Bab 4 : Never letting you go, again.

76 16 2
                                    

Happy reading!
_________________

Mata Eca menatap kosong objek didepannya. Pikirannya melanglang buana sepulangnya bertemu kuasa hukum yang membantunya menyelediki kasus pembunuhan keluarganya beberapa tahun lalu.

Sekuat apa monster yang ia lawan sampai ia belum juga mampu menemukan titik terang atas siapa pelaku dari kasus pembunuhan berencana yang membunuh seluruh keluarganya beberapa tahun lalu.

"Eca!" seruan Nindi berhasil menyadarkan Eca, diujung sana Nindi melambaikan tangannya sambil berjalan cepat mendekati Eca, mereka membuat janji temu disebuah kafe yang letaknya tidak jauh dari hotel tempat mereka bekerja.

"Kenapa suram banget? bukan kabar menyenangkan kah?"

Eca menggangguk lemah. "buktinya belum cukup, gue gak mau nyerah tapi gue hampir gak bisa apa-apa lagi sekarang kak!" Eca mengadu dengan segala hilang asa yang sejak lama ia tahan, air matanya meleleh keluar begitu saja tanpa mampu dibendung. Disampingnya, Nindi tak bersuara, ia hanya sibuk memberi ketenangan Eca yang sudah berada dalam pelukan hangat.

Eca hampir putus asa mengungkap siapa dalang dibalik sebab ia kehilangan seluruh keluarganya. Keyakinan Eca bahwa pelaku memiliki power kebal hukum semakin besar ketika hampir tidak adanya bukti yang dapat Eca temukan untuk membawa perkara ini pada hukum.

Eca tidak ingin, kasus pembunuhan ini ditutup tanpa adanya keadilan untuk mendiang keluarganya. Mengungkap dalang pembunuhan adalah upaya terakhir Eca memberikan keadilan itu. Tekad Eca kuat sebelum akhirnya Eca sadar bahwa siapa yang ia lawan, bukanlah orang biasa yang mampu Eca lawan sendiri.

"gue belum bisa kasih keadilan untuk keluarga gue kak!" tangis Ica kian menyakitkan, dibalik pelukan itu Eca merasakan sakit hati luar biasa, dan Nindi merasakan itu. Sebagai teman yang sudah Nindi anggap sebagai Adik dan merupakan seseorang yang sama-sama berjuang ditempat perantauan membuat mereka mampu merasakan kesamaan emosi.

"gue bingung, gue gak tau harus gimana kak, kalo gue gakbisa nemuin bukti lebih, kasusnya bisa ditutup."


"Ca, gue emang gak bisa bantu, tapi lo harus inget, gue disini, lo ga sendiri, nanti gue akan coba hubungi temen gue yang jaksa untuk pegang kasus ini ya?"

Tanpa mereka sadari, obrolan singkat mereka terdengar oleh seorang lelaki yang duduk tepat disebelah Eca dan Nindi menggunakan setelan biasa nan kasual. Seolah tak terlihat, lelaki itu hanya diam mendengarkan. Matanya memicing dengan tangan kanan mengepal kuat menampilkan urat-urat tangannya usai menyimak obrolan dua karyawannya. Ya, itu Evan. Lelaki itu datang ke cafe lebih dulu dari Eca usai berolahraga sore dan mengunjungi kantornya untuk mengurus beberapa pekerjaan yang tertinggal selagi Eki mengajukan cuti.

Pertanyaan dibenak Evan kini terjawab.

Kehadiran Eca di Jakarta bukan tanpa sebab. Ayahnya membuat skenario yang mempertemukan Evan dan Eca juga bukan tanpa sebab. Perempuannya diam-diam memiliki masalah besar yang mungkin tidak mampu ia hadapi dengan tangan atau mengandalkan diri sendiri.

Pembunuhan adalah kasus berat, dan akan sulit mengungkap pelaku yang mempunyai kekuatan hukum.

Evan meraih ponsel yang ia letakan diatas meja disamping gelas kopi miliknya. Jarinya sibuk mencari satu kontak yang ia kenal akrab. Jack.

***

Sepulangnya Evan dari cafe, ia membuang tubuhnya di sofa ruang tamu rumahnya, merentangkan tubuhnya yang memiliki tinggi sekitar 189 cm diatasnya. Parama yang kebetulan juga tengah berada di Jakarta beberapa hari ini dan sedang menikmati teh hangat bersama jurnal yang tengah dibacanya diruang tamu menyadari kedatangan Evan yang datang tanpa suara namun mampu dirasakan oleh Parama bahwa anak kandungnya sedang dalam keadaan gusar, tanpa alasan yang Parama ketahui.

INTERTWINED Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang