Anindita atau bisa di panggil Anin.Seorang gadis SMA yang hidup dalam kesendirian. Setiap hari, ia berjalan melalui lorong-lorong sekolah yang sunyi, berusaha menarik diri dari keramaian yang seolah-olah tidak menyadari keberadaannya.
Setiap malam...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Setelah kejadian di perpustakaan. Entah kenapa, Anin tidak lagi di ganggu oleh Juna. Saat berpapasan ia hanya tersenyum tipis ke arah Anin. Hal itu tentu membuat Anin bingung. Apalagi sudah seminggu Juna seperti itu. Kemana Juna yang selalu berbicara panjang dengannya? Perasaan Anin terus menerus untuk mencari Juna.
"Anin sadar, dia kayak gitu paling cuma penasaran atau gak ya temenan aja," batinnya yang tengah di tempat kerjanya, toko buku. "Anin jangan pikirin dia. Kerjaan kamu sekarang banyak."
Anin mulai berdiri, ia mengambil buku yang baru saja datang. Tugasnya sekarang adalah menyusunnya rapi dan sesuai dengan tempatnya.
Anin menghela nafasnya saat semuanya telah selesai dan rapi. Ia lalu kembali duduk di kursi kasir sambil memperhatikan jalanan yang bisa ia lihat melalui jendela kaca. Ia melamun sampai-sampai orang yang datang tidak Anin sadari sama sekali.
"Anin!"
Anin begitu terkejut. "Maaf Pak," ucap Anin yang tersadar jika itu adalah bos nya sendiri.
"Gimana kalo ada pelanggan yang masuk. Kamu jangan banyak melamun kalo kerja!"
Anin hanya bisa menundukkan kepalanya mendengar ocehan dari bos nya.
"Sudah 3 kali saya kasih kamu peringatan. Dan selalu terulang. Bagaimana kalo orang masuk dan mencuri?"
"Sekali lagi saya minta maaf Pak!" Mohon Ani sambil menyatukan kedua telapak tangannya. "Saya benar-benar salah. Saya tidak akan mengulanginya lagi."
"Kalo sampai ini terjadi lagi. Saya terpaksa harus memecat kamu. Banyak orang di luaran sana yang butuh kerjaan. Jadi kalo ada kerjaan kamu harus bersyukur."
Anin hanya bisa menundukkan kepalanya. Ia tak bisa melawan. Sekarang ia hanya bisa pasrah dan harus fokus jika saat bekerja. "Maaf Pak."
❀❀❀
Jam sudah menunjukkan pukul 5 sore. Tapi Anin masih harus bekerja. Karena entah kenapa ada banyak pelanggan hari ini. Tidak mungkin jika Anin harus mengusir pelanggan. Ia hanya bisa menunggunya. Hingga akhirnya sudah pukul 6.
Malam telah datang. Pelanggan sudah pergi. Anin segera menutup toko buku itu dan menguncinya menggunakan gembok.
Ia berjalan perlahan sambil melihat lalu lintas. Hari ini terasa berat baginya. Ia duduk di kursi yang di sediakan di sana. Ia menghirup napasnya dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan. Berharap masalah akan pergi. Tapi nyatanya TIDAK!
Lama ia duduk di sana. Untuk menghilangkan rasa penat di badannya. Ia menutup matanya.
"Andai kehidupan aku tenang," gumamnya.
Hingga tiba-tiba ada yang memakainya earphone. Anin membuka matanya ia melihat ke arah sampingnya.
"Juna?" Gumamnya.
Juna tersenyum tipis. Wajahnya mengatakan seolah-olah jika Anin harus mendengarkan musik yang ada di earphone itu. Anin menuruti permintaan Juna dan membiarkan lagu-lagu yang keluar dari sana mengalir masuk ke dalam benaknya. Tidak lama kemudian, Anin mulai merasakan ketenangan yang datang dengan alunan musik yang mengalun dalam telinganya.
Anin terus duduk di kursi tersebut, sambil mengamati jalanan yang tenang di malam hari. Ia merenung tentang kejadian-kejadian belakangan ini, terutama mengenai hubungannya dengan Juna. Mengapa Juna tiba-tiba berubah sikap setelah insiden di perpustakaan? Apakah Juna hanya penasaran atau benar-benar ingin berteman dengan Anin?
Anin memutuskan untuk mempertanyakan hal tersebut kepada Juna saat ini juga. Ia mencabut earphone dari telinganya dan menatap Juna dengan penuh harap. "Juna, boleh aku nanya sama kamu?"
Juna mengangguk dan menyambut pertanyaan Anin dengan senyuman lembut. Anin merasa hatinya berdebar saat melihat senyuman itu.
"Kenapa kamu berubah sikap sama aku setelah kejadian di perpustakaan? Apa kamu cuma penasaran atau memang cuma mau berteman sama aku?" tanya Anin tulus.
Juna hanya terdiam. Sebenarnya ia bingung dengan perasaannya sendiri. Maka dari itu ia mencoba untuk tidak mendekati Anin lagi dalam seminggu itu. Tapi ia tidak tahan dan terus mencari sosok Anin di hidupnya.
"Kamu gak bisa jawab? Gak apa-apa kok kalo gak bisa," ucap Anin yang sedikit sedih saat melihat Juna hanya terdiam. Terlihat jelas raut wajah Juna yang tidak tau harus berbicara apa. Sepertinya ia bisa menyimpulkannya sekarang. Juna hanya penasaran, dan sekarang ia tidak lagi penasaran.
"Sorry. Bukannya gimana-gimana... cuma... pas waktu itu lagi banyak tugas dan praktek," bohong Juna.
"Oh gitu," ucap Anin yang sudah tau jika Juna berbohong. Anin sangat tau gerak-gerik orang yang berbohong. Terlihat jelas di matanya. Ia tidak berani menatap mata Anin. Ia juga agak kebingungan. Seolah-olah sedang memikirkan jawabannya. Padahal pertanyaan yang Anin berikan bukanlah pertanyaan sulit.
"Kamu tau, aku gak mau hanya menjadi objek rasa ingin tahumu yang sementara. Aku butuh seseorang yang mau berada di sisi aku karena peduli, bukan karena sekadar ingin tahu," batin Anin.
"Kamu mau pulang? Sekarang? Atau nanti?"
"Iya. Aku mau pulang sekarang."
"Makan dulu yuk!"
"Enggak deh. Kapan-kapan aja. Lagian aku udah makan tadi."
"Kapan?"
"Ya tadi."
"Kalo gitu aku anterin."
"Gak usah Juna. Deket kok."
"Gak apa-apa. Ayok!"
Juna lalu mengantar Anin ke rumahnya dan berpisah di sana. Anin masuk ke dalam rumahnya dengan perasaan campur aduk. Ia tidak bisa menyalahkan Juna sepenuhnya karena kebingungan yang dirasakannya sendiri. Namun, ia merasa ada sesuatu yang tidak beres dalam hubungan mereka. Anin memutuskan untuk tidur dan beristirahat, berharap esok pagi atau mungkin suatu saat akan membawa kejelasan.
Pada malam berikutnya, Anin duduk sendirian di kamarnya, merenungkan pertemuan dengan Juna kemarin malam. Hatinya bergejolak antara kekecewaan dan harapan. Dia merasa Juna tidak jujur padanya, dan itu membuatnya merasa terluka. Namun, sekaligus dia juga berharap ada penjelasan lebih lanjut dari Juna.
Tapi sudah satu hari sejak kejadian itu. Juna tidak ada respon sama sekali. Mereka seolah-olah tidak kenal sekarang. Anin semakin bingung. Ia benci dengan dirinya sekarang. Sangat-sangat benci. Kenapa ia harus terus menerus mencari-cari keberadaan Juna.
"Sadarrr Anin!" Hanya itu kata yang terus Anin camkan dalam benaknya.
Sekarang ia sangat butuh seseorang untuk mencurahkan semua isi hatinya. Tapi ia tidak ada satu orangpun. Dan sekarang hanya satu tujuan Anin, pantai.