Prolog

228 26 4
                                    

Eca menatap nanar 3 gundukan tanah merah dengan taburan bunga dihadapannya. Nisan bertuliskan nama ayah, ibu dan juga sang adik terpampang nyata disana. Eca ingin menjerit, namun tertahan oleh pikiran kalut dan letih sejak menyadari bahwa takdir hari ini adalah takdir terkejam yang pernah ada dan Eca lewati. Percuma, katanya, air mata Eca tidak mampu membawa kembali ayah, ibu dan adiknya kedalam pelukan Eca.

Kehilangan 3 manusia yang paling dicintai oleh Eca sedunia? Adakah kata selain hancur yang dapat Eca gunakan untuk mendeskripsikan bagaimana keadaannya hari ini? Eca rasa tidak.

Mulai hari itu, kebahagiaannya ikut terkubur dalam tanah merah bersama ayah, ibu dan adiknya disana.

Kejadian itu terlalu cepat untuk dapat Eca pahami.

Pagi tadi, Eca menyangka ia akan merasakan lezatnya sarapan yang susah payah ibunya hidangkan dimeja makan membantu ibu menuangkan kopi pagi untuk ayah lalu kemudian menyiapkan bekal sekolah untuk sang adik.

Angan.

Prasangka yang Eca sudah skenariokan sejak malam diubah sekejap dengan kejam oleh takdir. Air matanya mencelos deras, dada Eca sesak, kaki Eca melemas bagai hilang seluruh tulang saat ia harus berhadapan pada 3 manusia tercintanya sudah dalam keadaan terbujur kaku dengan darah yang melimpah ruah. Tangan mereka terikat lengkap dengan mulut yang terbekap kain dengan ikatan yang cukup kuat.

Sungguh biadab.

Eca hampir kehilangan kesadaran, namun alam bawah sadarnya menolak, Eca masih ingat bagaimana ia berlari terseok mencari pertolongan kerumah-rumah tetangganya, namun Eca tidak ingat bagaimana akhirnya ia tersungkur jatuh pingsan tidak berdaya setelahnya.

Awan gelap mulai menyelimuti pemakaman, disana hanya tinggal tersisa Eca dan beberapa sanak famili nya, seluruh pelayat yang mengikuti prosesi pemakaman sudah kembali kerumah setelah membacakan doa untuk keluarga Eca yang telah berpulang.

Eca masih dalam posisi memeluk nisan adiknya, mulutnya bungkam dengan air mata yang mulai memaksa keluar tanpa diminta.

"Eca sayang, bibi mungkin gak bisa meminta Eca bersabar atas takdir hari ini, namun yang bibi tahu, kita semua juga merasakan kehilangan, Eca ikhlaskan mereka, ya?" Bibi Hanum, yang merupakan kakak dari ibu Eca mendekat seraya mengusap lembut kepala Eca.

Eca tidak berkutik, hingga akhirnya, Hanum meminta kepada dua anaknya dan juga keluarga yang masih bersama mereka dipemakaman untuk kembali lebih dulu.

"Eca masih punya bibi, bibi disini, Eca gak sendiri."

Eca masih membungkam mulutnya tak memberi respon. Tidak berhenti sampai disana, Hanum bertekad untuk terus mengerahkan tenaganya membujuk Eca pulang kerumah mengingat kilat petir mulai bersautan di langit yang sudah mulai gelap.

"Bibi yakin, ayah, ibu dan adik Eca di surga sedih liat Eca kayak sekarang." Bak ibu peri, Hanum semakin melembutkan suaranya lantas mendekat hingga hampir mendekap Eca bersamanya.

"Bibi janji akan mencari keadilan untuk ayah, ibu dan adik Eca. bibi janji ca, tapi Eca pulang sekarang sama bibi ya?"

Berhasil, Eca menoleh menatap lekat wajah Hanum dengan wajah pucat pasinya. "bibi janji?" suara Eca bergetar, dengan sigap Hanum merengkuh kuat tubuh kurus itu erat lantas mengangguk. "iya, bibi janji!" kata Hanum, bertekad, bersamaan dengan itu isak tangis Eca terdengar hebat.

Lima menit Hanum membiarkan keponakan malangnya itu menangis dalam dekapannya seraya memberi waktu untuk menumpahkan segala sedih dan sakitnya. Setelah dirasa mereda, Hanum membawa Eca kembali pulang kerumah bersamanya.

Ayah, ibu, adik tercintaku Egar, siapapun pelaku yang dengan biadab nya merenggut hidup kalian, aku berjanji akan ku cari dan buat perhitungan. Eca usahakan keadilan itu untuk kalian, semoga tenang di alam surga ya, tunggu Eca datang. we'll missed u ayah, ibu, adik.

____________

Halo, aku kembali!
hope u enjoy with the new story guys,
see u next part!

INTERTWINED Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang