Apakah salah sebagai abang tertua Kenan enggan bertemu dengan kedua adiknya yang masih menempuh pendidikan di sekolah dasar itu? Sebagai anak laki-laki tertua, Kenan memang jarang berada di rumah. Paling-paling nongkrong di rumah Adib atau di warung bakso mang Koko sambil cuci piring biar dapat seporsi bakso gratis. Namun, bukan itu alasan utama Kenan malas bertemu adik-adiknya.
Kenan memiliki dua adik. Mereka kembar. Aksa dan Aska. Meskipun kembar, keduanya memiliki kepribadian yang berbeda. Aksa memiliki sikap yang tengil dan selalu memanggilnya “bang-Ke”. Untungnya, ia tidak malas. Malas dalam artian, dia dapat diandalkan untuk menjaga adiknya –Aska– yang memiliki sikap sedikit feminin. Aska tidak suka bermain sepak bola, bermain robot-robotan, mengoleksi mobil mainan atau sebagainya. Aska lebih suka memasak bersama bunda, membantu bunda menyapu, membangunkan Aksa, Kenan dan Raisa kemudian diam di rumah seharian sambil membaca komik yang diwariskan oleh Raisa atau menonton film Spongebob setiap sore. Aska memang baik. Akan tetapi masalahnya tidak seringan itu. Aska selalu memanggilnya, “ka-Nan”.
Iya, masalah utama Kenan tidak suka berada di dekat kedua adiknya karena cara mereka memanggil namanya. Kenan memang tidak menyukai namanya semenjak menempuh pendidikan di tahun pertama sekolah menengah pertama. Ibarat, “maju kena mundur juga kena” namanya sangat tidak layak untuk ditambahi embel-embel apapun.
Dulu ketika Kenan belajar Bahasa Indonesia, gurunya meminta mereka untuk menjelaskan arti namanya di depan kelas. Kenan tidak pernah bertanya pada bunda tentang arti namanya selama ini. Jadi, ia meminjam kamus Bahasa Indonesia Adib dan mencari arti kata Kenan. Dari situlah Kenan merasa jika namanya memang seburuk itu. Seharian, cowok dengan kulit kuning langsat itu telanjang bulat di dalam kamar mencari noda yang mencolok di kulitnya. Nihil. Hanya ada tahi lalat pada pergelangan tangan kirinya dan itu sangat kecil. Kenan bahkan menangis di meja makan ketika meminta agar namanya diganti.
Menginjak usia lima belas tahun, Kenan memang mulai menerima namanya. Namun, saat itu pula Aksa dan Aska mulai tumbuh besar dan memanggilnya dengan sebutan “bang-Ke” dan “Ka-Nan”. Alhasil, Kenan kembali frustrasi tentang namanya itu.Sampai sekarang.
Saat ini Kenan dan beberapa temannya sedang berada di sebuah warung makan yang tidak jauh dari sekolahnya. Mereka diminta untuk mewawancarai penjual makanan di pelajaran Prakarya. Di semester empat ini, kelas mereka memang sedang dihantui dengan tugas proyek sehingga Kenan sudah jarang mencuci piring di tempat mang Koko. Untungnya, penjual yang mereka wawancarai tidak sibuk. Ia juga dengan senang hati menerima kedatangan mereka.
Kenan mendapat tugas untuk membuat video wawancara. Jadilah sedari tadi ia hanya memegang ponselnya yang sedang merekam Tara, Adib, Yuki dan Berry yang asyik duduk dengan penjual makanan itu.
Sesekali Kenan juga menyeka keringat di dahinya. Cuaca yang cukup ekstrem akhir-akhir ini memang cukup mempersulit keadaan mereka. Tugas yang dikumpul besok ini sebenarnya sudah dipersiapkan jauh-jauh hari. Tetapi, setiap kali mereka akan kemari, hujan turun terlebih dahulu, atau ketika hujan tidak turun, warung ini sangat ramai sampai sore hari.
Pukul lima sore, mereka baru selesai wawancara dan beberapa teman juga sudah pamit pulang meninggalkan Kenan dan Adib yang duduk sambil memegang minuman dingin di halte depan sekolah. Adib sedang menunggu Ibunya dan Kenan sedang menunggu angkot. Keduanya sibuk bermain ponsel sampai ketika Adib sudah dijemput ibunya.
Kenan hanya tersenyum ketika Adib dan Ibunya pamit terlebih dahulu. Kenan sedikit iri dengan Adib yang selalu diperhatikan oleh ibunya. Kenan juga ingin. Namun, lagi-lagi masalahnya tidak semudah itu. Bunda Ara harus bekerja siang malam untuk anaknya. Mana bisa Kenan menambah kesibukan wanita yang tahun ini memasuki kepala empat itu.
Kenan memeriksa ponselnya. Pukul setengah enam.
“Mudah-mudahan masih ada angkot,” ujarnya sambil melihat sekelilingnya.
Sejujurnya, Kenan bisa saja mencari ojek online. Namun, naasnya quota Kenan sudah habis duluan. Adib juga sama. Makanya Kenan hanya berpasrah pada angkot yang tidak tahu kapan datangnya itu.
Pukul enam sore, Kenan benar-benar pasrah jika harus tidur di halte ini sampai orang rumah menyadari dirinya tidak ada. Kenan menggeleng. Itu bukan ide yang baik. Ia memutuskan untuk berjalan saja. Siapa tahu ada gerai internet atau apapun itu. Intinya lelaki yang sedang menyusuri trotoar itu tidak mau tidur sambil kedinginan di halte yang penuh coretan.
Hari sudah mulai gelap. Kenan belum menemukan gerai atau semacamnya. Ia juga belum menemukan angkot. Hari ini benar-benar hari yang melelahkan baginya. Andai saja Kenan memiliki kendaraan sendiri, masalah tidak akan sesulit ini. Kenan menyesal dulu tidak mendengarkan ayahnya.
Ayah? Kenan tidak habis pikir dari mana ia bisa mendapatkan kata seperti itu. Selama ini Kenan, adiknya dan kakaknya hanya dibesarkan oleh Bunda. Bunda Ara yang selalu tersenyum dan selalu peduli kepada mereka. Apa yang perlu ia harapkan dari figur seorang ayah ketika bundanya dapat bertindak sebagai ibu sekaligus ayah di kehidupannya?
Kenan mengedarkan pandangannya, dia sudah berada di kawasan SMK Harapan. Dari yang Kenan tahu, di samping gerbang masuk SMK itu ada sebuah gerai yang menjual quota. Dan Kenan tidak salah. Dari jarak sejauh ini, Kenan bisa melihat ada rumah dengan cahaya lampu yang lumayan terang. Kenan makin yakin.
Masalahnya SMA Adiwarna dan SMK Harapan tidak seakrab itu. Kenan ingat betul tiga tahun yang lalu pernah terjadi tauran besar-besaran antar kedua sekolah itu dan dalangnya adalah siswa SMK harapan yang tidak suka dengan hasil pertandingan sepak bola yang diadakan pemerintah setempat. Itulah yang menyebabkan bunda Ara tidak setuju Kenan masuk ke sekolah ini. Padahal dulu, Kenan sangat ingin masuk ke SMK Harapan dan mengambil jurusan akuntansi.
Kenan bimbang. Berjalan ke sana atau tetap berjalan menuju rumah yang tidak tahu kapan sampainya. Keadaan cukup sepi dan ini cukup meyakinkan Kenan untuk berjalan ke arah gerai.
“Bi, saya mau isi paket!”
Kenan buru-buru mengeluarkan uangnya. Dan si penjaga gerai yang melihat lambang SMA Adiwarna ikutan panik dan buru-buru mengeluarkan ponselnya.
“Aduh Mas, anak sekolah Adiwarna kok ke sini. Nanti kalo anak-anak lain lihat gimana.” Tangan bibi penjaga gerai jauh lebih tremor dari pada Kenan.
“Nomornya, Mas!”
Transaksi ini sepertinya terlalu lama. Dari luar, Kenan dan bibi itu sama-sama mendengar suara motor yang berhenti di depan warung.
Kenan panik. Si bibi apalagi.
“Mas ini gimana. Cepat ngumpet!” si bibi panik tak terkendali.
Kenan juga sudah semakin panik. “Sembunyi di mana bi?”
“Aduh Mas, kok tanya bibi sih?”
“Lah saya tanya siapa dong?” Kenan mulai mendengar suara anak laki-laki yang lumayan keras. Artinya mereka sudah mulai berjalan ke arah pintu.
“Sembunyi di sini!” si bibi menyuruh Kenan ke arahnya. Ia sembunyi di kolong meja kasir yang untungnya tidak terlalu berdebu.
Dari bawah kolong ini, Kenan mendengar dengan jelas mereka sudah masuk ke dalam. Kenan bingung bagaimana caranya keluar. Si bibi juga masih kelihatan panik. Itu terlihat dari dasternya yang dari tadi bergoyang-goyang. Si bibi tremor parah.
“Bi Wen, warung Mang Cucup kok tutup ya?” suara seorang cowok itu lumayan bergema di gerai ini.
“Anu Den, istrinya Mang Cucup mau tujuh bulanan.” Si bibi mencoba menjawab.
“Kok lama bangat sih Bi? Dari semalam loh! Apa Mang Cucup pindah tempat?”
“Enggak kok Den. Acaranya kan baru besok!” si bibi mulai terdengar tenang. Itu membuat Kenan sedikit tenang juga.
“Yah, padahal kita mau nongkrong. Kalo di sini gak masalah kan Bi?”
Si bibi kembali tremor. “Aduh, Den. Bukannya apa. Tapi saya mau tutup. Kan bibi enggak tinggal di sini. Kasihan anak bibi di rumah.”
Kenan sedikit tidak sabar mendengar negosiasi keduanya itu. Ingin sekali ia lari dari sini. Sampai di rumah dan tidur di kasur empuk miliknya.
“Bunda, tolong Kenan!”
“Ya udah deh Bi. Kita di depan aja!”
Setelah itu Kenan tidak mendengar apa-apa lagi. Ia hanya mendengar suara kaki yang menjauh.
Tidak lama si bibi mulai ikutan jongkok. “Aduh Mas, ini gimana? Mereka diam di depan.”
Kenan menoleh ke si bibi yang sudah keringat dingin. Kenan jadi prihatin. Tidak mungkin pula dia diam di sini.
“Saya bisa lari kok, Bi.”
Kenan keluar perlahan-lahan. Berjongkok sampai ke pintu masuk. Berdiri, lalu melihat situasi di depan. Mereka banyak. Kenan panik.
Mereka memiliki kendaraan. Percuma juga Kenan berlari. Kenan kembali melihat si bibi. Wanita dengan daster kuning itu sudah meremas-remas serbet. Melirik ke arahnya lalu melirik ke arah depan.
Kenan makin panik. Jadilah dia memutuskan untuk berjalan. Apapun yang terjadi setidaknya si bibi tidak tremor terus seperti itu.
Kenan menarik napas lalu berjalan santai keluar dari gerai. Tidak menoleh ke belakang dan tidak menoleh ke samping kanan tempat anak laki-laki yang sungguh berisik itu ada. Lambang SMA Adiwarna ia tutup dengan tangan kanannya.
Kenan sampai di depan jalan raya. Hanya menunggu jalan kosong kemudian ia akan berlari, tetapi ....
“Woi!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Kenan
Teen FictionBL story✨️ Menjadi panitia pada acara sekolah, membuat Kenan masuk ke dalam zona yang berbahaya bagi jantungnya. Bagaimana tidak? Kenan yang selama ini hanya menatap wajah itu dari kejauhan akhirnya dapat berada di meja yang sama dengannya. Bahkan...