Revan

87 10 0
                                    

“Ayo Ken jangan malu-malu. Anggap di rumah sendiri! Tuh liat, Revan aja makannya lahap, kok!”

Kenan hanya tersenyum paksa sambil melihat piring di depannya. Sungguh, seluruh badan Kenan terutama di bagian wajah terasa sangat panas padahal di luar hujan sedang turun lumayan deras.

Pada akhirnya, Kenan mencoba makan dengan tenang. Kehadiran Revan yang duduk tepat di kirinya sungguh mempengaruhi cara Kenan untuk makan. Dia tidak dapat makan dengan lahap, padahal perutnya sudah merengek minta makan dari tadi.

Semua salah hujan yang turun dengan deras.

Semua salah Revan yang membiarkannya kabur dari kamar.

Tapi Kenan juga salah tiba-tiba berteriak ke ruang tamu sementara tante Ratna sedang menangis di pelukan bunda. Kenan tidak tahu ada masalah apa, Kenan hanya mengatakan jika ia ingin pulang karena sudah lapar.

Pokoknya semua salah Revan!

Revan sialan!

“Gimana, Ken!? Enak, kan?”

Orang yang ditanya mengangguk sambil tersenyum kikuk. “Enak, Tan!”

“Kalau gitu kamu harus sering-sering datang ke sini. Katanya kamu suka rendang ayam, kan? Nanti Tante buatkan kalau kamu main lagi!”

Revan merasa bunda dan tante yang tersenyum karena ia mengangguk setuju dengan ucapannya itu memiliki beberapa kesamaan yang signifikan. Mulai dari keduanya yang memakai hijab, warna kulitnya yang kuning langsat, serta seleranya yang sebelas dua belas dengan bunda.

Selesai makan, Kenan diminta untuk naik kembali ke kamar Revan. Ia, bunda meminta mereka untuk menginap di sini. Alasannya klasik. Hujan yang turun dengan lebat, sampai temu rindu yang katanya belum mereka selesaikan.

Sampai di kamar, Kenan baru tahu jika Revan suka warna abu-abu. Hampir seluruh kamarnya berwarna abu. Kamar ini sebenarnya jadi terlihat "mahal" tetapi di satu sisi, kamar ini tidak layak untuk ditempati anak-anak. Kamar ini sungguh "mati warna" untuk mereka.

Untungnya lagi, kamar ini lumayan bersih dari kamar cowok pada umumnya. Akan tetapi jika dibandingkan dengan kamar Kenan, kamar Kenan jauh lebih bersih dari kamar ini. Kenan hanya kalah dari segi ukuran saja.

“Nih, lo tidur di sofa! Gue di kasur!”

Revan melempar guling ke arah Kenan yang dengan sigap di tangkap. “Kok gue sih yang tidur di sofa? Kenapa enggak lo aja!?”

Kenan menyesal mengatakan hal itu. Ia tidak mendapat jawaban tetapi tatapan tajam dari si empunya rumah.

“Iya, iya!”

Kenan pada akhirnya memilih untuk mengalah dan  berjalan ke arah sofa. Sebelum Kenan tidur, Kenan merasa ada sesuatu yang sangat janggal, tapi Kenan tidak tahu apa itu. Jadilah ia memilih untuk tidur saja daripada berspekulasi yang tidak-tidak.

Ketika matahari mulai naik sambil malu-malu kambing, Kenan merasa tidak nyaman karena sinar yang menimpa tubuhnya. Ia menggeliat sebelum akhirnya mencoba untuk duduk. Setengah sadar, ia melepaskan selimut yang menutupi setengah badannya. Ketika ia sudah sadar sepenuhnya, ia baru ingat jika semalam ia tidak memakai selimut.

Ia melirik ke arah kasur, Revan sudah tidak ada di sana. Kenan mencoba mengucek matanya, siapa tahu ia salah lihat. Tidak ada. Revan memang bangun terlebih dahulu.

Si tamu segera bergegas ke bawah dan meluncur ke ruang makan. Di sana, ia melihat pemuda yang ia cari sedang makan dengan hikmat bersama tante Ratna.
Dengan perlahan, ia mencoba untuk mendekati keluarga itu.

“Eh, Kenan udah bangun? Cuci muka dulu baru sarapan siap itu Revan bakal antar kamu ke rumah.”

Kedua alis mata Kenan terangkat. Apa katanya? Revan? Mengantarnya? Apa ia masih bermimpi?

“Memangnya Bunda ke mana Tante?” tanya Kenan sembari kaminya berjalan untuk lebih dekat.

“Semalam Bunda baru ingat adik kamu enggak ada yang jaga, jadi dia pulang duluan. Kamu juga udah tidur semalam!”

Apa yang akan orang katakan ketika ia memasuki pelataran sekolah bersama dengan siswa yang sangat disegani di sekolah?

Kenan tidak sanggup memikirkan semua kemungkinan yang akan teman-teman tanyakan padanya. Kenan tidak mungkin mengatakan jika semalam ia dan bundanya datang berkunjung ke rumah Revan dan ternyata keluarga orang tajir itu tidak sebahagia dugaan mereka. Apalagi mengingat ancaman Revan yang selalu bergentayangan di kepala Kenan.

“Tadi ojek gue mogok, terus Revan kebetulan lewat. Gue pikir dia bakal hanya lewat aja. Ternyata dia kasih gue tumpangan!”

Tidak. Tidak akan ada yang percaya dengan kata-kata itu.

Apakah Revan akan sebaik itu dengan cowok yang tidak ia kenal sama sekali?

Jawabannya tidak. Yang ada Kenan akan dianggap menyebar berita bohong dan di bully oleh penggemar bocah sialan yang sangat kasar ketika membawa sepeda motor berwarna kuning ini.

Kenan harus setengah mati memegang tas bocah ini. Awas saja, pulang nanti Kenan akan mengadu jika Revan ugal-ugalan dan menerobos lampu merah. Biarkan saja Revan memarahinya ketika ia ketahuan memberitahu tante Ratna. Asalkan Revan kena amuk duluan.

Sampai di halte biasa, Kenan menepuk pundak Revan agar menepi.

“Gue di sini aja. Gue ada urusan lain!”

Kenan buru-buru membuka helm dan meletakkannya di depan Revan lalu segera berlari menuju sekolah. Meninggalkan Revan yang sedang mencerna tindakan bocah yang ia bawa dari rumah ke rumahnya lalu ke sekolah. Belum sampai sekolah, bocah yang merepotkan itu minta turun dan langsung berlari.

Apa itu tadi?

Tidak ada terima kasih? 

Revan tersenyum lalu kembali melanjutkan perjalanannya. Hari ini akan menjadi hari yang cukup menarik untuknya.

Dan bocah sialan itu.

“Tadi ada yang lihat Revan boncengan sama cowok.”

“Palingan sama temannya. Lagian cowok kok, enggak cewek. Jadi gue biasa aja!”

“Lo lupa, kalau Revan enggak pernah mau boncengan sama orang? Temannya juga bilang gitu kok!”

“Terus kalau bukan temannya siapa? Kakaknya?”

“Lah Revan kan anak tunggal!”

“Ya terus siapa? Pacarnya? Kan ga mungkin! Udah deh! Selama bukan cewek jadi aman-aman aja. Nanti kalau cewek baru kita cari tahu siapa!”

Demi teori yang mengatakan manusia berasal dari kera, Kenan baru tahu jika kabar di sekolah ini dapat menyebar lebih cepat daripada kakinya yang bergerak cepat ke sekolah. Untungnya, dari gerbang sampai ia duduk di kelas, ia tidak mendengar ada yang tahu siapa yang bersama Revan.

Syukurlah.

Jam istirahat, Kenan memilih makan nasi goreng instan terkenal ala kantin sekolahnya. Perutnya masih sangat lapar karena di rumah Revan ia hanya makan sedikit. Namanya juga jaga image!

Untungnya bunda sempat menitipkan uang jajan ke tante Ratna atau tante Ratna yang berpura-pura mengatakan bunda menitip uang jajan, Kenan sudah tidak peduli yang penting perutnya hampir terisi.

Saat sedang asyik-asyiknya makan dengan Adib dan beberapa temannya, suara orang-orang di kantin yang tadinya ramai malah makin ramai oleh suara teriakan mayoritas anak cewek.

Kenan ikut mengamati area kantin sambil melirik apa yang terjadi. Namun ia memilih keputusan yang salah, ia seperti menunjukkan keberadaannya pada Revan.

Ia dia Revan. Ia dan beberapa temannya yang setia di belakang itu memasuki area kantin dan mendekati kursi Kenan. Kenan jadi gugup. Takut jika Revan akan menghampirinya.

Makin dekat, dugaan Kenan makin benar.  Dia memang datang untuk Kenan.

“Mati gue!” maki Kenan dalam hatinya.
Begitu sampai, Revan menyodorkan ponsel ke arah Kenan.

“Gue minta nomor lo!”

KenanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang