ini. Selain tak ingin membuat ayah kecewa, Jidan juga tidak mau dua pekerjanya kehilangan tempat mencari rezeki.

"Ji"

Jidan menegakkan tubuhnya saat bahunya di tepuk. Bisa ia lihat ada Bara dengan Akasha di belakangnya, Jidan tersenyum lalu segera menyuruh keduanya duduk di meja yang sama dengannya.

"Asha mau makan sesuatu? Kalau mau bilang sana sama Bang Doni, Mas Ji kasih gratis" ucap Jidan pada Akasha, menunjuk salah satu pekerjaannya yang bertugas di kasir.

Akasha menganggukkan kepala, "Asha ke Bang Doni dulu ya" izin gadis itu lalu beranjak mendekat ke arah kasir. Meninggalkan dua lelaki dewasa itu di meja dengan semangat.

"Gimana, ji?"

Jidan terkekeh kecil, mengangkat bahunya lalu melirik ke arah sekitar. Seolah mengatakan bahwa tak ada yang berubah, semuanya masih sama saja. "Sehari tuh pelanggan bisa di itung pake jari"

"Yang namanya bisnis itu ya begini" ucap Danis yang baru datang dengan Tama, pemuda yang paling tua itu duduk di samping Jidan, memberikan usapan pelan pada punggung adik sepupunya itu.

"Pelan pelan aja dulu, Om Jaja pasti paham kok" sambung Danis dengan senyum menenangkan. Jidan mengangguk setelah menghela nafas, walaupun lelah Jidan tak akan menyerah. Masa baru dua bulan Jidan sudah lemah letih lesu. Jidan itu beruntung, punya keuntungan jadi anak dari seorang pengusaha seperti ayah. Masih banyak orang orang di luar sana yang ingin mendapatkan nasib yang sama sepertinya, jadi Jidan patut bersyukur.

"Bingung aja, kenapa ngasih gue kerjaan di semester akhir begini" ucap Jidan yang di akhiri dengan kekehan. Pemuda itu melirik Akasha yang baru datang dengan secangkir jus di tangan, adiknya Bara itu mendengus kesal saat Tama merebut jusnya.

"Om kan udah kepala lima, ji. Siapa lagi kalo bukan lo yang ngelanjutin usaha beliau, ini step awal aja buat belajar. Ayah lo juga gak maksa lo berhasil kan" atensi Jidan beralih kepada Bara. Ia gelengkan kepalanya tanda tak setuju dengan ucapan bara.

"Ya tetep aja bar, buka cafe pake duit. Kalo gagal ilang duit modal ayah"

"Iya bener juga" ucap Bara sembari tertawa kecil. Jidan menganggukkan kepalanya lalu menatap Tama yang tengah bertengkar dengan Akasha.

"Udah lama kita gak ketemu, terakhir kapan ya?" Ucap Danis sembari menatap ketiga pemuda lain yang ada di meja. Membuat adik adik sepupunya itu menoleh dan membalas tatapannya.

"Hampir dua bulan yang lalu di rumahnya Dito" sahut Tama usai mengingat ingat kapan terakhir mereka berempat bertemu secara langsung. Karena kesibukan masing masing, ketiga manusia sepuh (kata Rayshiva) ini jadi jarang bisa bertemu. Tak seperti saat mereka masih remaja atau saat awal awal kuliah, setiap Minggu pasti ada saja waktu untuk mereka berkumpul berempat entah untuk sekadar minum kopi bersama atau berbincang ringan mengenai kehidupan.

Cucunya Kakek Wibowo || TREASURE ft BABYMOSNTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang