Anindita atau bisa di panggil Anin.Seorang gadis SMA yang hidup dalam kesendirian. Setiap hari, ia berjalan melalui lorong-lorong sekolah yang sunyi, berusaha menarik diri dari keramaian yang seolah-olah tidak menyadari keberadaannya.
Setiap malam...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Anin hanya memperhatikan punggung laki-laki itu dengan senyuman tipis. Berharap jika yang laki-laki itu katakan benar adalah.
"Akan ada kebahagiaan di balik semua ini. Kamu harus yakin itu. Sekarang mungkin tidak. Tapi entah esok atau kemudian hari. Kamu akan tersenyum bahagia. Anin kamu bisa!"
Setelah Anin bertekad ia kemudian pergi dari pantai dan segera pulang ke rumahnya. Keesokan harinya berlalu begitu cepat. Anin mencoba segala cara agar tidak berpapasan dengan Juna. Sosok yang ingin ia lupakan.
Saat istirahat tiba tidak sengaja mereka berpapasan. Tapi entah kenapa Juna hanya terdiam dan menatap Anin sekilas. Sedangkan Anin seperti biasa ia lakukan. Ia hanya menatap orang-orang disekitarnya dengan tatapan tidak peduli dan fokus dengan dirinya sendiri. Begitu juga yang ia lakukan dengan Juna.
Hari-hari Anin kembali seperti semula. Seperti sebuah buku yang di mulai dari judul. Yang di mulai dari lembaran baru. Tapi sepertinya lembaran itu sama seperti buku yang sebelumnya. Walaupun mungkin akhirnya akan berbeda. Entahlah.
Hidup Anin kembali seperti semula. Seperti tidak ada kehidupan. Tidak ada kesedihan, tidak ada kebahagiaan. Hanya datar saja. Hingga beberapa bulan telah berlalu hingga libur semester ganjil telah tiba.
Hingga dimana hari itu tiba. Hari dimana Anin kembali bertemu dengan laki-laki yang mempunyai vibes positif bagi Anin.
"Kita ketemu lagi."
Anin tersenyum tipis. "Ini tempat kerja kamu?" Tanya Anin karena melihat pakaiannya. Sepertinya baru kali ini ia kembali tersenyum setelah beberapa bulan itu.
"Bisa di bilang gitu. Tempat ini sebenarnya titipan kakak aku. Tapi karena dia lagi hamil jadi aku yang jaga toko bunga ini."
Anin hanya menganggukkan kepalanya. "Pantes aku gak pernah ketemu dia lagi di pantai," batin Anin.
"Kamu kenapa datang ke sini? Mau beli bunga? Buat pacar?"
Anin langsung menggelengkan kepalanya. "Aku denger katanya lagi cari karyawan part time. Jadi aku mau ngelamar."
Laki-laki itu tersenyum. "Oh, bener banget! Kami lagi cari karyawan part time untuk membantu di toko ini. Kamu punya pengalaman di bidang ini?"
Anin menggelengkan kepala. "Sejujurnya, aku gak punya pengalaman di bidang bunga. Tapi aku mau belajar dan mencoba hal baru."
Laki-laki itu mengangguk. "Tidak masalah. Aku bisa ngajarin kamu. Selama kamu punya minat dan semangat, aku yakin kamu bisa melakukannya dengan baik."
Anin merasa senang mendengarnya. Karena ia benar-benar harus mengumpulkan uang untuk kehidupannya sendiri. Apalagi sekarang sedang libur semester. Ia harus memanfaatkan itu. Pagi hingga siang di toko bunga. Lalu siang hingga malam di toko buku. "Untuk part time nya dari jam berapa?"
"Kebetulan aku lagi nyari dari pagi sampai siang. Karena ada kesibukan lain. Gimana?"
"Aku mau banget. Makasih banyak ya. Aku akan berusaha sebaik mungkin."
Laki-laki itu mengulurkan tangannya. "Aku Rafi, senang bertemu denganmu."
Anin tersenyum dan menggenggam tangan Rafi. "Anin, senang bertemu denganmu juga. Aku berharap bisa belajar banyak dari kamu."
Setelah saling berkenalan, Anin pun mulai bekerja di toko bunga yang menjadi titipan kakak Rafi. Meskipun ia tidak memiliki pengalaman sebelumnya, Anin dengan cepat belajar tentang berbagai jenis bunga, cara merawatnya, dan menyusun rangkaian bunga yang indah. Rafi adalah mentor yang baik baginya, memberikan panduan dan bimbingan selama proses belajar.
Bekerja seharian adalah hal yang melelahkan bagi Anin. Tapi harus ia lakukan. Setiap pagi ia selalu bertekad sambil terus-menerus menghela napasnya dalam-dalam.
Hingga malam yang begitu menyedihkan tiba. Malam dimana Anin teringat dengan kedua orangtuanya. Ia duduk di bangku taman sambil memperhatikan orang tua yang sedang memegang tangan anak perempuannya dengan begitu erat sambil tersenyum begitu bahagianya.
Anin merasa kehilangan dan kesepian melihat kehangatan keluarga itu. Air mata pun tak terbendung, mengalir di pipinya. Dia merindukan kasih sayang orang tuanya yang telah pergi meninggalkannya.
Tiba-tiba, Anin merasakan seseorang duduk di sebelahnya. Anin menghapus air matanya dan melihat Rafi duduk di sampingnya dengan wajah penuh perhatian. "Anin, kenapa? Kamu baik-baik aja?" tanya Rafi dengan nada khawatir.
Anin mencoba tersenyum, meskipun masih terlihat sedih di matanya. "Cuma kangen aja sama orang tua aku. Dulu aku pernah sebahagia itu."
Rafi menatap Anin dengan penuh empati. "Aku paham perasaan kamu, Anin. Meskipun aku gak bisa menggantikan orang tua kamu, aku berjanji akan selalu ada untukmu. Aku akan mendukung dan memberikan kebahagiaan yang kamu cari."
Anin tersentuh dengan kata-kata Rafi. Dia merasa ada kehangatan baru yang mulai menyelimuti hatinya. "Makasih, Rafi."
"Iya sama-sama."
"Kamu kok ada di sini?"
"Tadinya aku mau ke toko buku kamu. Tapi kayaknya telat. Dan jalan-jalan sekitar sini karena kayaknya bagus aja suasananya."
"Kamu mau cari buku?"
Rafi menganggukkan pelan.
"Buku apa?"
"Ada deh," ucap Rafi sambil tersenyum tipis dan tertawa kecil.
Anin merasa senang bisa melupakan kesedihannya sejenak dan menemani Rafi. Mereka berjalan bersama di sekitar taman, berbicara tentang minat dan hobi mereka, serta saling berbagi cerita. Anin merasa nyaman dengan kehadiran Rafi, seperti memiliki teman yang bisa dia ajak berbicara dan berbagi segala sesuatu.
Hingga tepat saat sampai di depan rumah Anin. Anin begitu terkejut saat melihat Juna yang sepertinya sudah menunggunya sedari tadi. Anin benar-benar bingung dengan keadaan itu.
Anin merasa sedikit gugup dan tidak yakin bagaimana harus menghadapinya. Dia berbalik kepada Rafi dengan ekspresi kebingungan di wajahnya.