Gundah

239 17 0
                                    

Sore ini angin terasa lembut menyentuh kulit. Matahari pun tak terik seperti biasanya, mungkin karena awan yang menutupi matahari sore ini. Sangat cocok untuk duduk duduk sembari mengobrol di temani dengan beberapa minuman dingin dan camilan, berbincang bincang ringan perihal kehidupan yang di jalani, membagi kisah dan saling menasehati jika perlu.

Dan itulah yang tengah di lakukan empat cucu Kakek Wibowo ini. Dengan satu gitar angin di pelukan Yudhistira, keempat pemuda itu melewati sore hari ini dengan suasana sejuk yang menyenangkan.

Angkasa menyandarkan punggungnya di pilar pondok, memejamkan mata sembari menikmati angin yang menerbangkan helai rambut legamnya.

Bian pun kini juga tengah berdendang asal, mengikuti genjrengan gitar dari Yudhistira, ekspresinya berubah ubah mengikuti lirik lagu yang ia nyanyikan. Yudhistira tertawa saat bian menatapnya kesal sebab pemuda itu malah memainkan lagu dangdut yang tak di ketahui bian. Sejujurnya tak apa jika bian tahu, kalau tidak kan jadi tidak asik.

Lain halnya dengan ketiga sepupunya itu, langit malah menatap ponselnya dengan gusar, nampak berbalas pesan oleh seseorang lewat benda persegi itu. Sesekali pemuda itu akan menghela nafas berat, entah kenapa.

Helaan nafas berat milik Langit membuat Angkasa membuka matanya, melirik sepupunya itu dengan wajah tanpa ekspresinya. Ia kemudian menendang bokong Bian yang ada di depannya, membuat pemuda yang tengah sibuk bernyanyi itu berbalik dan menatapnya dengan garang.

Namun Angkasa malah melirik Langit, mengisyarakatkan pada Bian dan Yudhistira bahwa salah satu dari mereka berempat tengah gundah gulana. Ya sejujurnya Angkasa sudah dapat menebak bahwa pemuda itu pasti tengah bertengkar dengan kekasihnya. Sebab sudah terlalu sering untuk mereka berdua bertengkar, Angkasa sampai hafal dengan tabiat keduanya.

Bian dan Yudhistira menatap Langit usai memahami isyarat yang di berikan Angkasa. Kedua pemuda itu menggelengkan kepalanya heran dengan serempak.

"Lang, kenapa?" Tanya Bian saat langit menaruh ponselnya dengan cukup keras di lantai pondok yang tengah mereka duduki dan mengacak acak surai legamnya.

"Sintia"

Kan, Angkasa sudah tahu apa masalah sepupunya ini. Lagi pula apa yang bisa membuat Langit sefrustasi itu kalau bukan karena pertengkaran tak berujungnya dengan Sintia. Angkasa juga yakin masalah mereka juga masih sama seperti biasanya. Pertengkaran mereka di dasari oleh rasa cemburu sebab sikap social butterfly yang sama sama mereka miliki. Sering saling cemburu dan marah padahal mereka sama saja.

"Cewe mana lagi yang bikin Sintia cemburu? Atau lo yang cemburu?" Tembak Angkasa. Langit mendengus kesal, kesal sebab tebakan angkasa benar hampir seratus persen.

"Kemaren ada temen gue cewe yang gue anterin pulang, udah bilang kok sama dia, tapi malah di bikin masalah begini" keluh Langit.

Yudhistira meletakkan gitarnya di atas lantai, menatap kakak sepupunya itu dengan sorot serius, membuat Langit ikut menatap pemuda itu dengan serius, penasaran dengan kalimat yang akan di ucap oleh pemuda yang paling muda di antara mereka.

"Kalo kak Sintia pulang bareng sama temen cowoknya juga pasti lo marah kan? Mau dia izin kek enggak kek, tetep marah kan lo?"

Langit mengusap tengkuknya, mengangguk pelan. Ya dia cemburu sih, tapi kan konteksnya berbeda. Sintia masih bisa memintanya menjemput sedangkan temannya itu hanya memilikinya sebagai harapan untuk pulang kerumah di larutnya malam, ini karena rapat organisasi yang menyita waktu mereka cukup lama.

"Tapi kan beda"

"Udah lah, biarin aja dulu dia sampe tenang. Nanti ajak ngobrol lagi. Kalian itu kebiasaan, kalau tengkar pasti langsung ngobrol, bukannya di omongin pake kepala dingin malah jadi adu argumen" sahut Bian.

Cucunya Kakek Wibowo || TREASURE ft BABYMOSNTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang